FITRI DAN ANDIKA ANAK ORANG MISKIN ...DIHUKUM
PEMBACA SETIA BLOG ......
Syaloom......
Situasi pendidikan di negara ini, makin hari makin menunjukkan bahwa masyarakat kecil sulit untuk mengenyam pendidikan, karena keadaan / kemiskinan orangtua mereka. Untuk menanggapi hal itu, para pemimpin agama di tanah air, melayangkan surat pernyataan kepada rakyat. Surat Pernyataan itu ditujukan kepada kita sekalian dalam bentuk surat terbuka. Karena itu, surat tersebut saya tuturkan di blog ini, agar anda pun dapat turut memahami betapa sulitnya perjuangan untuk meningkatkan mutu pendidikan anak bangsa, terlebih bagi mereka yang miskin dan tidak mampu.
Surat Terbuka Kepada Rakyat
1. Kami, para tokoh lintas-agama, kembali menyatakan keprihatinan terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keprihatinan kami saat ini jauh lebih mendalam dan mendasar.
2. Telah cukup lama Presiden dan berbagai tokoh nasional menyatakan berada di garis depan untuk memberantas korupsi. Tetapi ternyata korupsi politik tetap merajalela. Gurita korupsi dari hulu ke hilir melibatkan pejabat kementerian, anggota DPR, para penegak hukum, partai politik, pengusaha, dan sebagainya.
3. Akibatnya terlihat semakin jelas. Sebagian besar rakyat Indonesia mengalami semakin berat membayar biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok sehari-hari. Rasa aman dan damai terasa semakin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM dan kebebasan beribadat, kekerasan, pengrusakan lingkungan hidup, dan hukum yang tidak berdaulat.
4. Sangatlah tidak mungkin Presiden di negeri ini tidak mengetahui korupsi tersebut. Dan merupakan hal yang sulit dimengerti oleh pikiran rakyat jika Presiden tidak tahu bagaimana menghentikannya. Namun fakta selanjutnya malah memperlihatkan sejumlah politisi sampai ”menantang” KPK dan ”mengancam mogok” dalam upaya mempertontonkan kekuatan mereka.
5. Kami ingin menyatakan bahwa sebagai tokoh lintas-agama, kami tetap akan melaksanakan tugas-tugas keagamaan dan pendidikan umat sebaik-baiknya yang dapat kami lakukan. Namun, dalam hal menyikapi kepemimpinan Indonesia saat ini, kami ingin menyatakan bahwa kami seperti telah kehabisan kata-kata yang dapat disampaikan sebagai bentuk himbauan moral. Sulit sekali menemukan nilai-nilai unggul kepemimpinan yang akan secara nyata memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyebab utamanya adalah kepemimpinan nasional yang lemah. Akibatnya, tidak ada permasalahan fundamental bangsa dan negara yang berhasil diselesaikan secara tuntas.
6. Kami juga menyadari adanya upaya-upaya untuk mempersalahkan pernyataan dari tokoh-tokoh lintas-agama. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan moral seperti ini justru dituduh sebagai penyebab mengapa terjadi tindakan kekerasan atau konflik; padahal hal tersebut jelas amat berbeda dari spirit pernyataan moral tokoh-lintas agama.
7. Kami sangat mengapresiasi dan menghargai rakyat yang telah bekerja keras, mengembangkan solidaritas, serta terus kreatif untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Akhirnya, kami mengajak rakyat dan semua pihak terus bekerjasama untuk segera mengakhiri situasi ini sesuai semangat konstitusi kita. Tentunya dengan dilandasi kecintaan terhadap tanah air yang sama, bangsa yang sama, dan menggunakan satu bahasa yang sama antara kata dan perbuatan.
Tugu Proklamasi, 18 Oktober 2011
Yang menyatakan (kami yang seperti telah kehabisan kata-kata):
1. Prof. Ahmad Syafii Maarif
2. K.H. Salahuddin Wahid
3. Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap.
