HARGA TANAH

PARA PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM.....
Persoalan tanah, baik soal jual beli tanah, sewa-menyewa tanah, di tanah air ini betul-betul membuat banyak pihak "pusing kelapa". Mengapa demikian ?  Ada banyak aturan yang sering tidak jelas, terlebih bila yang akan mengambil alih tanah itu adalah "orang kuat, orang  berduit atau pihak-pihak yang memerlukan lahan yang amat luas". Kehidupan masyarakat setempat dalam hal seperti ini, sering kurang diperhitungkan. Penulis beberkan pemikiran tentang harga tanah di blog ini. Selamat menikmati.
Berapa Harga Tanah Yang Layak?

 Pertanyaan tersebut penulis tampilkan sebagai judul tulisan ini,  untuk menggugah  semua pihak, agar turut berpikir dan mendorong Pemda untuk menetapkan harga tanah yang layak.  Persoalan tanah ini perlu segera ditanggapi karena ada banyak investor yang masuk ke Merauke untuk mengelola lahan yang disebut lahan “tidur” atau lahan yang tidak produktif. Telah kita ketahui bersama bahwa ada  2,5 juta hektar (ha) tanah di kab. Merauke yang dimaksudkan untuk program food estate (lumbung pangan). Pada kesempatan ini, yang dibahas bukan siapa investor dan apa yang akan dikembangkan di daerah ini, tetapi harga tanah yang layak bagi masyarakat.

Untuk membahas lebih lanjut tulisan ini, perkenankan penulis mengangkat satu contoh peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini:
Pada tanggal 1 Juni 2012, satu perusahaan kelapa sawit, dengan areal konsesi seluas 33.540 ha, telah “resmi” memperoleh tanah dari warga masyarakat adat seluas 7.592,51 ha. Tanah tersebut merupakan hak ulayat dari 9 marga masyarakat adat Malind. Perusahaan memberikan harga tanah per ha sebesar Rp. 350.000. Menurut perusahaan harga tersebut merupakan hasil kesepakatan pihak perusahaan dan masyarakat. Dari tanah seluas 7.592,51 ha hanya 6.486,87 ha yang dibayar oleh perusahaan. Sedangkan tanah seluas 1.105,64 ha tidak dibayar oleh perusahaan karena akan dijadikan perkebunan plasma untuk masyarakat. “Pelepasan” tanah tersebut dimuluskan dengan pembayaran tanah yang totalnya tidak lebih dari Rp. 2,3 milyar kepada 9 marga tersebut.

Contoh di atas membantu kita untuk mengetahui banyak hal, salah satunya adalah harga tanah. Para pemilik hak ulayat hanya menerima uang tanah sebesar Rp. 350.000/ha dari perusahaan untuk jangka waktu 35 tahun. Harga tanah per ha (10.000 m2) per tahun Rp. 350.000: 35 = Rp. 10.000,- Jelaslah bahwa masyarakat hanya menerima Rp. 1/m² per tahun dari perusahaan. Ada satu pertanyaan yang patut diutarakan di sini: “Rp 1,- / m2 itu apakah harga penjualan tanah atau harga sewa tanah ?”. Tidak ada seorang warga masyarakat pun yang tahu, karena dokumen resmi yang sudah ditandatangi kedua pihak, salinannya tidak diberikan Ketua Adat, Kepala Kampung atau Kepala Distrik. 

Setiap marga di kampung tersebut mempunyai tanah yang luasnya berbeda dengan marga yang lain. Rentang luas lahan 1 marga dari yang terbesar hingga yang terkecil adalah 1.578,5 ha dan 45,13 ha. Kalau harga per ha Rp. 350.000, seharusnya semakin luas tanah marga yang “diserahkan” kepada perusahaan, semakin besar uang yang diperoleh marga tersebut. Namun de facto, jumlah uang yang diterima tidak demikian.

Pada bulan Juni 12 lalu terjadi pelepasan tanah oleh beberapa marga di kampung ZZ.  Di sana setiap marga mempunyai jumlah anggota yang berbeda. Misalnya, marga A beranggotakan 521 jiwa. Marga B beranggotakan 116 jiwa. Diperoleh informasi bahwa, setelah dibagi-bagi  ada anggota marga yang menerima uang Rp 2 juta, ada juga yang   menerima Rp 20 ribu. Masyarakat tidak menyadari (dan menurut penulis tidak diberitahukan secara terus terang oleh para utusan investor) bahwa uang itu adalah “pembayaran tanah untuk jangka waktu 35 tahun”. Siapa yang sanggup hidup dengan uang Rp 2 juta atau malah Rp 20 ribu selama 35 tahun ? 

