MAKAN BERSAMA

PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM......
Makan Bersama (MB) sebenarnya amat biasa dan sudah kita kenal. Di banyak tempat kita dapat melihat dengan mudah orang makan bersama, termasuk di keluarga masing-masing.  Di sisi lain, MB sering amat sulit dilaksanakan karena pelbagai alasan. Bisa juga MB dianggap tidak penting lagi, karena ada anggapan "yang penting ada komunikasi". Melalui tulisan ini, saya hendak "menyubuhkan renungan saya tentang MB".  Silakan anda simak, dan semoga tulisan ini berguna bagi banyak orang.                    

Pada suatu hari sekitar tahun 1997, saya diajak MB oleh suatu keluarga. Keluarga itu mempunyai 2 orang anak, yang sulung laki-laki dan si bungsu perempuan. Mereka hidup rukun dan damai. Kami MB dalam suasana penuh persaudaraan dan kekeluargaan. Ada banyak cerita yang terungkap. Acara makan sudah berlangsung lebih dari 1 jam. Ketika kami sedang menikmati buah, si sulung mohon diri (pamit) karena ada keperluan lain. Kami semua mengiyakan dan si sulung  beranjak dari tempat duduknya kemudian meninggalkan kami. Kami tetap melanjutkan percakapan kami, sambil minum teh tanpa gula. Cerita dari hati ke hati, tukar pikiran, dan saling memberi informasi serta saling menyemangati betul-betul terbangun malam itu.
Beberapa tahun sebelumnya, saya belum kenal keluarga itu. Pada saat kunjungan yang pertama, tuan rumah sedang pergi. Saya mengalami para pembantu rumah tangga ( PRT) keluarga itu sangat ramah, diajari budi pekerti, dan menghormati para tamu yang datang, meski para tamu itu belum mereka kenal. Saya amat terkesan atas suasana itu. Dalam perbincangan dengan para PRT, mereka mengatakan bahwa kejujuran, kepercayaan, kerja keras, sukacita, kesetiaan, rela berkorban, saling memaafkan ditanamkan dan ditumbuhkan pula di antara mereka. Beberapa kali dalam setahun mereka diajak oleh keluarga untuk MB. Mereka yang kebanyakan tidak seiman, selama puluhan tahun betah tinggal di sana dan melayani mereka. Bahkan ada yang sudah mengabdi di sana sebelum kedua anak dari keluarga itu lahir. 

Sebagai manusia,  tentu para PRT pernah membuat kekeliruan atau kesalahan kepada keluarga itu, begitu pula sebaliknya. Namun semua itu dapat diatasi. Suasana keluarga dan mereka, relasi mereka satu sama lain, amat akrab, rukun dan penuh persahabatan.  Kesalahan, kekurangan dan kekeliruan, bukan menjadi “alasan untuk saling menyalahkan dan berpisah / bermusuhan, tetapi dapat menjadi “titik tolak bertumbuhnya kepribadian dan keutamaan mereka”.  Dalam situasi seperti ini, mereka yang keliru, bersalah, atau bahkan berdosa, secara moral akan terdorong untuk berubah / bertobat tanpa merasa terpaksa. Tidak heran bahwa para mantan pembantu RT, sesekali waktu datang berkunjung untuk bersilaturahmi. Mereka rindu “suasana kekeluargaan, saling menghargai dan menerima masing-masing pribadi sebagai makhluk Tuhan”.  Pembaharuan dan pertobatan berlaku untuk semua orang sepanjang masa, tanpa membeda-bedakan agama dan suku, adat istiadat dan budaya, serta latar belakang pendidikan mereka. Di hadapan Tuhan, semua orang itu sama. Setiap orang adalah ciptaan-Nya, yang berjuang agar hidup bahagia di dunia dan kelak di akhirat bersama dengan Sang Khalik.

Kebaikan hati, sukacita, kesetiaan, pengorbananan, saling percaya dan keutamaan-keutamaan lainnya yang dihidupi secara terus-menerus oleh keluarga itu, telah membuahkan semangat dan kekuatan pada diri orang lain untuk menggapai “kehidupan baru”.  Mereka telah memberikan contoh nyata  dalam kehidupan, dan membuktikan bahwa hidup damai, bahagia, dan penuh sukacita itu dibutuhkan oleh setiap orang. Bahwa kehidupan yang demikian itu bisa terjadi, asalkan semua anggota keluarga turut berperan, dan kedekatan serta menimba kekuatan dari Allah sebagai sumber kehidupan senantiasa dilaksanakan dengan setia.