4. Pdt. Dr. Andreas Yewangoe
5. Bikkhu Sri Panyavaro Mahathera
6. Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa
7. Haksu Thjie Tjai Ing Xueshi
8. Prof. Frans Magnis-Suseno SJ.
9. Dr. Djohan Effendy, MA
10. Prof. Dr. Azyumardi Azra
11. Dr. Abdul Mu`ti
Para pembaca yang budiman,
Saya sertakan juga dua contoh yang menunjukkan bahwa "kemanusiaan di bumi pertiwi makin digerogoti". Saya tidak tahu apakah hal itu merupakan "pembalasan" atas perlakuan yang mereka alami akibat kemiskinan, ataukah hal itu merupakan aksi penyebarluasan penderitaan ?
Inilah ceritanya:
Meski benar-benar tak mampu membeli seragam baru lengkap dengan badge dan logo sekolah, Fitri Ayu Prasetyo, siswa kelas II SMPN 37 Surabaya, dihukum berdiri di tengah ratusan peserta upacara bendera di sekolah itu.
Untung Budi Raharjo memperlihatkan rincian pembelian seragam anaknya, Fitri Ayu Prasetyo di rumahnya, Rabu (14/9/2011). Fitri dihukum oleh sekolah karena memakai seragam lama.
Meski hukuman jemur pada Senin (12/9/2011) itu dijalani bersama belasan siswa lain dan hanya selama 45 menit, Ayu mengaku terpukul. Ini karena ia merasa keluhannya kepada sekolah tidak diperhatikan.
“Saat upacara, saya diminta ke depan barisan karena bet saya tidak baru. Saya takut karena kalau tidak beli orang tua saya akan dipanggil,” tutur Fitri, (Rabu 14/9/2011).
Kata Fitri, saat ia dihukum, seorang guru mengancam akan memanggil orangtuanya kalau tiga kali lagi dipergoki masih berseragam lama. Waktu kenaikan kelas, ia sudah menjelaskan kepada sekolah, orangtuanya belum mampu membelikan seragam lengkap. Tetapi, penjelasannya itu tidak dipedulikan, sampai akhirnya ia dihukum saat upacara itu.
Sebelumnya, peristiwa memilukan terkait kemiskinan dalam dunia pendidikan juga terjadi di Gresik, Jawa Timur. Andika Imam Taufiq (9) warga Barat Sungai, Kotakusuma Sangkapura terpaksa membawa kursi plastik setiap ke sekolah SDN Kotakusuma Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Ini karena dia tak sanggup membayar "biaya kursi" yang diwajibkan pihak sekolah.
Fitri Ayu Prasetyo, siswa kelas II SMPN 37 Surabaya yang dihukum jemur oleh sekolah, Senin (12/9/2011) itu, pulang sambil menangis. Ia merasa sekolah tidak mau mengerti kondisi orangtuanya. “Saya kaget, Fitri menangis. Ia mengaku dihukum karena bet (badge) seragamnya tak baru. Saya tidak kuat membelinya,” kata ayah Fitri, Untung Budi Raharjo, Rabu (14/9/2011). Penarik becak ini mengaku, untuk datang ke sekolah dan menjelaskan kondisinya, ia tidak berani. Ia mengaku pening begitu tahu harga kelengkapan seragam anaknya.
Kelengkapan itu, antara lain, baju batik seharga Rp 55.000, seragam olahraga Rp 65.000, seragam laboratorium Rp 30.000, kaus kaki 16.000, logo sekolah dan badge Rp 16.000, dan paket seragam lain. Selain seragam, siswa juga harus membayar kartu identitas dan asuransi Rp 25.000, pas foto dan lembar jawaban komputer Rp 27.000. Daftar ‘belanja’ yang totalnya mencapai Rp 350.000. [tribunnews.com]
Read more: http://bodrexcaem.blogspot.com/2011/09/siswi-di-jemur-karena-tak-mampu-bayar.html#ixzz1bC2jfDk7
Pembaca Setia....
Yang jelas kekerasan bila dilawan dengan kekerasan, kemiskinan dilampiaskan dengan memperluas kemiskinan, akan semakin menyengsarakan diri sendiri, anak-anak yang tidak bersalah. Pada gilirannya, perilaku yang diwarnai oleh kekerasan, balas dendam dan derita, akan melahirkan perilaku yang bisa jadi lebih jahat dan kejam.
Maka, menghentikan balas dendam dan tindak kekerasan adalah jalan terbaik. Semangat pengampunan / memaafkan, tetapi juga perbaikan / perubahan perilaku merupakan tindakan terpuji. Hal-hal yang terakhir ini merupakan kerinduan semua orang di muka bumi ini.
