HUTAN DAN RAWA DI TANAH MARIND
PEMBACA YANG BUDIMAN
Pertama-tama saya haturkan ucapan "Selamat Natal"..... Anda sekalian tentu mengalami suasana itu di tempat anda berada, berbeda dengan di tempat saya.... yang jauh dari keramaian kota. Saya merayakan Natal di sebuah pulau...yaitu pulau Kimaam. Banyak orang mengenalnya dengan sebutan pulau Yos Sudarso. Konon di sekitar pulau itu, pahlawan Yos Sudarso gugur ketika diutus untuk merebut kembali Irian Barat.
Sebelum pelayanan Natal, saya diundang oleh pastor dan umat paroki Okaba untuk memberkati sebuah gereja baru. Ketika terbang di atas hutan itulah..... tulisan ini muncul sebagai buah permenungan saya. Semoga anda mendapatkan butir-butir inspirasi di dalamnya.
Sabtu, tanggal 15 Desember 2017,
setelah menunggu sekian jam di Bandara Moppa Merauke, akhirnya jam 14.35 saya
terbang ke Okaba dengan menumpang pesawat kecil, jenis Caravan. Pesawat ini
milik perusahaan penerbangan yang bernama PT Susi Air. Penumpang hari itu
berjumlah 9 orang ( dewasa dan anak-anak). Jumlah penumpang maksimum 11 orang.
Cuaca amat cerah dan mendukung
penerbangan, sehingga dalam waktu 20 menit, kami sudah mendarat di bandara
Okaba. Perjalanan amat aman, tidak ada guncangan sedikit pun. Angin pun
bersahabat, sehingga semua penumpang di dalam pesawat tetap duduk tenang,
bahkan ada yang mengantuk. Biasanya saya pun tidur / tertidur selama
perjalanan. Namun hari itu, mengingat sudah cukup lama tidak terbang dengan
pesawat kecil, saya sengaja tidak tidur.
Saya mengamati hutan-hutan dan
rawa yang begitu luas di sepanjang pantai sejak dari Merauke sampai di Okaba.
Ada beberapa kampung yang dilewati: Urumb, Wendu, Matara, Kumbe, Keiburse,
Onggari, Domande, Sanggase, Alatep, Alaku dan yang terakhir adalah Okaba. Ada
banyak hutan pantai yang sudah gundul, tinggal beberapa pohon kecil. Di
antaranya adalah pohon bakau (mangrove) dengan beberapa jenisnya.
Saya membuat saya termenung
adalah “hutan dan rawa-rawa itu, yang dulu begitu ramah dan memberi hasil yang
berkelimpahan kepada masyarakat lokal, saat ini pun tetap memberikan hasil yang
berlimpah ruah: ikan, udang, umbi-umbian, pisang, kelapa, dan pelbagai hasil
panenan lainnya. Banyak orang masih ingat lagu yang dinyanyikan Koes Plus yang
judulnya “Kolam Susu”. Syair awalnya
adalah sbb:
Bukan
lautan, hanya kolam susu.
Kail
dan jala cukup menghidupmu.
Tiada
badai tiada topan kautemui.
Ikan
dan udang menghampiri dirimu.
Orang
bilang tanah kita tanah surga
Tongkat
kayu dan batu jadi tanaman.
Orang
bilang tanah kita tanah surga
Tongkat
kayu dan batu jadi tanaman.
Bukan hanya jumlahnya yang
mengagumkan, namun juga ukuran besarnya, dan kualitasnya luar biasa. Kalau begitu
apanya yang harus dicermati ?
Pemikiran sederhana yang muncul di benak saya tentang
siapa saja yang harus berperan agar
hasil masyarakat bisa sampai kepada pembeli (masyarakat umum) adalah para pihak ini: 1) petani (pemetik hasil
alam), 2) pengumpul, 3) pembeli awal, 4) pengangkut, 5) pembeli di pasar
(penampung) yang sekaligus bertindak sebagai penjual, dan 6) pembeli
(masyarakat). Untuk mendukung kegiatan
jual beli atas hasil masyarakat yang dibutuhkan adalah angkutan, jalan, pasar.
Yang lebih perlu diperhatikan dan
dicermati adalah :
Kebutuhan hidup
Masyarakat setempat adalah petani
( penanam dan pemetik hasil hutan / rawa ). Pada umumnya mereka berpikir amat
sederhana, tentang 2 hal yaitu mendapatkan hasil (panen atau hasil hutan) dan
segera menjual dan mendapatkan barang yang dibutuhkan atau uang. Hasil hari ini
adalah untuk hari ini, atau paling lama untuk 1 minggu. Mengapa demikian ?
Alasannya amat sangat mudah dipahami yaitu pertama, mereka butuh makan. Apa yang mereka miliki segera mereka makan sendiri atau mereka tukar dengan barang kebutuhan hidup.
