ANAK KECIL
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM.....
Sudah cukup lama saya tidak mengunjungi anda. Rasanya tahun ini, ada banyak kekosongan dalam penulisan di blog kita tercinta ini. Maklum, ada banyak kegiatan yang sering harus saya utamakan. Moga-moga apa yang sudah saya tuliskan meski terlambat, tetapi punya getaran / memberikan sumbangan pencerahan bagi anda. Kali ini, saya muncul dengan cerita tentang anak kecil.
Ketika Yesus didatangi oleh anak-anak, para murid memarahi mereka. Anak-anak itu dianggap dianggap pengganggu. Justru ketika para murid merasa terganggu, Yesus memberikan "pengajaran / pencerahan / pemahaman baru" kepada para murid-Nya: "Siapa yang bersikap seperti anak kecil ini, dialah yang akan masuk ke dalam kerajaan surga". Sikap seperti apa yang dimaksudkan Yesus ? Sikap kepolosan, ketergantungan, kejujuran tetapi juga kepercayaan penuh kepada kedua orangtua mereka. Sikap-sikap itu, sungguh nyata dalam cerita berikut ini:
MEMBENTUK KEPRIBADIAN SEORANG ANAK
Si anak masih terus menangis dan beberapa penumpang sudah mulai tak tega melihatnya. Mereka mencoba mendiamkan dengan menyapa, menawarkan makanan dan mainan supaya tangisannya reda namun si anak tetap saja menangis. Mungkin karena malu atau apa, akhirnya si ibu dan bapak anak itupun sadar juga dari rasa cuek mereka. Si bapak yang masih muda itu lalu menarik, lebih tepatnya, menggeret tangan anak yang masih menangis itu dan dipangku dengan wajah kesal. Duh..!
Veronica Endang,M.Si
Guru, Penulis
PEMBACA YANG BUDIMAN......
Ketika berhadapan dengan "anak kecil", orangtua sebenarnya digugah / dipanggil untuk menjadi "penumbuh (orang yang menumbuhkan), pelindung, pengayom sekaligus penjaga" benih-benih kehidupan dan keutamaan kepada anak itu. Orangtua mendapat kehormatan untuk menjadi saluran rahmat Tuhan. Dalam situasi yang diceritakan tadi, kedua orangtua itu "belum menyadari bahwa mereka adalah tanda kehadiran Tuhan yang amat penting dalam kehidupan anak mereka". Setiap waktu, kita dapat menjadi "tanda nyata kebaikan Tuhan bagi sesama".
SYALOOM.....
Sudah cukup lama saya tidak mengunjungi anda. Rasanya tahun ini, ada banyak kekosongan dalam penulisan di blog kita tercinta ini. Maklum, ada banyak kegiatan yang sering harus saya utamakan. Moga-moga apa yang sudah saya tuliskan meski terlambat, tetapi punya getaran / memberikan sumbangan pencerahan bagi anda. Kali ini, saya muncul dengan cerita tentang anak kecil.
Ketika Yesus didatangi oleh anak-anak, para murid memarahi mereka. Anak-anak itu dianggap dianggap pengganggu. Justru ketika para murid merasa terganggu, Yesus memberikan "pengajaran / pencerahan / pemahaman baru" kepada para murid-Nya: "Siapa yang bersikap seperti anak kecil ini, dialah yang akan masuk ke dalam kerajaan surga". Sikap seperti apa yang dimaksudkan Yesus ? Sikap kepolosan, ketergantungan, kejujuran tetapi juga kepercayaan penuh kepada kedua orangtua mereka. Sikap-sikap itu, sungguh nyata dalam cerita berikut ini:
MEMBENTUK KEPRIBADIAN SEORANG ANAK
Bandar udara
Supadio, Kalimantan Barat, pertengahan Januari silam. Saya duduk
di ruang tunggu bandara yang ramai. Saat itu saya menunggu keberangkatan
pesawat tujuan Jakarta. Untuk membunuh waktu, saya membaca komik kesukaan saya
yakni kisah petualangan Tintin dan anjingnya, Milo dari PC
(Personal Computer) tablet saya. Namun tiba-tiba lengkingan tangis seorang anak kecil menarik
perhatian saya dan orang-orang yang sedang berada di ruang tunggu tersebut.
Rupanya ada anak laki-laki kira-kira berumur 6 tahun yang sedang menangis
meraung-raung di lantai. Anehnya, orangtuanya yang duduk tak jauh dari anak
tersebut kelihatan tenang saja. Ibunya sibuk dengan Blackberrynya
sementara sang bapak juga sama, sibuk terus dengan gadgetnya. Ya, ampun,
apa yang terjadi dengan kedua orangtua itu?, jerit saya dalam hati.