Syaloom......
Situasi pendidikan di negara ini, makin hari makin menunjukkan bahwa masyarakat kecil sulit untuk mengenyam pendidikan, karena keadaan / kemiskinan orangtua mereka. Untuk menanggapi hal itu, para pemimpin agama di tanah air, melayangkan surat pernyataan kepada rakyat. Surat Pernyataan itu ditujukan kepada kita sekalian dalam bentuk surat terbuka. Karena itu, surat tersebut saya tuturkan di blog ini, agar anda pun dapat turut memahami betapa sulitnya perjuangan untuk meningkatkan mutu pendidikan anak bangsa, terlebih bagi mereka yang miskin dan tidak mampu.
Surat Terbuka Kepada Rakyat
1. Kami, para tokoh lintas-agama, kembali menyatakan keprihatinan terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keprihatinan kami saat ini jauh lebih mendalam dan mendasar.
2. Telah cukup lama Presiden dan berbagai tokoh nasional menyatakan berada di garis depan untuk memberantas korupsi. Tetapi ternyata korupsi politik tetap merajalela. Gurita korupsi dari hulu ke hilir melibatkan pejabat kementerian, anggota DPR, para penegak hukum, partai politik, pengusaha, dan sebagainya.
3. Akibatnya terlihat semakin jelas. Sebagian besar rakyat Indonesia mengalami semakin berat membayar biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok sehari-hari. Rasa aman dan damai terasa semakin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM dan kebebasan beribadat, kekerasan, pengrusakan lingkungan hidup, dan hukum yang tidak berdaulat.
4. Sangatlah tidak mungkin Presiden di negeri ini tidak mengetahui korupsi tersebut. Dan merupakan hal yang sulit dimengerti oleh pikiran rakyat jika Presiden tidak tahu bagaimana menghentikannya. Namun fakta selanjutnya malah memperlihatkan sejumlah politisi sampai ”menantang” KPK dan ”mengancam mogok” dalam upaya mempertontonkan kekuatan mereka.
5. Kami ingin menyatakan bahwa sebagai tokoh lintas-agama, kami tetap akan melaksanakan tugas-tugas keagamaan dan pendidikan umat sebaik-baiknya yang dapat kami lakukan. Namun, dalam hal menyikapi kepemimpinan Indonesia saat ini, kami ingin menyatakan bahwa kami seperti telah kehabisan kata-kata yang dapat disampaikan sebagai bentuk himbauan moral. Sulit sekali menemukan nilai-nilai unggul kepemimpinan yang akan secara nyata memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyebab utamanya adalah kepemimpinan nasional yang lemah. Akibatnya, tidak ada permasalahan fundamental bangsa dan negara yang berhasil diselesaikan secara tuntas.
6. Kami juga menyadari adanya upaya-upaya untuk mempersalahkan pernyataan dari tokoh-tokoh lintas-agama. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan moral seperti ini justru dituduh sebagai penyebab mengapa terjadi tindakan kekerasan atau konflik; padahal hal tersebut jelas amat berbeda dari spirit pernyataan moral tokoh-lintas agama.
7. Kami sangat mengapresiasi dan menghargai rakyat yang telah bekerja keras, mengembangkan solidaritas, serta terus kreatif untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Akhirnya, kami mengajak rakyat dan semua pihak terus bekerjasama untuk segera mengakhiri situasi ini sesuai semangat konstitusi kita. Tentunya dengan dilandasi kecintaan terhadap tanah air yang sama, bangsa yang sama, dan menggunakan satu bahasa yang sama antara kata dan perbuatan.
Tugu Proklamasi, 18 Oktober 2011
Yang menyatakan (kami yang seperti telah kehabisan kata-kata):
1. Prof. Ahmad Syafii Maarif
2. K.H. Salahuddin Wahid
3. Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap.
4. Pdt. Dr. Andreas Yewangoe
5. Bikkhu Sri Panyavaro Mahathera
6. Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa
7. Haksu Thjie Tjai Ing Xueshi
8. Prof. Frans Magnis-Suseno SJ.
9. Dr. Djohan Effendy, MA
10. Prof. Dr. Azyumardi Azra
11. Dr. Abdul Mu`ti
Para pembaca yang budiman,
Saya sertakan juga dua contoh yang menunjukkan bahwa "kemanusiaan di bumi pertiwi makin digerogoti". Saya tidak tahu apakah hal itu merupakan "pembalasan" atas perlakuan yang mereka alami akibat kemiskinan, ataukah hal itu merupakan aksi penyebarluasan penderitaan ?
