KUBUS-KUBUS
P
Pembaca yang budiman...
Ombak besar
dan angin kencang dari arah barat biasanya muncul pada bulan Februari dan Maret. Kekuatannya luar biasa sehingga sering
mengakibatkan terkirkisnya pantai di wilayah Okaba, dan sekitarnya. Karena tanahnya berupa pasir halus, ombak
besar itu dengan mudah mengerus tanah itu, membuat lahan yang amat luas sepanjang pantai itu pelan-pelan gugur. Setiap
tahun, ratusan kubik tanah hilang ditelan ombak seiring dengan tumbangnya
pohon-pohon pelindung. Penduduk yang
membangun rumah di sepanjang pantai, setelah memperhitungkan bahwa dalam jangka
waktu sekian bulan akan terancam keselamatannya, pindah ke tempat yang lebih
aman. Tanah tempat tinggal mereka
sekarang tinggal kenangan. Semuanya telah menjadi laut bila air pasang.
Kuburan
umum yang letaknya bersebelahan dengan tanah gereja, juga mengalami pengikisan
yang luar biasa akibat angin kencang dan ombak besar. Oleh keluarga mereka,
kubur itu dibongkar dan rangka / tulang-tulang yang masih ada dipindahkan ke
tempat yang lebih aman. Di lokasi itu,
sekarang tidak ada lagi makam. Bencana alam tahunan ini telah memaksa penduduk
untuk memindahkan makam ke tempat lain.
Begitu
pula tanah di depan gereja katolik Okaba ( pantai Sidabok ) telah gugur ke
laut. Tanah yang gugur makin besar luasnya sehingga telah merobohkan bangunan
serba guna. Gugurnya tanah-tanah itu, membuat akar-akar pohon tidak lagi punya
kekuatan dan pijakan. Ratusan pohon kelapa yang dulu tumbuh di atas tanah itu
pun telah tumbang diterjang ombak besa
dan angin yang dahsyat. Pohon-pohon yang tumbang di sepanjang pantai: pohon
kelapa, pohon ketapang, pohon mangga dll. Setelah pohon-pohon itu tumbang,
ombak besar dan angin kencang seakan-akan makin bebas menghajar daratan pasir
itu. Meter demi meter, tanah itu hanyut
ke laut.
Dua tahun
sebelumnya (2015) jarak bangunan gereja
dengan pantai hanya 2 meter. Ombak besar telah menghantam fondasi teras depan
gereja. Namun berkat bantuan pemda dan
pengusaha, pantai telah ditanggul dengan menggunakan batang-batang kayu yang
cukup besar, dan dilakukan penimbunan kembali. Tahun 1996 ( dua puluh dua tahun yang lalu ) jarak antara pantai dan
gedung gereja sekitar 80 meter, saat ini
tinggal 7 meter.
-
Sungai Koloi
Lama
sebelum peristiwa / bencana alam tahunan
ini terjadi, Bpk Gerardus Kaize telah meminta untuk menangani pengikisan
pantai laut itu baik kepada Pemda maupun kepada pastor paroki Obaka.
Keprihatinan itu diungkapkan dalam sebuah tulisan yang berjudul: “Okabaku
sayang, Okabaku malang”. Menurut
pengamatannya, muara sungai Koloi yang dulu letaknya di bagian utara telah
berpindah ke selatan. Akibatnya arus dari laut ketika melewati muara itu dan
ditambah oleh kekuatan angin kencang, terus-menerus menggerus pantai di depan
tanah gereja. Ombak besar yang disertai angin kencang, menghantam pantai pasir
dan menghancurkan apa saja di depannya.
Pohon-pohon tumbang, rumah-rumah penduduk rusak, jembatan besar juga roboh
karena tanah yang di bawahnya dirusak
oleh ombak besar setiap tahun pada bulan Februari dan Maret.
Gerard
mengusulkan muara sungai Koloi dipindahkan (dikembalikan posisinya seperti
semula) dan dibangun talud di pantai di depan tanah gereja agar bencana itu
berhenti. Usul itu hampir tidak pernah didengar, karena memang tidak banyak
orang yang tahu dan memahami betapa ganasnya ombak di pantai Sidabok – Okaba. Dua
kali dia menyampaikan usul itu kepada uskup, namun apa daya uskup pun tidak
bisa mendapatkan dana besar. Lokasi Sidabok sulit dijangkau, dan infrastruktur
ke wilayah itu juga amat terbatas. Apalagi, untuk membangun talud sepanjang 500 meter dan
memindahkan muara sungai Koloi dibutuhkan biaya yang amat besar.