Si anak masih terus menangis dan beberapa penumpang sudah mulai tak tega melihatnya. Mereka mencoba mendiamkan dengan menyapa, menawarkan makanan dan mainan supaya tangisannya reda namun si anak tetap saja menangis. Mungkin karena malu atau apa, akhirnya si ibu dan bapak anak itupun sadar juga dari rasa cuek mereka. Si bapak yang masih muda itu lalu menarik, lebih tepatnya, menggeret tangan anak yang masih menangis itu dan dipangku dengan wajah kesal. Duh..!
Pikiran saya
melayang ke bangku kuliah beberapa waktu lalu. Dosen yang mengajar mata kuliah
Psikologi menjelaskan bahwa proses pembentukan kepribadian seseorang selain
ditentukan oleh faktor internal seperti gen dan sifat bawaan, dipengaruhi juga
oleh faktor eksternal misalnya lingkungan sosialnya dan pola pengasuhan
orangtua. Pakar psikologi, Roberta M. Berns dalam
bukunya Child, family, school, community: socialization and
support juga menggarisbawahi
pola asuh merupakan cara perlakuan orang tua dalam hal mendidik
anak, dapat mempengaruhi cara anak-anak ini berkembang dan memandang dunia
sekitarnya.
Sikap
orangtua yang melakukan pembiaran, tidak memberi perhatian dan kehangatan saat
si anak mengalami kesedihan atau kemarahan bisa berpotensi menumbuhkan masalah
emosional di masa dewasa, seperti misalnya jadi orang yang pasif, skeptis, mudah
menyerah, pemarah, tidak percaya diri, kasar, keras sampai jadi orang yang
berdarah dingin, agresif dalam kegiatan seks atau perilaku-perilaku menyimpang
lainnya.
Beberapa
tokoh dunia yang berpengaruh juga mengalami perlakuan buruk dari
orangtuanya. Michael Joseph Jackson, atau yang lebih dikenal
sebagai Michael Jackson, penyanyi legendaris dunia (1958- 2009),
sangat trauma apabila mengenang masa kecilnya. Ia mengisahkan
bahwa ia diperlakukan secara kasar, baik mental dan fisik oleh ayahnya. Meskipun
meraih sukses tetapi sampai akhir hayatnya Michael tetap menjadi pribadi yang
labil, tidak bahagia dan kesepian. Tokoh lain adalah Adolf Hitler, seorang
diktator dan kanselir Jerman (1889-1945). Ia melewatkan masa kecilnya dalam
tekanan orangtuanya. Perlakuan ayahnya yang kasar dan keras telah membuat
Hiltler merasa inferior dan tidak berguna. Pada masa hidupnya, Hitler
dikenal sebagai pribadi yang kejam, sadis dan tanpa perasaan saat ia menyiksa
ribuan tawanan di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Akhirnya iapun memutuskan bunuh
diri di bunkernya akibat perasaan tidak bahagia yang menghantuinya seumur
hidup. Dan terakhir, tokoh lain yang saya baca adalah Steve Jobs, pendiri
perusahaan Apple terkenal di dunia (1955-2011). Ia mengalami masa kecil yang
pahit akibat ditelantarkan orangtua kandungnya hingga ia diadopsi orang lain.
Akibat pengalaman traumatis itu, kabarnya sampai detik kematiannya ia tidak
bersedia bertemu dengan orangtua kandungnya.
Saya jadi
tercenung. Perlakuan orangtua yang tidak menyayangi anak-anak sebagaimana
mestinya telah meninggalkan jejak hitam sepanjang hidup. Tiba-tiba saya jadi
tambah kasihan dengan anak itu tadi.
Sesaat kemudian ,pengumuman untuk boarding mengagetkan lamunan
saya. Mata saya celingukan mencari anak yang menangis dan orangtuanya tadi.
Mereka tidak nampak lagi dalam antrian, entah kemana. Sambil memanggul ransel
yang penuh dengan oleh-oleh khas kota Pontianak,
saya hanya berdoa semoga pikiran saya tentang orangtua tadi salah,
semoga anak tersebut tidak benar-benar berada di pengasuhan yang salah sehingga
semua yang saya khawatirkan tadi tidak terjadi. Semoga.Veronica Endang,M.Si
Guru, Penulis
PEMBACA YANG BUDIMAN......
Ketika berhadapan dengan "anak kecil", orangtua sebenarnya digugah / dipanggil untuk menjadi "penumbuh (orang yang menumbuhkan), pelindung, pengayom sekaligus penjaga" benih-benih kehidupan dan keutamaan kepada anak itu. Orangtua mendapat kehormatan untuk menjadi saluran rahmat Tuhan. Dalam situasi yang diceritakan tadi, kedua orangtua itu "belum menyadari bahwa mereka adalah tanda kehadiran Tuhan yang amat penting dalam kehidupan anak mereka". Setiap waktu, kita dapat menjadi "tanda nyata kebaikan Tuhan bagi sesama".
Komentar