Dalam Kitab Yosua, diungkapkan bahwa bangsa Israel telah kembali dari pembuangan. Di tanah asing, mereka terlunta-lunta, dan hidup mereka diatur oleh orang lain. Di tanah asing, mereka sengsara dan menjadi budak. Kini mereka tinggal di tanah air mereka sendiri dan makan makanan dari hasil tanah mereka sendiri (Yosua 5: 12), setelah berpuluh-puluh tahun “dijatah” oleh alam dan bangsa lain. Betapa bahagianya mereka, dapat menikmati buah atau hasil kebun / tanaman mereka. Mereka menyadari bahwa kelaparan dan kesengsaraan itu terjadi karena mereka berdosa (melawan Allah dan hukumnya). 

Di sisi lain, meski mereka berdosa dan mengalami kesengsaraan di negeri asing, Allah tetap peduli akan nasib mereka dan menolong mereka agar segera terbebaskan dari situasi yang mengancam kehidupan dan masa depan mereka. Sebutan sebagai bangsa pengembara dan perbudakan dihapuskan. Mereka mengalami bahwa Allah sungguh-sungguh memperhatikan kesengsaraan umat-Nya dan telah mengalami kehidupan baru, sebagai suatu bangsa. Mereka dengan bantuan Allah kini menjadi bangsa yang berdaulat, dan hidup di tanah air mereka sendiri. Pengalaman ini tidak pernah dilupakan, dan diceritakan secara turun-temurun kepada anak cucu mereka. Kasih Allah sungguh besar dan dahsyat.  Semua pengalaman itu, membuat umat Allah ini semakin beriman kepada-Nya dan menuruti hukum-hukum-Nya.  

Dalam bimbingan Allah, bukan hanya kehidupan rohani yang berubah tetapi juga kehidupan kemasyarakatan mereka pun menjadi baru. Mereka dengan mendiami tanah yang diberikan Tuhan telah bangsa terhormat yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Kerja sama antar bangsa, dan hidup berdampingan dengan negara-negara / bangsa-bangsa lain mereka alami.  Mereka menata kehidupan dan mengembangkan kekuatan anak-anak bangsa agar masa depan mereka makin damai dan sejahtera, aman dan berkeadilan.  Suasana kehidupan negara dan berbangsa yang demikian ini, dan kedekatan mereka dengan Allah, membuat bangsa-bangsa lain “cemburu” kepada mereka. Namun, sesungguhnya bangsa mana pun yang “dekat dengan Allah” dan “bekerja keras membangun kebersamaan dengan bangsa-bangsa lain” secara terhormat dan bermartabat, akan mengalami “kehidupan yang dialami oleh bangsa terpilih itu”. Mereka akan menjadi bangsa terpilih yang baru. 

Dalam Injil Lukas,  terdapat komentar / keluhan dari orang Farisi dan para ahli taurat: “Yesus menerima orang berdosa dan makan bersama mereka” (Luk 15:2).   Mengapa mereka berkomentar ? karena Yesus memperlakukan mereka itu secara istimewa. Semua disapa dan disambut dengan cara yang sama. Jabatan, pangkat, kekayaan dan popularitas tidak menjadi patokan atas sambutan kepada orang itu. Bagi Yesus, semua adalah saudara. Dalam makan bersama itu, suasana persaudaraan, kasih sayang dan keutuhan keluarga diwujudkan. Relasi  bapak, ibu, dan anak-anak dan anggota keluarga dikuatkan kembali. Hidangan yang disiapkan juga menjadi sungguh istimewa, karena merupakan wujud kasih, kebersamaan dan syukur kepada Allah yang telah memberikan rejeki. 

Dalam makan bersama, suasana yang tercipta adalah kedekatan mereka, saling pengertian, saling berbagi dan saling memahami. Masing-masing orang bisa bercerita tentang pengalaman hari itu (curhat), dan yang lain mendengarkan.  Kebersamaan-kebersamaan yang demikian inilah yang membuat orang makin bertumbuh, menjadi orang yang penuh kasih, kuat dalam iman dan harapan, dan punya rasa solidaritas yang tinggi. Pada gilirannya, melalui makan bersama ikatan keluarga dikuatkan, masing-masing pribadi dihargai dan diterima. Makan bersama ternyata membuahkan sukacita dan  kekuatan sehingga mereka pun kelak terdorong untuk melakukan hal yang sama atau malah lebih baik kepada sesamanya.