-
Badai besar
menggugah donatur
Tahun
2014 terjadi badai yang besar. Pantai Sidabok untuk kesekian kalinya dihajar
ombak besar. Masyarakat di wilayah itu
tidak berdaya menghadapi bencana alam itu. Bencana di Sidabok adalah bencana
kemanusiaan. Maka masyarakat yang ditimpa bencana pun mulai bergerak untuk
mencari pertolongan. Umat katolik bersama pastornya dan pak Camat ( Bpk
Jeremias Ndiken) pun bergerak untuk mengatasi persoalan itu.
Atas
laporan dari umat dan pastor Okaba,
uskup mencari bantuan kepada para donatur. Dalam waktu kurang dari 2 minggu, dari
para donatur di Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya dll telah diperoleh
bantuan Rp. 180 juta. Bantuan itu segera dipergunakan. Pastor dan pak Camat
bahu membahu menggerakkan umat untuk membuat talud darurat yang terbuat dari
karung-karung berisi lumpur. Menurut pengalaman, karung yang berisi lumpur akan
jauh lebih sulit hancur daripada pasir yang berisi pasir.
Uang
bantuan dipergunakan untuk membeli 50.000 karung, ongkos angkut, sewa truk,
pembelian kayu dan bambu untuk tanggul,
biaya mengisi ribuan karung dengan lumpur, ongkos makan dll. Selama kurang
lebih 2 minggu mereka kerja. Akhirnya, ribuan karung yang telah berisi lumpur
mereka susun sehingga menjadi talud.
Untuk
sementara waktu, pantai Sidabok aman dari hantaman ombak besar. Namun karena
setiap hari dihantam ombak besar, letak karung-karung itu mulai bergeser. Lama
kelamaan karung-karung yang di bagian atas jatuh, karena tidak diikat / tidak
diberonjong. Talud buatan itu rata dihajar ombak terus menerus. Karung-karung
itu berserakan ke mana-mana. Lumpur yang ada di dalam karung pun lambat laun
menghilang. Karung-karung yang kosong kemudian hilang terbawa ombak dan arus,
dan ditemukan orang di desa-desa sekitarnya.
Usaha
untuk mengatasi bencana alam itu tampak sia-sia. Tahun berikutnya gelombang
besar itu datang lagi dan menghajar pantai Sidabok lagi. Tahun 2015, fondasi
pendopo gereja sudah digerus ombak. Umat
sudah siap untuk pindah ke tempat lain, supaya bisa tetap beribadah setiap hari
minggu. Bantuan akhirnya datang juga. Gerard Kaize yang waktu itu telah menjadi
anggota DPRD Merauke berjuang supaya pemerintah pusat dan Pemda Merauke
memberikan perhatian dan bantuan, pada bencana alam tahunan ini. Awal tahun 2016 bantuan itu datang, dan
pembuatan talud dimulai. Dengan bantuan itu, telah dibangun talud, sepanjang
150 meter dengan tinggi 3,5 meter. Oleh orang Okaba, talud itu disebut
kubus-kubus, karena terbuat dari blok-blok semen yang berbentuk persegi empat
seperti bentuk kubus.
Kepada
Acun, operator alat berat yang telah membantu menancapkan batang-batang kayu
bus, pantaslah diucapkan banyak terima kasih. Kepada Bapak Citoi, bapak Erwin
dan bapak Herman Anitu yang telah
mengerjakan talud, juga kami ucapkan banyak
terima kasih. Kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat yang telah
memberikan dana untuk membangun talud di Sadabok, kami ucapkan banyak terima
kasih. Secara khusus, kepada bapak Frans
Boyen Mahuze yang telah menyumbang 9.000
barang kayu bus, diucapkan banyak terima kasih. Kepada umat yang telah
ambil bagian dalam pembangunan talud
kayu, juga disampaikan ucapan terima kasih.
Kepada pastor Jeffry Bogia yang telah berdoa, mengimani doa itu, bekerja
keras dan menyemangati umat untuk mempertahankan pantai Sidabok, gereja Okaba
dan menanam pohon-pohon pelindung kami ucapkan banyak terima kasih.
Sayang
beribu sayang, Gerard yang telah berjuang dengan pantang menyerah supaya mendapatkan dana, telah
meninggal dunia sebelum talud itu terwujud. Dia tidak pernah melihat hasil yang
dia perjuangkan, namun anak cucu dan masyarakat Okaba mengalaminya. Maka, patutlah
diucapkan banyak terima kasih kepada almarhum Gerard Kaize yang telah
memperjuangkan talud bagi keselamatan pantai Sidabok.
Komentar