DESA SUBUR
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM.....
Saya hadir kembali pada saat ini, untuk mengunjungi anda. Tidak banyak cerita yang dapat saya sampaikan, namun meski sedikit pada bulan-bulan yang lalu, saya harap adan tetap melihat dan mengalami kasih Tuhan, ketika anda membaca dan meresapkan kasih Tuhan yang ada di dalamnya. Kali ini, saya menyuguhkan oleh-oleh perjalanan saya ke Getentiri, 350 km dari Merauke, sebuah paroki yang letaknya di pinggir sungai Digul.
SYALOOM.....
Saya hadir kembali pada saat ini, untuk mengunjungi anda. Tidak banyak cerita yang dapat saya sampaikan, namun meski sedikit pada bulan-bulan yang lalu, saya harap adan tetap melihat dan mengalami kasih Tuhan, ketika anda membaca dan meresapkan kasih Tuhan yang ada di dalamnya. Kali ini, saya menyuguhkan oleh-oleh perjalanan saya ke Getentiri, 350 km dari Merauke, sebuah paroki yang letaknya di pinggir sungai Digul.
Hari itu, 22 Mei 2013, kami
bertiga: Uskup, Pastor Yan Sareta MSC, dan Pastor Kris Farneubun MSC dari stasi
Asiki menyusuri sungai Digul menuju ke stasi Subur. Kami naik speed-boat dengan
mesin berkekuatan 40 PK, lancar dan aman dan tiba di tempat setelah menempuh
perjalanan selama 50 menit. Air sungai Digul pada saat itu amat tenang, angin
pun amat bersahabat sehingga kami merasa nyaman selama dalam perjalanan.
Stasi Subur adalah desa tempat
berkumpul / bergabungnya masyarakat dari beberapa desa sekitarnya. Sebagian
dari masyarakat itu, berasal dari kampung Térék. Jaraknya sekitar 6-7 km dari
Subur. Ternyata kampung itu sudah menjadi hutan kembali, karena sudah puluhan
tahun tidak dihuni. Mereka pergi ke bekas kampung mereka itu, bila perlu untuk
berburu binatang hutan (rusa, kasuari atau kangguru).
Mengapa uskup dan rombongan ke
sana ? Di Térék, 60 tahun yang lalu terjadi peristiwa penting. Pada saat itu,
ada 19 orang asli Papua – suku Auyu yang dibaptis. Mereka adalah generasi
pertama yang menerima permandian yang dilaksanakan oleh pastor Willem MSC.
Mereka adalah bagian dari umat di paroki St. Mathias – Getentiri. Satu orang
dari generasi pertama itu masih hidup. Dia bernama Markus Aute, seorang bapak
yang kini berusia 69 tahun.
Stasi Subur memang benar-benar
subur. Sejak di pinggir sungai Digul sampai di tengah kampung, tanaman karet,
pohon-pohon sagu, dan aneka tanamam buah-buahan ada banyak sekali di sana. Pohon
rambutan, durian, matoa, kelapa, sirsak, nangka, pepaya dan sayur-sayuran ada
di sana. Masyarakat dapat hidup dari hasil menyadap karet. Setiap bulan sekian
ton sit karet yang sudah diasapi dan siap dipasarkan, dapat mereka hasilkan. Di
stasi itu, setiap hari listrik sudah menyala dari jam 18 – hingga jam 22,
dengan genset swadaya mereka sendiri. Mereka sudah tahu ambil bagian dalam
pembiayaan operasional mesin genset milik mereka. Biaya mereka pikul
bersama-sama.
Dengan menginjakkan kaki di stasi
Subur, untuk mengenang kembali permandian di Térék, dalam perayaan syukur
tanggal 23 Mei 2013 “roh / semangat dan jiwa umat Allah yang menyambut rahmat
Allah pada waktu itu, terasa hidup dan segar kembali”. Peristiwa itu bukan hanya dikenang, tetapi
sungguh-sunguh dihadirkan, dan dijadikan “penggerak semangat bagi generasi sekarang ini”.
Pastor Willem yang menanam, para
misionaris terdahulu yang menyiram, dan para pastor sekarang yang bertugas di
wilayah Digul yang memelihara dan melanjutkan agar buah-buah rohani dan
keselamatan Allah semakin dialami oleh banyak orang.
Menyusuri sungai Digul merupakan
suatu pengalaman unik tersendiri bagi saya. Sebagaimana Yesus dalam
pelayanan-Nya sering menyusuri sungai, danau dan bukit, demikian pula para
misionaris dahulu dan sekarang di wilayah Kabupaten Boven Digul, amat sering
menyusuri sungai untuk menggembalakan domba-domba Yesus. Air sungai bukan
sekedar menyuburkan tanah, tetapi juga menjadi sarana untuk menemukan dan
menemui domba-domba yang haus akan firman Tuhan dan sakramen-sakramen-Nya. Air
yang merupakan tanda dan sarana kehidupan, dapat menghantar orang kepada Allah
Sang Sumber Kehidupan melalui Anak-Nya yang terkasih ( Yesus Tuhan ).
Peristiwa bersejarah itu saya
syukuri, sekaligus saya alami sebagai peristiwa iman. Bahwa Allah yang telah
memulai karya-Nya itu, tetap menyertai mereka dan para gembala domba yang
diutus untuk mengunjungi, menggembalakan dan menguatkan mereka. Perjalanan yang
aman, kunjungan yang menyenangkan, meski secara manusiawi melelahkan dan
menuntut pengorbanan, merupakan bukti bahwa Allah adalah Allah yang hidup.
Bahwa Dia tidak meninggalkan umat-Nya berjuang sendiri, tetapi melalui Roh
Kudus, Dia membimbing dan memenuhi dahaga jiwa dari umat yang dicintai-Nya.
Komentar