BOHA DAN KINDIKI
BOHA adalah nama sebuah stasi / kampung yang dapat dijangkau dengan speedboat selama 2 jam dari Muting bila musim kering, dan saat ini dapat ditempuh selama 1 jam karena kami dapat melalui jalan pintas. Saat ini air di rawa-rawa sedang penuh, sehingga speed boat dapat berjalan di atas rumput-rumput rawa.... Boha sebuah kampung kecil yang penduduknya kira-kira 250 jiwa. Mereka sedang menyelesaikan pembangunan gereja dengan dana bantuan pemerintah sebesar Rp. 200 juta.
Bp. Frits, Sr. Wilfrida, Sr. Godeliva, Mgr. Niko, Sr. Mariana, P. Pius dalam perjalanan di rawa-rawa hulu sungai Bian - Muting - Merauke.
Ke tempat inilah kunjungan pertama kami laksanakan. Kami disambut dengan sukacita oleh umat Allah. Baik tua muda, besar kecil, hingga anak-anak yang masih digendong ibunya juga ikut dalam penjemputan itu. Rupanya mereka telah rindu menerima kunjungan itu, karena mereka telah menerima informasi bahwa rombongan kami akan tiba di sana tanggal 10 Mei, ternyata kami baru muncul tanggal 12 Mei. Meski demikian, tokh kegembiraan mereka tetap terpancar di wajah-wajah yang penuh dengan persahabatan.
Sejak dari pelabuhan kami disambut dengan tarian adat. Kami diterima dengan cara yang khas yaitu "ditanyai mengapa terlambat datang ? dengan digertak...seakan-akan kami akan dipukul". Ternyata maksudnya adalah "meski kami sudah menunggu 2 hari, capek dan cemas, kami luapkan kegembiraan kami dengan luapan-luapan emosi yang membara....namun kami tidak marah". Kami sambut anda sekalian dengan sukacita. Hal ini dibuktikan bahwa kampung itu penuh dengan kedamaian. Kami berjalan di atas "permadani lokal" yaitu daun-daun kelapa yang mereka tebarkan di sepanjang jalan menuju ke gereja.
Di gedung gereja itulah terjadi pertemuan dari hati ke hati. Mereka menyampaikan kerinduan dan kegembiaraan mereka menerima kunjungan bapak uskup dan pastor paroki serta 3 suster dari Medan. Mereka berharap bahwa suster akan membuka komunitas di Muting dan dapat ambil bagian untuk melayani mereka, terlebih di bidang pendidikan dan kesehatan. Mereka mengungkapkan bahwa di desa mereka sudah ada bagungan Puskesmas Pembantu, namun hingga hari itu belum ada seorang tenaga kesehatan pun yang tinggal di rumah itu. Mereka rindu mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai agar dapat hidup sehat karena pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan dari para petugas kesehatan.
Bapa Kepala Desa menghaturkan banyak terima kasih kepada warga masyarakat yang telah menyambut para tamu dengan meriah, secara spontan dan penuh keakraban. Pastor Pius Oetmatan juga mengungkapkan kegembiraan dan kebanggaan kepada para suster yang telah rela datang dari jauh untuk melihat dari dekat kehidupan umat dan masyarakat di wilayah itu. Beliau berharap kehadiran para suster akan menjadi berkat bagi umat, dan sekaligus akan memberikan gambaran atas realitas kebutuhan umat akan tenaga para biarawati.
Kunjungan dilanjutkan ke Kampung Kindiki. Perjalanan ditempuh selama 1 jam dan 20 menit dari kampung Boha karena melalui jalan-jalan pintas. Biasanya perjalanan pada musim panas ke kampung ini ditempuh selama 2 jam 25 menit.
Umat di Kampung Kindiki juga jumlahnya sekitar 250 jiwa. Kampung ini dikenal sebagai penghasil kayu gaharu. Ada warga masyarakat yang telah membeli sebuah sepeda motor bebek seharga Rp 18 juta dari hasil mencari kayu gaharu. Mereka juga sedang menyelesaikan pembangunan gereja dengan dana bantuan pemerintah sebesar Rp. 200 juta.
Mereka sudah siap di gereja sejak pagi, namun karena kedatangan kami agak terlambat mereka pulang dulu untuk makan siang. Ketika kami sudah ada di gereja, mereka datang kembali dan bertatap muka dengan kami. Salah seorang umat mengungkapkan kegembiraan mereka atas kunjungan ini, dan berharap agar para suster dapat hadir di Muting, dalam rangka membantu memperdalam iman anak-anak mereka. Bapak Kepala Desa juga amat bergembira atas kedatangan uskup dan para suster ke kampung mereka. Beliau mengatakan bahwa sudah sejak awal masuknya agama katolik di Muting tidak pernah ada komunitas suster. Dengan melihat sendiri keadaan dan kerinduan umat, beliau berharap para suster akan rela untuk ambil bagian dalam pelayanan di paroki Muting.