Mengingat pentingnya “makna makan bersama itu”, Yesus mengajak mereka yang berdosa dan dianggap “tidak layak itu” untuk hadir dalam perjamuan makan bersama Dia. Mereka diundang untuk mengalami kehadiran dan kasih sayang Allah yang tak terbatas.  Bahwa setiap orang berharga di hadapan Allah. Banar bahwa Allah membenci dosa, tetapi mencintai orang berdosa. Karena itu, Dia memberi kesempatan kepada mereka untuk membuka diri, dan mengisi hati dan kehidupannya dengan kebaikan, kesetiaan, perhatian, pengampunan dan kemurahan hati yang berasal dari Allah. Keutamaan-keutamaan dan pengalaman dikasihi dan diampuni yang ditanamkan dan dihayati ini, akan menjadi modal bagi pertobatan dan pembaharuan hidup seseorang.

Melalui cerita “anak yang hilang”, Yesus hendak melukiskan kebaikan hati Allah yang amat istimewa kepada kedua anaknya. Si bungsu yang telah memboroskan semuanya, “menggadaikan hidupnya”, putus asa dan hidup dalam dosa, tetap ada dalam pelukan kasih-Nya. Dia ditunggu selama bertahun-tahun. Ketika dalam perjalanan pulang dan sudah dekat rumah, dia telah dijemput oleh bapanya. Dia dipeluk dan dicium oleh bapanya. Undangan untuk hadir di pesta disebarkan. Pesta besar, hidangan mewah dan makan bersama diselenggarakan bapanya untuk dia. Itulah tindakan kasih bapanya yang luar biasa dan istimewa. Adegan itu menandakan bahwa dosanya diampuni. Dia tetap diterima dan diakui sebagai anak dan dipulihkan martabatnya.

Si bungsu yang telah kembali ke rumah ayahnya, dan diterima dengan sukacita dan pesta (Luk 15:23), kini menjadi “pribadi yang baru”. Dia menjadi pribadi yang penuh kekuatan dan kepercayaan untuk menata masa depan yang penuh bahagia. Orang yang demikian ini (pernah jatuh, ditinggalkan, dibuang dan dihina, dan kemudian bertobat) akan menjadi motor pembaharu yang handal bagi saudara-saudaranya yang mengalami situasi / keterpurukan yang berat. Tentu dia tetap perlu terus-menerus memohon rahmat Allah agar kehidupan baru yang telah dimulainya ini, akan berlangsung seumur hidupnya. 

Si sulung yang marah (ngambek) dan tidak mau masuk, juga mendapat perhatian. Sang bapa keluar untuk menemui dia (Luk 15: 28). Bapa dengan penuh kesabaran mendengarkan “perasaan tidak puas, kejengkelan dan kebencian si sulung kepada adiknya”.  Dengan sabar dia memberikan pengertian dan penyadaran kepada anak itu. Bahwa dia telah mendapatkan banyak kasih sayang, kehadiran, keutamaan dan contoh hidup yang tidak bisa dibeli dengan uang. Semua yang dia dapatkan itu jauh lebih berharga daripada uang. Maka, ayahnya itu juga menasehati dia agar jangan menangisi harta, karena harta bisa dicari tetapi perlu menangis dan menyesal bila kehilangan martabat, harga diri dan kepribadian.  Kembalinya si adik bungsu ke jalan yang benar, sesungguhnya merupakan rahmat besar bagi seluruh keluarga.  

Baik si bungsu maupun si sulung, adalah “lambang dari manusia yang berdosa, manusia yang keras kepala, egois, dan tidak mau tahu kehidupan orang lain”. Mereka adalah simbol dari manusia yang memutuskan relasi kasih dengan sesamanya. Keduanya adalah orang-orang berdosa yang merindukan pertobatan. Mereka berdua diberi kesempatan untuk mengalami kasih sayang Allah yang tak kenal batas waktu dan tak bersyarat. Ayah mereka adalah lambang Allah Bapa yang tidak pernah habis belas kasih-Nya kepada semua anak-Nya.

Melalui bacaan kitab suci,  diwartakan bahwa semua orang “dipanggil dan diundang untuk makan bersama”, agar mengalami bahwa melalui Yesus, Allah mencintai, menghargai, mengerti dan menerima keadaannya. Pikiran, sikap dan tindakan Allah amat jauh berbeda dengan pikiran, sikap, tindakan manusia. Allah adalah Pencipta, manusia adalah ciptaan-Nya. Maka, amat mudah dipahami bahwa Allah amat peduli akan manusia, kedosaan dan kesengsaraan umat-Nya, mau mengampuni mereka serta memulihkan martabatnya. Sabda, rencana dan tawaran Allah yang tertulis dalam kitab suci ini berlaku bagi manusia sepanjang jaman.

