MARICE

PEMBACA YANG BUDIMAN

SYALOOM.....

Kita telah memasuki bulan Oktober. Bulan baru telah kita masuki dan tentu makin banyak pengalaman telah kita peroleh. Namun juga realita baru bermunculan di mana-mana. Pada kesempatan ini, saya menghadirkan sebuah potret realita untuk anda tentang perubahan kehidupan yang dialami oleh masyarakat asli Papua. Mereka adalah pemilik tanah, kini menjadi buruh di kampung mereka sendiri.   

MARICE, POTRET SEORANG BURUH DI KAMPUNGNYA SENDIRI

Marice (sebut saja begitu) lahir dan besar di salah satu kampung di distrik Okaba – Kab. Merauke.  Ia bersama beberapa rekannya bekerja di suatu perusahaan di dekat kampungnya, sebagai tenaga kerja lepas. Dari upah kerja borongan itulah, dia menghidupi dirinya. Hidupnya tergantung pada upah itu. Sayangnya, pembayaran upah itu sering terlambat. Kadang-kadang upahnya terlambat 1 bulan, kadang-kadang terlambat 3 bulan. Bagaimana dia bisa bertahan hidup dalam situasi seperti itu ? Terpaksa, dia harus gali lobang tutup lobang, supaya bisa hidup.
Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu dan mencari pekerjaan di kampung tetangga, agar nasibnya menjadi lebih baik. Tawaran yang tersedia hanyalah menjadi buruh lepas di perkebunan HTI di Kampung Zanegi. Pekerjaan barunya itu tidaklah berbeda dengan pekerjaan yang dilakukannya di perusahaan yang dia tinggalkan, yaitu membersihkan lahan. Statusnya juga sama yaitu buruh lepas di bawah pimpinan kontraktor.

Bersama 7 rekannya, Marice harus mengerjakan pembersihan lahan HTI seluas 16,03 hektar ( 16 x luas lapangan bola kaki ).  Lahan seluas itu harus diselesaikan dalam waktu satu bulan. Demi mengejar target yang telah ditentukan perusahaan, mereka dengan sendirinya membangun buevak (pondok) di blok lahan pembersihan. Buevak itulah yang menjadi tempat mereka bertempat tinggal selama satu bulan. Tiada lain yang mereka kerjakan selain apa yang telah dicantumkan di dalam kontrak. Tidak lagi mereka pergi ke hutan untuk berburu, berkebun, pangkur sagu, ataupun memancing. Dengan peralatan seadanya, berupa cangkul dan parang milik mereka sendiri, mereka bekerja. Sejak matahari terbit hingga terbenam yang mereka lakukan hanyalah membebaskan tanaman rahai dari rumput dan membuat piringan untuk rahai.
Jumlah tanaman rahai per hektar adalah 1.111 pohon dengan jarak tanam 3x3 meter. Umumnya, pembersihan dan pembuatan piringan rahai di lahan seluas satu hektar bisa mereka selesaikan dalam waktu 2 hari. Bahkan, lahan seluas itu bisa mereka selesai dalam waktu satu hari saja dengan cara lembur. Artinya mereka harus bekerja keras hingga di ujung batas kecepatan dan ketahanan tubuh manusia. Ini mereka lakukan hanya demi memenuhi “target” yang ditentukan perusahaan. Kata ‘target’ ini sudah mulai populer di kalangan orang Malind.
Berapa besar upah yang diberikan perusahaan kepada para buruh yang telah ‘dipaksa’ menjual waktu dan tenaganya ? Perusahaan memberikan bayaran sebesar Rp. 328.581 per hektar. Jadi, total pembayaran untuk kerja di lahan seluas 16,03 hektar sebesar Rp. 5.267.153. Dari uang itu, pemborong memperoleh 20 persen, atau kurang lebih sebesar Rp 1 juta. Uang kurang lebih sebesar Rp 4,2 jt diterima oleh 8 buruh lepas tersebut.  Masing-masing orang menerima Rp 500 ribu, setelah kerja sampai lembur-lembur selama 16 hari. 
Apalah makna uang sejumlah itu bagi kita? Pastinya kecil. Tapi bagi mereka, nilainya amat besar, karena hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka mencari nafkah. Melalui kerja itulah, mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya. Bila sudah tidak ada jalan lain, mereka berhutang kepada perusahaan dalam bentuk bahan makanan, ikan kaleng (sauris), lampion, gula, kopi, dll untuk menyambung hidup.
Ketika target sudah dipenuhi, upah yang diterima akan dipotong untuk pemborong sebesar Rp 1 juta dan oleh perusahaan untuk membayar hutang bahan makanan tersebut. Pernah terjadi, baru 2hektar lahan yang bisa mereka selesaikan, tapi biaya hidup mereka selama 1 minggu telah mencapai Rp 2 juta lebih. Terpaksa mereka berhutang. Gaji mereka habis untuk membayar hutang. Tidak ada lagi sisa uang untuk dibawa pulang.  Kehadiran 2 perusahaan itu ternyata tidak membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Karena tanah, hutan dan air, tempat mereka memperoleh ketahanan pangan telah dikuasai (“dirampas”) investor yang masuk ke kampung mereka secara tiba-tiba. Masyarakat lokal tidak pernah dipikirkan dan dibantu secara terpadu dan berkelanjutan untuk semakin menjadi manusia yang mandiri.
Tanah, hutan dan air, telah dirampas atas nama kemajuan dan kemakmuran yang dikumandangkan dalam program MIFEE. Tanah, hutan dan air telah dirampas dari mereka dengan iming-iming pekerjaan, beasiswa, bantuan kesehatan, bantuan untuk merehab rumah ibadah bagi mereka yang melepas tanah.  Kini tanah, hutan dan air telah diambil alih. Mereka bukan lagi pemilik tanah, tetapi buruh di tanah mereka sendiri, karena yang tersisa hanya tenaga dan waktu mereka. Dengan terpaksa menjual dengan harga murah, tenaga dan waktu mereka supaya mereka bisa makan untuk satu hari, dan bisa hidup hingga esok hari ketika matahari terbit.

Manusia diciptakan bukan untuk memangsa sesamanya, tetapi untuk menyatakan kasih Allah yang telah mereka terima ketika dilahirkan di dunia ini. Hal itu diungkapkan dalam hukum yang diberikan kepada manusia “Cintailah Tuhan Allahmu dan cintailah sesamamu manusia, seperti mencintai dirimu sendiri”.  Atas dasar itu, manusia dipanggil dan dilibatkan untuk menjadi sarana keselamatan Allah bagi sesamanya.                                                      

Komentar

Postingan Populer