Atas harapan itu, para suster menyampaikan terima kasih atas penerimaan dan permintaan umat. Beliau juga amat kagum atas apa yang beliau lihat dan beliau alami. Ternyata di desa-desa yang terpencil itu pun telah terjadi perkembangan dan pembangunan yanbg luar biasa pesat. Sr Wilfrida sebagai Pemimpin Umum yang atas nama Tarekat mengadakan kunjungan kerja ini, mengungkapkan "Saya tidak menyangka bahwa anda telah seperti ini. Sebelum saya datang, saya membayangkan keadaan umat di sini amat tertinggal dan menyedihkan, ternyata banyak hal yang moderen terjadi dan amat mengagumkan. Kita bisa berkomunikasi dengan lancar. Bahkan alat-alat dan makanan yang disediakan juga tidak kalah dengan makanan yang ada di kota. Saya akan menyampaikan pengalaman ini kepada para suster di Medan, dan saya yakin mereka akan mendukung pelayanan di Keuskupan Agung Merauke. Dengan kunjungan ini, kami yakin bahwa kami sungguh dibutuhkan dan kami tergerak hati untuk turut ambil bagian dalam pelayanan di keuskupan ini".
Setelah dialog dari hati ke hati, kami makan siang bersama. Kami mendapat hidangan masakan babi rica-rica, sayur daun pepaya dan kangkung yang enak. Semuanya itu dihidangkan di piring porselen yang bagus dan besar. Saya pribadi tidak menyangka bahwa umat Kindiki yang sederhana itu ternyata "memberikan yang terbaik dan amat membanggakan hati". Mereka luar biasa dan benar-benar murah hati.
Boha dan Kindiki adalah "perwakilan umat" di wilayah hulu sungai Bian, sungai kedua terbesar di wilayah selatan pulau Papua. Mereka amat rindu mendapat santapan rohani berupa kunjungan, pertemuan dan dialog dari hati ke hati. Di hati manusia itulah tersimpan banyak mutiara yang indah. Di hati manusia itu pulalah Tuhan berkenan menempatkan hukum cinta kasih-Nya. Di hati manusia itu juga Tuhan berkenan berdiam, untuk berkomunikasi dengan manusia setiap waktu. Maka, dialog dari hati ke hati sebenarnya merupakan dialog penuh damai yang didambakan oleh setiap insan di atas muka bumi ini.
Bp. Frits, Sr. Wilfrida, Sr. Godeliva, Mgr. Niko, Sr. Mariana, P. Pius dalam perjalanan di rawa-rawa hulu sungai Bian - Muting - Merauke.
Ke tempat inilah kunjungan pertama kami laksanakan. Kami disambut dengan sukacita oleh umat Allah. Baik tua muda, besar kecil, hingga anak-anak yang masih digendong ibunya juga ikut dalam penjemputan itu. Rupanya mereka telah rindu menerima kunjungan itu, karena mereka telah menerima informasi bahwa rombongan kami akan tiba di sana tanggal 10 Mei, ternyata kami baru muncul tanggal 12 Mei. Meski demikian, tokh kegembiraan mereka tetap terpancar di wajah-wajah yang penuh dengan persahabatan.
Sejak dari pelabuhan kami disambut dengan tarian adat. Kami diterima dengan cara yang khas yaitu "ditanyai mengapa terlambat datang ? dengan digertak...seakan-akan kami akan dipukul". Ternyata maksudnya adalah "meski kami sudah menunggu 2 hari, capek dan cemas, kami luapkan kegembiraan kami dengan luapan-luapan emosi yang membara....namun kami tidak marah". Kami sambut anda sekalian dengan sukacita. Hal ini dibuktikan bahwa kampung itu penuh dengan kedamaian. Kami berjalan di atas "permadani lokal" yaitu daun-daun kelapa yang mereka tebarkan di sepanjang jalan menuju ke gereja.
Di gedung gereja itulah terjadi pertemuan dari hati ke hati. Mereka menyampaikan kerinduan dan kegembiaraan mereka menerima kunjungan bapak uskup dan pastor paroki serta 3 suster dari Medan. Mereka berharap bahwa suster akan membuka komunitas di Muting dan dapat ambil bagian untuk melayani mereka, terlebih di bidang pendidikan dan kesehatan. Mereka mengungkapkan bahwa di desa mereka sudah ada bagungan Puskesmas Pembantu, namun hingga hari itu belum ada seorang tenaga kesehatan pun yang tinggal di rumah itu. Mereka rindu mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai agar dapat hidup sehat karena pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan dari para petugas kesehatan.
