KEBOHONGAN .....................

PEMBACA YANG BUDIMAN

SYALOOM......



Pada tulisan kali ini, saya sajikan renungan kecil, tentang kebaikan seorang ayah kepada anaknya. Saya yakin anda pun pernah mengalaminya. Mari kita simak isinya, dan kita dalami maknanya>


Lukas dalam Injilnya menuliskan “Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan?  Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya" (Luk 11: 11 -13).

Tidak sulit untuk mencerna dan memahami “maksud Yesus yang mengajar dan mengenalkan Allah sebagai Bapa yang baik kepada umat manusia”.  Dengan mengambil pengertian dan situasi nyata masyarakat pada waktu itu, cerita tersebut dituangkan, agar pendengarnya mengerti sesuai dengan bahasa, daya nalar dan pemahaman mereka. Contoh-contoh nyata yang demikian itulah yang mempermudah orang lain untuk menangkap “apa yang tidak kelihatan” melalui apa yang kelihatan dan dialami dalam hidup sehari-hari.
Pastor Novi Tuju msc, yang baru saja ditinggalkan oleh ayah tercinta, bersharing tentang “nilai kehidupan” yang dia peroleh melalui “pengalaman dibohongi oleh ayahnya”.  Bagi dia, kebohongan itu bukan “melukai dan memberikan pengaruh negatif dalam kehidupannya, namun malah dilihat sebagai rahmat. Di balik kebohongan itu, ada mutiara kehidupan yang begitu mulia. Kebohongan itu mengajarkan keutamaan-keutamaan yang dihidupi oleh ayahnya. Inilah kisah yang dia tuturkan dalam email kepada para konfrater msc:  

