PENGGEMBALA KAMBING

PARA PEMBACA YANG BUDIMAN

Lama nian, saya tidak menjumpai anda. Ada banyak pengalaman yang tejadi sepanjang tahun 2018, namun untuk menuliskan dan membagikannya kepada anda..... selalu ada banyak hal yang menghalangi saya. Untuk duduk dan menulis, nampaknya secara fisik mudah....namun dibutuhkan juga spirit dan tekad ekstra.  Itulah yang tidak mudah. Maka, saya amat bersyukur bahwa pada kesempatan ini, saya dapat menyuguhkan tulisan ini kepada anda. Selamat menikmati, dan semoga anda mendapatkan inspirasi di dalamnya.

Tiba di Merauke
Sabtu, 10 Maret 2018 adalah hari istimewa bagi kota Merauke.  Pada hari itu, Mgr Adrianus Sunarko OFM, bersama dengan ibundanya ( bu Maria ), dan kedua adiknya serta ibu Rusbasari (tetangga di kompleks perumahan guru ketika masih di Merauke) tiba dari Yogyakarta, dengan menumpang pesawat Sriwijaya.  Uskup Merauke bersama seorang frater menyambut kedatangan mereka di bandara Moppa. Dari Bandara, mereka langsung menuju ke wisma uskup.

 Di depan kantor Satlantas – Merauke, sekitar 200 meter dari wisma keuskupan, Mgr Narko disambut oleh guru-guru SD Xaverius II dan para murid dengan iringan drum-band.  Mereka dengan bangga menyambut tamu dari jauh itu, karena tamu istimewa itu adalah lulusan dari sekolah itu. Selain pengalungan bunga,  beliau juga menerima topi adat (mahkota) yang dihiasi burung cendrawasih. Burung cendrawasih sering disebut juga burung kuning, karena bulunya berwarna kuning keemasan. Kedua adik beliau yang baru pertama kali melihat mahkota itu kemudian memakainya secara bergantian, sambil mengagumi burung kuning yang telah diawetkan itu. Tak lupa mereka juga ber-selfi saat memakai mahkota khas Papua itu.

Pada hari  minggu, tanggal 11 Maret 2018 beliau mempersembahkan misa di gereja katedral Merauke, sebagai ucapan syukur atas tahbisan uskup yang beliau terima pada bulan September 2017 yang  silam.  Dalam kata pengantar dalam misa, beliau menyampaikan bahwa dibaptis di gereja Kelapa Lima – Merauke, menerima komuni pertama di katedral dan aktif untuk menjadi misdinar. Maklum letak rumah orangtuanya tidak jauh, hanya beberapa menit dari gereja dengan berjalan kaki. Pada waktu itu yang menjadi pastor paroki adalah Pater Markus Bennenbroek MSC.

Banyak kenangan di kota kecil
Merauke bukanlah kota yang asing bagi Mgr Narko. Beliau lahir di Merauke, tepatnya tanggal 7 Desember 1969, kemudian bersekolah di SD Xaverius II, dan SMP John 23.  Kenangan di SD Xaveriuslah yang paling banyak, sedangkan di SMP John 23 hanya 3 bulan, kemudian karena kedua orangtuanya pindah ke Sedayu – Yogya, mereka semua pindah ke Sedayu.  Ketika beliau sedang bersharing, ibundanya berbisik bahwa beliau juga dulu sekolah di TK Bernadetha – Merauke. Rupanya kenangan di TK tidak  begitu diingat. Maka tidak mengherankan bahwa ketika ada waktu jalan-jalan, beliau mengunjungi bekas rumahnya di kompleks SMA John 23.

Perumahan guru yang dulu menjadi tempat tinggal mereka, sudah dibongkar. Tidak ada 1 batu pun bekas rumah yang tersisa di atas tanah itu. Semuanya sudah berubah. Di tempat itu telah berdiri gedung baru berlantai dua, yaitu 8 ruang kelas dari SMA John 23. Yang masih beliau kenali adalah sebuah sumur tua. Di sumur itu, dulu beliau mengambil air atau melihat sopir dari bu Rusbasari mencuci mobil angkot.

Beliau mengunjungi juga SD Xaverius II. Semua mantan gurunya telah pensiun. Sudah tidak ada lagi orang yang bisa menunjukkan tempat-tempat penuh kenangan, namun beliau masih ingat ruang belajar yang dulu pernah dipakainya. Ada dorongan hati untuk meninjau kantor kepala sekolah. Ada apa gerangan ? Di kantor kepala sekolah, ditemukan di buku induk. Di sana tercatat nama seorang murid yang telah lulus dari sekolah itu.  Namanya: Adrianus Sunarko, dengan no induk: sekian.      