Bapa Kepala Desa menghaturkan banyak terima kasih kepada warga masyarakat yang telah menyambut para tamu dengan meriah, secara spontan dan penuh keakraban. Pastor Pius Oetmatan juga mengungkapkan kegembiraan dan kebanggaan kepada para suster yang telah rela datang dari jauh untuk melihat dari dekat kehidupan umat dan masyarakat di wilayah itu. Beliau berharap kehadiran para suster akan menjadi berkat bagi umat, dan sekaligus akan memberikan gambaran atas realitas kebutuhan umat akan tenaga para biarawati.
Kunjungan dilanjutkan ke Kampung Kindiki. Perjalanan ditempuh selama 1 jam dan 20 menit dari kampung Boha karena melalui jalan-jalan pintas. Biasanya perjalanan pada musim panas ke kampung ini ditempuh selama 2 jam 25 menit.
Umat di Kampung Kindiki juga jumlahnya sekitar 250 jiwa. Kampung ini dikenal sebagai penghasil kayu gaharu. Ada warga masyarakat yang telah membeli sebuah sepeda motor bebek seharga Rp 18 juta dari hasil mencari kayu gaharu. Mereka juga sedang menyelesaikan pembangunan gereja dengan dana bantuan pemerintah sebesar Rp. 200 juta.
Mereka sudah siap di gereja sejak pagi, namun karena kedatangan kami agak terlambat mereka pulang dulu untuk makan siang. Ketika kami sudah ada di gereja, mereka datang kembali dan bertatap muka dengan kami. Salah seorang umat mengungkapkan kegembiraan mereka atas kunjungan ini, dan berharap agar para suster dapat hadir di Muting, dalam rangka membantu memperdalam iman anak-anak mereka. Bapak Kepala Desa juga amat bergembira atas kedatangan uskup dan para suster ke kampung mereka. Beliau mengatakan bahwa sudah sejak awal masuknya agama katolik di Muting tidak pernah ada komunitas suster. Dengan melihat sendiri keadaan dan kerinduan umat, beliau berharap para suster akan rela untuk ambil bagian dalam pelayanan di paroki Muting.
Atas harapan itu, para suster menyampaikan terima kasih atas penerimaan dan permintaan umat. Beliau juga amat kagum atas apa yang beliau lihat dan beliau alami. Ternyata di desa-desa yang terpencil itu pun telah terjadi perkembangan dan pembangunan yanbg luar biasa pesat. Sr Wilfrida sebagai Pemimpin Umum yang atas nama Tarekat mengadakan kunjungan kerja ini, mengungkapkan "Saya tidak menyangka bahwa anda telah seperti ini. Sebelum saya datang, saya membayangkan keadaan umat di sini amat tertinggal dan menyedihkan, ternyata banyak hal yang moderen terjadi dan amat mengagumkan. Kita bisa berkomunikasi dengan lancar. Bahkan alat-alat dan makanan yang disediakan juga tidak kalah dengan makanan yang ada di kota. Saya akan menyampaikan pengalaman ini kepada para suster di Medan, dan saya yakin mereka akan mendukung pelayanan di Keuskupan Agung Merauke. Dengan kunjungan ini, kami yakin bahwa kami sungguh dibutuhkan dan kami tergerak hati untuk turut ambil bagian dalam pelayanan di keuskupan ini".
Setelah dialog dari hati ke hati, kami makan siang bersama. Kami mendapat hidangan masakan babi rica-rica, sayur daun pepaya dan kangkung yang enak. Semuanya itu dihidangkan di piring porselen yang bagus dan besar. Saya pribadi tidak menyangka bahwa umat Kindiki yang sederhana itu ternyata "memberikan yang terbaik dan amat membanggakan hati". Mereka luar biasa dan benar-benar murah hati.
Boha dan Kindiki adalah "perwakilan umat" di wilayah hulu sungai Bian, sungai kedua terbesar di wilayah selatan pulau Papua. Mereka amat rindu mendapat santapan rohani berupa kunjungan, pertemuan dan dialog dari hati ke hati. Di hati manusia itulah tersimpan banyak mutiara yang indah. Di hati manusia itu pulalah Tuhan berkenan menempatkan hukum cinta kasih-Nya. Di hati manusia itu juga Tuhan berkenan berdiam, untuk berkomunikasi dengan manusia setiap waktu. Maka, dialog dari hati ke hati sebenarnya merupakan dialog penuh damai yang didambakan oleh setiap insan di atas muka bumi ini.
Komentar