LUAR BIASA KASIH-NYA
Cuaca hari minggu pagi, 6 Mei 2012, tidak begitu cerah. Di sepanjang perjalanan dari Merauke menuju ke Kumbe ( 30 km ) tampak beberapa ruas jalan yang masih basah karena hujan semalam. Kami bertiga dengan penuh damai dan kepercayaan, menumpang mobil pick-up dobel gardan, meluncur menuju ke Kumbe. Kami yakin bahwa kami bisa melewati jalan berlumpur yang terletak di km 15. Setelah perjalanan kira-kira 10 menit, kami mulai memanjatkan doa pagi.
Kini kami memasuki daerah yang berlumpur. Saya mengendari mobil itu, dan mencari jalan yang kiranya cukup keras untuk dilalui oleh mobil kami. Baru beberapa meter mobil memasuki jalan yang berlumpur, ternyata sudah tidak bisa bergerak lagi. Mobil tidak bisa maju, pun tidak bisa mundur. Lumpur terlalu tebal, lubang terlalu dalam, dan as / gardan sudah kena tanah. Maklum, mobil agak rendah. Setelah berusaha untuk maju / mundur tidak bisa, akhirnya via hp kami meminta bantuan.
Sudah puluhan nomor kami hubungi, no bisa tersambung, namun tidak ada jawaban. Mengapa ? Waktu itu, hampir jam 7 pagi. Mereka semua sedang mengikuti ibadah / misa pagi. Sementara itu, saya harus sampai di paroki yang dituju jam 8 pagi, untuk misa di sana. Di dalam suasana dan keadaan yang serba terbatas itu, tiba-tiba ada rekan yang memanggil via telpon. Dia menanyakan keadaan saya dan minta bantuan apa. Saya katakan, saya minta tolong untuk kirim mobil supaya bisa menarik keluar dari lumpur mobil yang saya tumpangi itu. Ketika dijawab dia akan mengurus mobil, hati saya sudah lega.
Syukur pula, pada saat itu, ada seorang pemuda yang naik sepeda motor dan akan menuju ke Kumbe. Saya minta tolong dia agar saya diperbolehkan untuk menumpang. Dengan rela, dia menolong saya. Dia mengantar saya sampai ke pelabuhan Kumbe. Kemudian saya menyeberang naik perahu. Syukur pula, ketika tiba di pelabuhan, sudah ada perahu yang siap mengantar saya, dan saya tidak perlu membayar. Mereka adalah umat paroki Kumbe. Sesudah itu, saya jalan kaki, dan tiba di paroki dengan selamat.
Misa terlambat kira-kira 20 menit. Saya sampaikan informasi dan sekaligus mohon maaf kepada umat atas keterlambatan saya. Juga saya sampaikan informasi mengapa tiba-tiba pastor paroki tidak berada di tempat. Pastor paroki diminta untuk mengikuti seminar Kitab Suci di Jakarta, karena ada undangan tiba-tiba via telpon. Beliau mewakili keuskupan sebagai peserta. Setelah penjelasan itu, upacara berlangsung seperti biasa. Umat dengan penuh khidmat merayakan ekaristi. Di dalam perayaan itu, juga dilaksanakan upacara permandian seorang bayi yang baru berusia 4 bulan. Kedua orangtua anak itu, amat bergembira, karena yang melaksanakan pembaptisan itu adalah bapak uskup.
Setelah semuanya selesai, saya kembali ke Merauke. Saya membonceng sepeda motor. Bapak Mikael Reku yang mengendarai sepeda motor. Di sepanjang perjalanan pulang, hujan gerimis turun. Sebentar-sebentar berhanti dan turun lagi. Keadaan ini memang menghambat perjalanan. Kami sempat berteduh di emperan di beberapa rumah umat. Ketika hujan agak mereda, kami melanjutkan perjalanan. Dan sampailah kami di tempat yang penuh lumpur.
Ternyata, rekan kami yang berencana untuk menjemput saya di Kumbe dengan mobil, terjebak di lumpur-lumpur itu. Karena jalanan agak ramai oleh lalu linta sepeda motor, kami pun harus turun di jalan yang penuh lumpur itu. Apa yang terjadi, kedua kaki saya plus sepatu yang saya pakai, masuk ke lumpur sampai selutut. Ada pikiran, lebih baik sepatu itu saya tinggalkan saja di lumpur-lumpur, tetapi kemudian, pikiran dan niat itu saya batalkan. Saya gali dan saya ambil sepatu yang sudah terbenam di lumpur..... satu sudah saya dapatkan, dan kemudian yang kedua pun berhasil saya keluarkan dari lumpur. Wujudnya.......tidak jelas. Sepatu saya bagaikan "ikan gabus besar yang penuh lumpur". Tangan saya pun penuh lumpur.... dan saya bersihkan dengan air yang tergenang jalan-jalan itu.