Jika masyarakat bertanya berapakah harga tanah 1m² yang layak di wilayah ini ? Pertanyaan ini agaknya sulit untuk dijawab. Kesulitan itu mungkin disebabkan oleh 2 alasan. Pertama, harga 1m² tanah ditentukan berdasarkan bukti kepemilikan tanah dan bukti pembayaran pajak.  Dalam hal ini, masyarakat tidak punya bukti tertulis atas kepemilikan tanah mereka. Kedua, tanah yang dibuka untuk lumbung pangan di Merauke sekalipun secara de facto, adalah milik masyarakat adat, namun secara de jure adalah hutan atau tanah yang dimiliki oleh negara. Menyatakan ini kepada masyarakat sama saja menyangkal secara langsung hak ulayat masyarakat adat Malind.

Bisa terjadi bahwa ada pihak-pihak yang menggunakan kedua alasan tersebut sebagai acuan untuk membeli tanah masyarakat dengan harga murah. Mengapa persoalan ini tidak segera selesai ? Penulis berpendapat pertama sering kali penerapan hukum tidak / belum berpijak pada keadilan dan rasa keadilan kepada masyarakat pemilik tanah. Kedua, banyak pihak cenderung menunda-nunda / menutup mata pada persoalan ini, mungkin karena sudah “terikat” oleh uang atau bonus-bonus yang telah mereka terima.

Penulis mengajukan pemikiran berikut ini. Misalnya di lahan seluas 1 ha itu, Markus mengambil 2 ikat kayu bakar 2 x per minggu. Harga kayu bakar per ikat Rp. 5000,-  Berarti per minggu dia ambil kayu bakar seharga Rp. 10.000,- dan per tahun, harganya 52 x Rp. 10.000 = Rp. 520.000 .-  Selain itu,  pada tahun itu, dia dapat rusa 1 ekor (rp. 300.000) dan babi 1 ekor (Rp. 300.000), 5 ekor tikus hutan (Rp. 50.000) dan sayur-sayur (Rp. 50.000). Kayu untuk rumah / pagar Rp. 200.000 ,- Air minum Rp. 30.000 ,- Total penghasilan dari hutan itu Rp. 1.400.000 ,-   Tahun berikutnya, dia masih bisa mendapatkan rejeki yang kurang lebih sama. Jadi, kalau tanah itu, hendak disewa oleh investor, harga sewa tanah itu paling tidak sama yaitu sebesar Rp. 1.400.000,-.  atau lebih tinggi dari “rejeki yang diperoleh Markus” meskipun wujudnya bukan uang tunai. Harga sewa per m2 1400.000 : 10.000 = Rp. 140 ,-

Berapa uang sewa yang seharusnya diterima masyarakat ? Mari kita hitung.  Marga masyarakat yang punya tanah 10 ha, akan mendapat uang sewa 10 x Rp. 1.400.000 = Rp. 14 juta per th.  Yang punya lahan 20 ha, mendapat uang sewa 20 x Rp. 1.400.000 = Rp 28 juta /th. Di sini jelas, semakin luas tanah mereka, semakin banyak juga uang yang mereka terima. Dapat diterima bahwa pihak penyewa membayar uang sewa per tahun, supaya tidak terlalu berat, dan bagi masyarakat setiap tahun ada uang yang bisa dijadikan “tabungan hari tua”. 

Patut disuarakan bahwa dialog tentang harga tanah yang layak perlu segera digelar/ dipikirkan bersama (Pemda, DPR, tokoh agama, adat, kaum cendekiawan) dan ditetapkan secara bijak oleh Pemerintah Daerah.  Masyarakat pemilik hak ulayat perlu dilindungi. Mereka perlu dibantu agar dengan tanah yang luas, mereka pun dapat hidup sejahtera dan turut berperan dalam pembangunan yang direncanakan oleh Pemda.

Tulisan ini berdasar pada pemahaman bahwa tanah bukanlah komoditas (barang dagangan). Ketika tanah dipahami sebagai komoditas, berarti pemahaman tersebut menyingkirkan nilai sosial, pribadi dan rohani yang dibangun di atas tanah. Menghilangkan nilai-nilai tersebut dan menggantikannya dengan uang  merupakan awal dari pelanggaran hak-hak azasi manusia. Hal inilah yang kerap kali diabaikan oleh banyak pihak dalam menaksir kelayakan harga tanah, harga kayu dan kompensasi atas hidup masyarakat serta kerusakan lingkungan. Dalam konteks ini, segala sesuatu dibangun dan diukur dengan uang. Seakan-akan uang adalah segalanya.  

Tanah bagi manusia di seluruh muka bumi ini, bukanlah komoditas sebagaimana dilihat dari kacamata bisnis. Tanah bukanlah benda yang diperdagangkan atau diperjualbelikan dengan sewenang-wenang, karena tanah merupakan ruang hidup banyak orang. Tanah adalah ibu yang murah hati yang memberikan jaminan hidup kepada anak-anaknya. Di atas tanah itulah setiap manusia menyandarkan seluruh kehidupannya. Di bumi ini nilai-nilai dan relasi-relasi antar manusia dan leluhur di mana pun, dan khususnya bagi warga masyarakat  Malind di Merauke, diwujudkan.  

Komentar

Postingan Populer