Inilah ceritanya:
Meski benar-benar tak mampu membeli seragam baru lengkap dengan badge dan logo sekolah, Fitri Ayu Prasetyo, siswa kelas II SMPN 37 Surabaya, dihukum berdiri di tengah ratusan peserta upacara bendera di sekolah itu.
Untung Budi Raharjo memperlihatkan rincian pembelian seragam anaknya, Fitri Ayu Prasetyo di rumahnya, Rabu (14/9/2011). Fitri dihukum oleh sekolah karena memakai seragam lama.
Meski hukuman jemur pada Senin (12/9/2011) itu dijalani bersama belasan siswa lain dan hanya selama 45 menit, Ayu mengaku terpukul. Ini karena ia merasa keluhannya kepada sekolah tidak diperhatikan.
“Saat upacara, saya diminta ke depan barisan karena bet saya tidak baru. Saya takut karena kalau tidak beli orang tua saya akan dipanggil,” tutur Fitri, (Rabu 14/9/2011).
Kata Fitri, saat ia dihukum, seorang guru mengancam akan memanggil orangtuanya kalau tiga kali lagi dipergoki masih berseragam lama. Waktu kenaikan kelas, ia sudah menjelaskan kepada sekolah, orangtuanya belum mampu membelikan seragam lengkap. Tetapi, penjelasannya itu tidak dipedulikan, sampai akhirnya ia dihukum saat upacara itu.
Sebelumnya, peristiwa memilukan terkait kemiskinan dalam dunia pendidikan juga terjadi di Gresik, Jawa Timur. Andika Imam Taufiq (9) warga Barat Sungai, Kotakusuma Sangkapura terpaksa membawa kursi plastik setiap ke sekolah SDN Kotakusuma Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Ini karena dia tak sanggup membayar "biaya kursi" yang diwajibkan pihak sekolah.
Fitri Ayu Prasetyo, siswa kelas II SMPN 37 Surabaya yang dihukum jemur oleh sekolah, Senin (12/9/2011) itu, pulang sambil menangis. Ia merasa sekolah tidak mau mengerti kondisi orangtuanya. “Saya kaget, Fitri menangis. Ia mengaku dihukum karena bet (badge) seragamnya tak baru. Saya tidak kuat membelinya,” kata ayah Fitri, Untung Budi Raharjo, Rabu (14/9/2011). Penarik becak ini mengaku, untuk datang ke sekolah dan menjelaskan kondisinya, ia tidak berani. Ia mengaku pening begitu tahu harga kelengkapan seragam anaknya.
Kelengkapan itu, antara lain, baju batik seharga Rp 55.000, seragam olahraga Rp 65.000, seragam laboratorium Rp 30.000, kaus kaki 16.000, logo sekolah dan badge Rp 16.000, dan paket seragam lain. Selain seragam, siswa juga harus membayar kartu identitas dan asuransi Rp 25.000, pas foto dan lembar jawaban komputer Rp 27.000. Daftar ‘belanja’ yang totalnya mencapai Rp 350.000. [tribunnews.com]
Read more: http://bodrexcaem.blogspot.com/2011/09/siswi-di-jemur-karena-tak-mampu-bayar.html#ixzz1bC2jfDk7
Pembaca Setia....
Yang jelas kekerasan bila dilawan dengan kekerasan, kemiskinan dilampiaskan dengan memperluas kemiskinan, akan semakin menyengsarakan diri sendiri, anak-anak yang tidak bersalah. Pada gilirannya, perilaku yang diwarnai oleh kekerasan, balas dendam dan derita, akan melahirkan perilaku yang bisa jadi lebih jahat dan kejam.
Maka, menghentikan balas dendam dan tindak kekerasan adalah jalan terbaik. Semangat pengampunan / memaafkan, tetapi juga perbaikan / perubahan perilaku merupakan tindakan terpuji. Hal-hal yang terakhir ini merupakan kerinduan semua orang di muka bumi ini.
Komentar