Setelah menyapa rekan yang masih terjebak di lumpur, saya melanjutkan perjalanan ke Merauke dan meminta bantuan agar ada utusan untuk menolong mereka. Kami berhasil melewati jeblokan-jeblokan besar dan terbebaskan dari jalan yang penuh lumpur itu. Di sepanjang perjalanan itu, kami diguyur hujan. Saya tidak membawa jas hujan, dan baju sudah mulai basah. Kepala dan badan pun mulai basah. Yang paling tidak mengenakkan adalah tetesan air hujan yang jatuh dari depan amat menggangu mata.
Air hujan yang membasahi wajah saya, saya usap / saya bersihkan dengan tangan yang ada lumpurnya. Juga tangan saya tadi saya cuci pakai air kotor di jalanan. Makin deras air hujan, makin banyak juga air yang membasahi wajah saya. Itu berarti berkali-kali wajah saya, saya bersihkan pakai tangan yang kotor. Saya pikir-pikir, daripada mata saya sakit, dan wajah saya basah, lebih baik baju luar saya lepaskan untuk melindungi mata. Tokh saya masih pakai baju kaos oblong. Akhirnya saya putuskan untuk mencopot baju luar, saya pergunakan baju untuk untuk menutup kepala dan melindungi mata. Dalam perjalanan sepanjang 6 km menuju Merauke, saya aman dari tetesan air hujan yang mengganggu mata, meski pun hampir seluruh badan ini basah.
Begitu sampai di rumah, saya menolong rekan seperjalanan yang semua bajunya basah. Saya berikan kepadanya baju ganti lengkap (luar dalam). Lalu, dia dan saya sibuk untuk membersihkan diri. Dengan sukacita, kami makan siang bersama. Setelah itu, dia pamit pulang, saya bekali dia juga dengan jaket agar bila kehujanan di jalan, masih ada pelindung dan penghangat. Terima kasih banyak bapak Mik Reku atas jasa baik, dan telah mengantar saya kembali ke Merauke.
Yang luar biasa adalah sampai hari ini saya tidak sakit akibat guyuran air hujan. Wajah saya tidak mengalami gatal-gatal meski diusap oleh tangan yang kotor (lumpur dan air jalanan). Saya tidak mengalami susah atau gangguan nafas, tidak pilek atau pun batuk. Saya sehat walafiat.....bahkan lebih segar dari biasanya. Syukur kepada Allah yang telah melindungi saya. Luar biasa kasih-Nya.......
Kini kami memasuki daerah yang berlumpur. Saya mengendari mobil itu, dan mencari jalan yang kiranya cukup keras untuk dilalui oleh mobil kami. Baru beberapa meter mobil memasuki jalan yang berlumpur, ternyata sudah tidak bisa bergerak lagi. Mobil tidak bisa maju, pun tidak bisa mundur. Lumpur terlalu tebal, lubang terlalu dalam, dan as / gardan sudah kena tanah. Maklum, mobil agak rendah. Setelah berusaha untuk maju / mundur tidak bisa, akhirnya via hp kami meminta bantuan.
Sudah puluhan nomor kami hubungi, no bisa tersambung, namun tidak ada jawaban. Mengapa ? Waktu itu, hampir jam 7 pagi. Mereka semua sedang mengikuti ibadah / misa pagi. Sementara itu, saya harus sampai di paroki yang dituju jam 8 pagi, untuk misa di sana. Di dalam suasana dan keadaan yang serba terbatas itu, tiba-tiba ada rekan yang memanggil via telpon. Dia menanyakan keadaan saya dan minta bantuan apa. Saya katakan, saya minta tolong untuk kirim mobil supaya bisa menarik keluar dari lumpur mobil yang saya tumpangi itu. Ketika dijawab dia akan mengurus mobil, hati saya sudah lega.
Syukur pula, pada saat itu, ada seorang pemuda yang naik sepeda motor dan akan menuju ke Kumbe. Saya minta tolong dia agar saya diperbolehkan untuk menumpang. Dengan rela, dia menolong saya. Dia mengantar saya sampai ke pelabuhan Kumbe. Kemudian saya menyeberang naik perahu. Syukur pula, ketika tiba di pelabuhan, sudah ada perahu yang siap mengantar saya, dan saya tidak perlu membayar. Mereka adalah umat paroki Kumbe. Sesudah itu, saya jalan kaki, dan tiba di paroki dengan selamat.
