PERPUSTAKAAN
PEMBACA YANG BUDIMAN
Syaloom….
Saat menunggu keberangkatan, memungkinkan saya untuk
menulis lagi bagi anda. Kali ini saya mendapatkan sebuah inspirasi atas tulisan
seseorang tentang perpustakaan. Perpustakaan menjadi “sebuah sumber ilmu
pengetahuan dan inspirasi” bagi manusia sepanjang jaman. Memang perpustakaan adalah suatu tempat. Di
sana terkumpul sejumlah buku yang dapat membantu banyak orang untuk menimba
ilmu.
Keterbatasan perpustakaan adalah “tempat / ruang itu”
tidak bisa dibawa ke mana-mana. Saya kemudian teringat kata-kata kitab suci: “
Aku akan menempatkan hukum-Ku, dalam batin mereka”. Maka mereka tidak lagi harus
bersusah payah membawa hukum itu, tetapi ke mana pun mereka pergi “hukum
Tuhan itu mereka bawa”. Bahkan lebih
dari itu, hukum itu terus-menerus berseru untuk menunjukkan jalan kebenaran
kepada manusia, agar selalu setia kepada Sang Khalik.
Dengan dasar pemikiran itu, “manusia dapat dipandang
juga sebagai perpustakaan yang hidup
tentang kehidupan”. Ketika anak-anak,
rekan-rekan dan sesame manusia bertanya tentang kehidupan, dia tidak
perlu lagi membalik-balik buku, tetapi dari mulutnya terucap kata-kata yang
berasal dari batin / hatinya.
Mari kita
ikuti tulisan Naufil Istikhari Kr,
ALUMNUS PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH, GULUK-GULUK, SUMENEP
ALUMNUS PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH, GULUK-GULUK, SUMENEP
Seorang
pustakawan sekaligus sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (1899-1986),
pernah berujar: "I have imagined that paradise will be a kind of
library!" (Aku membayangkan surga itu menjadi semacam perpustakaan). Bagi
Borges, tak ada tempat yang paling menyenangkan selain perpustakaan. Ia
menyediakan segala yang dibutuhkan, untuk pengetahuan.
Tentu
Borges tidak sedang melancarkan serangan filsafat atas konsep metafisika surga
seperti yang rajin dilakukan khas pemikir Barat pada masanya. Ia hanya
melayangkan gambaran imajiner, saking senangnya berada di perpustakaan, seakan-akan
ia surga. Sebab, di perpustakaan, ia menemukan indahnya kehidupan.
Perpustakaan
di mata Borges menjadi tampak gagah. Ia sendiri diangkat menjadi Direktur
Biblioteca Nacional (Perpustakaan Umum) pada 1955. Terlahir dari keluarga kelas
menengah Argentina, kemudian menjabat kepala perpustakaan, membuat Borges
merasakan pengalaman manis dengan perpustakaan. Sangat masuk akal jika
perpustakaan yang dikelolanya mengalami peningkatan pemanfaatan.
Borges
dikenal sebagai penulis prosa dan esai-esai yang tidak kenal kompromi pada
politik. Pada 1946, ketika Presiden Juan Domingo Perón mulai mengubah arah
politik Argentina, Borges menjadi penulis "bertangan dingin" yang
terus melancarkan kritik pedas. Ia diam-diam mencoba menyelamatkan perpustakaan
dari kobaran api politik.
Nasib
perpusda
Namun
sayang, cerita manis Borges tidak terjadi di Indonesia. Perpustakaan di negara
kita lebih tampak sebagai etalase kebudayaan yang sejenak dikunjungi untuk
memuaskan naluri wisata di hari-hari libur. Atau menjadi semacam tempat singgah
para mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas akhir (skripsi), dan setelah itu
pergi begitu saja.
Belum
lagi koleksi perpustakaan yang tiba-tiba raib tak ketahuan rimbanya.
Perpustakaan di Indonesia tak pernah lebih ramai ketimbang mal dan bioskop.
Berbeda dengan Borges, saya juga punya cerita ihwal perpustakaan. Sebuah cerita
yang berawal dari pengalaman mengunjungi perpustakaan daerah (perpusda) di
Madura.
Tiap
pulang kampung, saya sempatkan mengunjungi Perpusda Sumenep untuk sekadar
memastikan seberapa lengkap koleksinya-bertambah banyak atau masih itu-itu
saja. Beberapa kali ke sana, hasilnya mengecewakan. Sekaliber perpusda, saya
tidak mendapati buku-buku tentang Madura. Setelah saya tanya ke bagian petugas,
dia bilang tidak tahu. Di Perpusda Pamekasan dan Sampang, keadaannya tidak
lebih baik. Keduanya sama-sama mengkhawatirkan. Entah bagaimana di Bangkalan,
saya belum pernah mengunjungi. Padahal, konon, anggaran untuk pengadaan buku
baru Perpusda Sumenep tiap tahunnya mencapai Rp 16 juta. Tapi mengapa
koleksinya tidak bertambah banyak? Dan kenapa tidak tampak buku-buku Madura
yang seharusnya dikoleksi seluruh perpustakaan di Madura?
Berkali-kali
saya cari buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940-nya
Kuntowijoyo; Manusia Madura dan Lintas Sejarah Madura-nya Mien Ahmad Rifai;
Lébur-nya Hélèna Bouvier; Madura dalam Empat Zaman dan Garam, Kekerasan, dan
Aduan Sapi-nya Huub de Jonge; Carok-nya A. Latief Wiyata; serta Sejarah
Madura-nya Abdurachman, tapi tak satu pun dari buku-buku tersebut bercokol di
rak-rak perpustakaan milik pemerintah itu.
Belakangan, saya mendapat kiriman
buku Lintas Sejarah Madura-nya Mien Ahmad Rifai dari Ahmad Fawaid Sjadzili,
dosen di STAIN Pamekasan, yang ia fotokopi dari koleksi perpustakaan kampus.
Ini merupakan kabar gembira bagi saya, berarti perpustakaan kampus lebih peduli
terhadap buku-buku seputar Madura daripada perpusda.
Dunia dan masyarakat kita, amat
membutuhkan “perpustakaan hidup” yang terpercaya dan dapat diandalkan. Semuanya
itu merupakan kesempatan untuk menunjukkan bahwa manusia dapat menjadi sarana keselamtan
Tuhan.
Komentar