Penggembala kambing 
Kedua orangtua Sunarko kecil, memelihara kambing.  Sunarko dan kakaknya Sutadi, diberi tugas oleh orangtua mereka untuk menggebalakan kambing. Setiap pagi sebelum pergi ke sekolah mereka menggiring kambing di sekitar kuburan cina – Merauke, yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah mereka. Sesudah pulang sekolah, mereka berdua pergi untuk melihat kambing gembalaan mereka. Karena capek tetapi juga karena tempat di kuburan cina itu teduh dan sejuk, sering mereka tertidur di serambi / di teras kuburan itu.

Drama Samuel
“Saya pernah tidur di lantai itu” demikian ungkap Mgr Narko sambil menunjuk lantai di sebelah kanan bekas gereja katedral Merauke. Para hadirin yang ada di acara resepsi itu tidak mengerti dan heran akan ungkapkan itu. Apa maksudnya ?  Ternyata, sekian tahun yang lalu, Sunarko kecil bersama teman-temannya menyuguhkan drama. Di dalam drama itu,  Sunarko berperan sebagai Samuel. Sebagaimana ketika dipanggil Tuhan, Samuel sedang tidur di bait Allah, demikian pula  di lantai sebelah kanan altar bekas gereja katedral itulah, Sunarko tidur dan mendapat panggilan Tuhan.
  
Rupanya kegiatan menggembalakan kambing dan berperan sebagai Samuel, merupakan cikal bakal muncul dan berkembangnya panggilan Tuhan, dalam diri kedua kakak beradik itu ( Sutadi dan Sunarko).  Setelah menamatkan sekolahnya di Sedayu, Sutadi dan Sunarko masuk Seminari Mertoyudan.  Panggilan Tuhan dalam diri mereka terus bertumbuh. Dan kini, Sutadi sudah menjadi pastor di Keuskupan Ketapang, dan Mgr Sunarko OFM telah menjadi uskup di Keuskupan Pangkal Pinang.

Rahmat sakramen imamat (tahbisan uskup) bukan hanya milik pribadi, tetapi juga milik Umat allah. Karena itu umat Merauke pun turut berbangga dan bergembira atas tahbisan uskup yang diterima Mgr Narko. Kegembiraan itu diwujudkan dengan kehadiran mereka di gereja. Anak-anak sekolah pun diajak untuk hadir pada misa kudus hari itu, karena salah satu tujuannya adalah aksi panggilan. Moga-moga kehadiran dan pengalaman beliau yang diceritakan kembali kepada generasi muda, para siswa SD, SMP dan SMA akan menjadi benih panggilan. Moga-moga pula pada masa mendatang akan ada banyak kaum muda yang memberanikan diri untuk menjadi imam, biarawan-wati, atau pun awam yang siap untuk menjadi terang  dan ragi Kristus.

Tuhan bekerja melalui kegiatan orangtua, kerja kebun, menggembalakan ternak, atau lewat kegiatan kegerejaan.  Semuanya berjalan secara alamiah, baik melalui kegiatan di sekolah, di rumah, di lingkungan, yang tampaknya sangat manusiawi dan tidak ada unsur keagamaan ( kerohanian ).  Kegiatan bertani, berternak, mencuci piring, tampaknya tidak ada kaitan dan sangat jauh dari jalan panggilan untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati. Namun, apa yang tampaknya biasa dan kecil, bisa menjadi pintu / langkah awal menuju ke  jalan imamat atau hidup membiara. Pekerjaan itu adalah pekerjaan pelayanan yang tanpa disadari menumbuhkan dan meningkatkan kesetiaan, kedisplinan, kerendahan hati, kerja keras dan pengorbanan. Nilai-nilai itu sangat mendasar dan dibutuhkan oleh semua orang. Panggilan imamat dan hidup membiara sebetulnya adalah panggilan untuk menanamkan, menjaga, mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai itu dalam nama Tuhan yang menjadi sumber kehidupan semua orang, tanpa menuntut imbalan bagi dirinya sendiri. Tuhan yang mengutus, Tuhan pula yang tetap menjadi Penjaminnya. 

Komentar

Postingan Populer