Misa terlambat kira-kira 20 menit. Saya sampaikan informasi dan sekaligus mohon maaf kepada umat atas keterlambatan saya. Juga saya sampaikan informasi mengapa tiba-tiba pastor paroki tidak berada di tempat. Pastor paroki diminta untuk mengikuti seminar Kitab Suci di Jakarta, karena ada undangan tiba-tiba via telpon. Beliau mewakili keuskupan sebagai peserta. Setelah penjelasan itu, upacara berlangsung seperti biasa. Umat dengan penuh khidmat merayakan ekaristi. Di dalam perayaan itu, juga dilaksanakan upacara permandian seorang bayi yang baru berusia 4 bulan. Kedua orangtua anak itu, amat bergembira, karena yang melaksanakan pembaptisan itu adalah bapak uskup.
Setelah semuanya selesai, saya kembali ke Merauke. Saya membonceng sepeda motor. Bapak Mikael Reku yang mengendarai sepeda motor. Di sepanjang perjalanan pulang, hujan gerimis turun. Sebentar-sebentar berhanti dan turun lagi. Keadaan ini memang menghambat perjalanan. Kami sempat berteduh di emperan di beberapa rumah umat. Ketika hujan agak mereda, kami melanjutkan perjalanan. Dan sampailah kami di tempat yang penuh lumpur.
Ternyata, rekan kami yang berencana untuk menjemput saya di Kumbe dengan mobil, terjebak di lumpur-lumpur itu. Karena jalanan agak ramai oleh lalu linta sepeda motor, kami pun harus turun di jalan yang penuh lumpur itu. Apa yang terjadi, kedua kaki saya plus sepatu yang saya pakai, masuk ke lumpur sampai selutut. Ada pikiran, lebih baik sepatu itu saya tinggalkan saja di lumpur-lumpur, tetapi kemudian, pikiran dan niat itu saya batalkan. Saya gali dan saya ambil sepatu yang sudah terbenam di lumpur..... satu sudah saya dapatkan, dan kemudian yang kedua pun berhasil saya keluarkan dari lumpur. Wujudnya.......tidak jelas. Sepatu saya bagaikan "ikan gabus besar yang penuh lumpur". Tangan saya pun penuh lumpur.... dan saya bersihkan dengan air yang tergenang jalan-jalan itu.
Setelah menyapa rekan yang masih terjebak di lumpur, saya melanjutkan perjalanan ke Merauke dan meminta bantuan agar ada utusan untuk menolong mereka. Kami berhasil melewati jeblokan-jeblokan besar dan terbebaskan dari jalan yang penuh lumpur itu. Di sepanjang perjalanan itu, kami diguyur hujan. Saya tidak membawa jas hujan, dan baju sudah mulai basah. Kepala dan badan pun mulai basah. Yang paling tidak mengenakkan adalah tetesan air hujan yang jatuh dari depan amat menggangu mata.
Air hujan yang membasahi wajah saya, saya usap / saya bersihkan dengan tangan yang ada lumpurnya. Juga tangan saya tadi saya cuci pakai air kotor di jalanan. Makin deras air hujan, makin banyak juga air yang membasahi wajah saya. Itu berarti berkali-kali wajah saya, saya bersihkan pakai tangan yang kotor. Saya pikir-pikir, daripada mata saya sakit, dan wajah saya basah, lebih baik baju luar saya lepaskan untuk melindungi mata. Tokh saya masih pakai baju kaos oblong. Akhirnya saya putuskan untuk mencopot baju luar, saya pergunakan baju untuk untuk menutup kepala dan melindungi mata. Dalam perjalanan sepanjang 6 km menuju Merauke, saya aman dari tetesan air hujan yang mengganggu mata, meski pun hampir seluruh badan ini basah.
Begitu sampai di rumah, saya menolong rekan seperjalanan yang semua bajunya basah. Saya berikan kepadanya baju ganti lengkap (luar dalam). Lalu, dia dan saya sibuk untuk membersihkan diri. Dengan sukacita, kami makan siang bersama. Setelah itu, dia pamit pulang, saya bekali dia juga dengan jaket agar bila kehujanan di jalan, masih ada pelindung dan penghangat. Terima kasih banyak bapak Mik Reku atas jasa baik, dan telah mengantar saya kembali ke Merauke.
Yang luar biasa adalah sampai hari ini saya tidak sakit akibat guyuran air hujan. Wajah saya tidak mengalami gatal-gatal meski diusap oleh tangan yang kotor (lumpur dan air jalanan). Saya tidak mengalami susah atau gangguan nafas, tidak pilek atau pun batuk. Saya sehat walafiat.....bahkan lebih segar dari biasanya. Syukur kepada Allah yang telah melindungi saya. Luar biasa kasih-Nya.......
Komentar