Pada masa sekarang pun,  Dia mencari dan memanggil mereka yang tersesat, yang putus asa, yang sakit dan malang, dan yang berdosa untuk datang kepada-Nya, melalui para utusan-Nya. Telah banyak orang berdosa yang bertobat, karena kesaksian hidup dari banyak orang saleh dan benar. Mereka yang telah mengalami kasih-Nya dan membaharui hidupnya ( bertobat dan hidup dalam kesatuan erat dengan Allah), adalah duta-duta (utusan) Tuhan yang amat handal dan setia.  Mereka menjadi “anak hilang jaman ini yang telah bertobat dan kembali ke rumah Bapa”. Mereka ingin menghantar sesamanya yang sedang kehilangan arah, kecewa, hidup dalam kegelapan untuk bertemu dengan Yesus dan mengalami kasih-Nya.

Kalau demikian, makan bersama di rumah, di komunitas, di wilayah rohani ( kring ), di lembaga-lembaga apa pun, yang diselenggarakan dalam suasana persaudaraan, saling menghargai, saling mendukung dan menerima, dapat menjadi pintu rahmat bagi orang yang ingin bertobat dan hidup baru. Di tengah-tengah masyarakarat yang makin individualistis, banyak kemudahan, maunya serba cepat, dan ketika sapaan manusiawi makin berkurang, “suasana keakraban, persaudaraan, saling menghargai dan memahami yang tercipta pada saat makan bersama” merupakan obat / penyegar / pemulih dahaga jiwa dan rohani manusia.  Semuanya itu sesungguhnya adalah wujud kasih. Bila dilakukan dengan tulus, ikhlas dan merupakan buah-buah iman, tindakan itu sudah merupakan “kasih Allah”.

Pertobatan orang berdosa sering membutuhkan waktu yang panjang, perlu kesabaran yang besar dari orang-orang yang dekat dengan dia, bahkan menuntut pengorbanan (waktu, perasaan, tenaga, pikiran dan dana) yang tidak sedikit. Maka, orang-orang yang demikian ini ketika tidak mau mendengarkan saran dan kritik dari orang lain, cenderung untuk disingkirkan / dibiarkan. Itulah yang terjadi / tindakan manusia kepada orang yang bersalah / berdosa pada umumnya. Tidak demikianlah halnya dengan Bapa di surga. Dia menginginkan semua anak-Nya mengalami kebahagiaan. Maka, Dia mengusahakan agar anak-anak-Nya kembali kepada-Nya dan hidup dalam damai. Melalui banyak perumpanaan Yesus hendak menjelaskan kebaikan hati Bapa-Nya yang sungguh luar biasa kepada umat-Nya.

Masa puasa adalah masa pertobatan, masa untuk kembali kepada-Nya dan mengalami kasih sayang-Nya yang amat luar biasa. Masa ini juga merupakan masa untuk “kembali” atau masa untuk memulihkan situasi kehidupan yang kacau, penuh perselisihan dan kecdemasankepada kehidupan yang teratur, tenteram dan membahagiakan. Masa ini juga merupakan masa untuk memperbaiki / mengutuhkan kembali relasi yang telah retak / renggang sehingga dialog, komunikasi, sharing dari hati ke hati antara suami istri, orangtua dan anak-anak, warga dan ketua lingkungannya bisa terjadi lagi. Masa ini juga merupakan masa untuk meningkatkan penghargaan kepada sesama manusia dan tekad untuk memelihara alam dan ciptaan Tuhan lainnya, sehingga generasi berikutnya pun dapat turut menikmati semua yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia.

Undangan yang untuk “makan bersama” (memulihkan relasi dan martabat manusia) bukan hanya berlaku pada jaman Yesus, bukan hanya bagi keluarga-keluarga tertentu, tetapi juga bagi kita semua. Semua orang butuh hidup bahagia, tetapi juga diutus untuk menciptakan kebahagiaan itu bersama dengan sesamanya secara terus-menerus. Kalau dulu, kita mendapatkan kekuatan, dorongan, pencerahan dan bimbingan dari orangtua, para guru, para pembina kita, kini giliran kita untuk memberikan “apa yang kita miliki dan kita alami” kepada generasi sekarang dan mendatang.  Tuhan yang mengutus, akan memberkati dan mendampingi segala usaha kita serta menambahkan apa yang masih kurang dalam diri kita. Kita adalah duta-duta kasih Allah kepada sesama kita.

                                                                                             Niko Adi MSC

Komentar

Postingan Populer