Sebuah kebohongan umumnya memiliki pengertian dan akibat yang negatif. Namun, saya pernah membaca sebuah kisah tentang kebohongan seorang ibu yang sungguh bermakna bagi kehidupan anaknya. Kisah senada juga saya baca saat mengenang papa yang telah mengajarkan banyak hal tentang makna kehidupan, antara lain melalui beberapa kebohongan berikut ini.
Kenangan akan pelajaran kehidupan dari papa bermula ketika saya masih berumur kira-kira 6 tahun. Ketika pulang sekolah, papa dan saya duduk bersama untuk makan siang. Dalam keterbatasan ekonomi keluarga yang pas-pasan, meskipun papa bekerja sebagai guru, saat itu hanya tertinggal sepotong ikan kecil di atas meja. Sambil mengambilkan nasi dan ikan ke piringku, papa berkata:  “makan saja, papa nda lapar..” KEBOHONGAN PAPA YANG PERTAMA, yang mengajarkan kepada saya bagaimana caranya berkorban tanpa banyak kata.
Kenangan berlanjut ketika saya hampir lulus SMP. Pada suatu kesempatan “sharing” berdua, papa menceritakan pengalamannya dalam melaksanakan tugas sebagai guru. Sekitar tahun 1967, ketika papa ditempatkan di Kawatak, sebuah kampung berjarak + 5 km dari tempat tinggal kami di Noongan, papa setiap hari pulang-pergi Noongan-Kawatak berjalan kaki, tanpa tergantung pada cuaca. Hujan atau panas, papa tetap ke sekolah, walau seringkali hanya menggunakan daun pisang sebagai payung, dan tidak jarang juga papa harus mengajar di kelas dengan baju yang masih basah akibat hujan.  Dengan tingkat “perjuangan” seperti itu papa hanya mendapat  “gaji” seekor ayam dari Kepala Kampung Kawatak. Ketika saya bertanya apakah papa tidak keberatan dengan gaji seperti itu, lagi pula tidak dalam bentuk uang, papa dengan tenangnya berkata: “doi (uang) itu gampang...”. KEBOHONGAN PAPA YANG KEDUA, karena saya yakin bahwa di jaman yang susah seperti itu, papa pasti tidak gampang untuk mendapatkan uang, apalagi pekerjaan papa hanya sebagai guru saja, tidak ada pekerjaan sampingan. Kemudian saya sadar bahwa papa hendak mengajarkan bahwa uang bukanlah segala-galanya. Ada banyak hal yang tidak bisa dinilai atau digantikan dengan uang, seperti pengorbanan dan kesetiaan.
Selanjutnya, ketika saya bersekolah di Seminari Menengah Kakaskasen, saya sempat bertanya kepada papa, apakah papa akan kecewa seandainya saya keluar dari Seminari. Papa, yang tidak mau membebani anaknya dengan harapan-harapannya, hanya menjawab: “Papa nda kecewa, berarti kamu memang Tuhan nda pilih.” KEBOHONGAN PAPA YANG KETIGA.
Delapan tahun yang lalu, waktu mama meninggal, saya yang bertugas di Merauke pulang ke Noongan. Waktu itu sangat nampak bahwa papa sangat sedih karena kehilangan mama. Setelah bertahun-tahun kemudian pun mata papa tetap berkaca-kaca bila ada percakapan di tengah keluarga yang menyebut-nyebut nama mama. Namun, seminggu sesudah pemakaman mama, papa berkata kepada saya: “bale jo ke Merauke, so boleh, papa kwa so nda sedih..” ( kamu sudah boleh kembali ke Merauke, sudah cukup kamu berada di sini, papa sudah tidak sedih ). KEBOHONGAN PAPA YANG KEEMPAT. Ternyata papa, yang masih sangat suka ditemani anak-anaknya (termasuk saya), di saat mama telah tiada, berusaha meminggirkan perasaan dan keinginannya. Papa seakan tidak membutuhkan kehadiran saya di saat itu, justru karena papa sangat menghargai dan mendukung panggilan yang telah saya pilih, dengan segala konsekuensinya, termasuk ketika saya harus berada di tempat yang jauh dari papa.
Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Manado, saya berulang-kali sakit dan dirawat di rumah sakit. Saat itu papa, yang sudah berumur kira-kira 74 tahun, rajin sekali mengunjungi saya, dan papa sangat suka berlama-lama duduk di samping tempat tidur saya.  Ketika saya minta papa untuk pulang saja ke rumah karena papa sudah kelihatan lelah, papa, yang ingin menemani dan menyemangati anaknya, selalu bilang: “tunggu sedikit lagi, papa nda lelah”. KEBOHONGAN PAPA YANG KELIMA.
Seminggu sebelum papa pergi untuk selamanya, pada hari Minggu Palma sore, saya memberikan Komuni Kudus kepada papa. Selesai berdoa, saya katakan pada papa bahwa pada hari minggu Paskah nanti saya akan datang lagi membawa Komuni untuk papa. Dengan sangat bersemangat papa menjawab: “Iya, nanti papa tunggu.” KEBOHONGAN PAPA YANG KEENAM,  karena Papa tidak menunggu saya lagi.
Enam hari setelah mengatakan kebohongan yang keenam itu kemudian papa terkasih akhirnya meninggalkan dunia ini, di saat terindah dalam rangkaian tahun liturgi Gereja: perayan Kebangkitan Tuhan. Papa memang tidak lagi menyambut Tubuh Kristus pada Hari Raya Paskah, tapi saya yakin bahwa papa justru telah merayakan Paskah Abadi bersama Kristus.
Tanpa terasa, ada butiran air yang menetes di pipi ketika saya menuliskan sharing sederhana ini, tapi jauh di lubuk hati mengalir tiada henti rasa syukur dan terima kasih tak berhingga: TUHAN, terima kasih untuk Papa yang Kau anugerahkan untukku..
Papa, terima kasih untuk kasih sayangmu..
Konfrater sekalian yang baik, terima kasih untuk semua perhatian, cinta dan doa untuk papa dan untuk saya bersama keluarga. Semoga kita tetap bergandengan tangan dalam mewartakan kebaikan dan cinta kasih Hati Kudus. Amin.

novi tuju msc

Pastor Novi, terima kasih atas “sharing tentang nilai-nilai kehidupan” yang telah diwariskan kepada mu, dan kepada kami para pembaca sharing itu. Melalui email ini, saya ucapkan selamat jalan kepada papa, dan doa kami menyertai panggilanmu. Syaloom.....

Komentar

Postingan Populer