Kedua, mereka tidak punya kulkas, atau bahan
pengawet (garam). Akibatnya bila tidak segera dijual hasil panenan / hasil
tangkapan mereka, akan busuk atau turun kualitasnya. Di kampung sering tidak
ada listrik PLN yang menyala 24 jam. Bahkan ada kampung-kampung yang tidak
punya genset. Atau di sana ada genset,
namun tidak ada bahan bakar. Harga bbm
di kota-kota kabupaten dan di pusat-pusat distrik, sudah sama dengan harga bbm
di Jakarta, namun belum merata di semua lokasi. Lebih-lebih di kampung-kampung
yang terpencil. Harga bbm bisa di atas Rp. 10.000 per liter. Hanya orang-orang tertentu yang mampu membeli
genset dan punya cadangan bahan bakar.
Ketiga, letak pasar amat jauh
dari kampung mereka, sarana transportasi
amat langka, dan biaya yang dibutuhkan juga mahal. Akibat lebih jauh dari situasi yang demikian
ini adalah masyarakat menjual saja apa yang mereka hasilkan, dengan harga
seadanya ( amat rendah ). Hal ini tidak mungkin dihindari karena mereka
dihadapkan hanya pada 2 pilihan yang sulit: menjual dengan harga amat rendah (
namun ada uang di tangan ), atau tidak mendapatkan apa-apa sama sekali dan hasil panenan menjadi busuk. Pada umumnya mereka memilih menjual hasil
dengan harga rendah, daripada tidak mendapatkan apa-apa. Kebutuhan makan minum
meski sedikit, tetap bisa mereka dapatkan.
Langkah panjang
Kalau diperhatikan, apa yang saya
ungkapkan tadi, ada 6 pihak yang berperan ( 6 langkah yang harus dilalui) , dan
ada 3 sarana penunjang (akses) yang dibutuhkan agar barang ( bahan pangan /
hasil panenan ) yang ada di kampung sampai ke pasar. Petani ( masyarakat kampung) mengerti tentang
hal ini, namun tidak sanggup melakukannya, karena ini bukan bidang mereka. Mereka
berpikir tentang mengolah sawah, mendapatkan bibit dan pupuk, dan mengatur
air. Ketika musim panen tiba, mereka memanen
semuanya, menjemur (menyimpan sementara) dan menjualnya ke pasar terdekat, atau kepada tengkulak.
Hasil yang telah dijual akan
diapakan dan akan dikemanakan oleh pedagang di pasar atau oleh tengkulak, sudah
bukan urusan mereka lagi. Hal pemasaran, dan keuletan serta kerumitan dunia
perdagangan, dan aneka urusan tentang angkutan, pembungkusan /pengepakan,
pemberian merek, penjaminan mutu dsb diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak
lain. Bila pemerintah campur tangan di bagian ini, para petani akan tertolong,
namun bila tidak ada bantuan pemerintah,
mereka akan jatuh ke tangan tengkulak, atau ke tangan lintah darat.
Beda mentalitas
Mentalitas petani dan mentalitas
pedagang dalam melihat hasil panen (pertanian, peternakan, hasil hutan,
perikanan tambak dll) sungguh amat berbeda. Petani berharap dapat segera
mendapatkan uang / barang ketika panen tiba. Bagi mereka ini, panenannya lebih
cepat laku adalah lebih baik. Mentalitas ketergantungan kepada pembeli
(tengkulak) amat besar, karena memang kondisi mereka tidak memungkinkan untuk
melangkah lebih jauh. Bisa dikatakan hidup mereka ditentukan oleh tengkulak
(pembeli yang mendatangi mereka di kampung-kampung) karena 6 langkah dan
akses-akses penting tidak mereka miliki.
Sedangkan pedagang berpikir
menurut hukum dagang, yaitu membeli semurah-murahnya, dan menjual dengan
keuntungan yang besar. Apalagi bisa hasil panenan itu melimpah, dan ada banyak
kampung yang menghasilkan jenis panenan yang sama (saingan) harga pun diturunkan. Dalam hal jual beli, hukum pasar dan besarnya
keuntungan yang diinginkan oleh para pedagang, para pelaku pasar dan para
penjasalah yang berlaku. Siapa yang cepat dan berani ambil keputusan, pada
umumnya dialah yang dapat.
Sulit mengubah peran
Dunia pertanian berbeda dengan
dunia kewirausahaan, meskipun keduanya tidak bisa dipisahkan. Masyarakat pada
umumnya adalah petani ( nelayan, peladang, peternak kecil, dan perambah hutan
juga bisa digolongkan di sini) yang berusaha agar bisa hidup dan mencukupi kebutuhan hidup. Mereka
memang sudah ada usaha dan berusaha, namun dari tahun ke tahun kegiatan,
jenis dan irama yang diusahakan tetap
sama.
Mereka tentu dapat / akan
dimasukkan ke dalam kelompok wirausaha, bila mereka mempunyai usaha, semangat,
keuletan, kerja keras, ketelitian, perhitungan yang matang, jaringan kerja, dan
jumlah yang dikelola satu atau dua tingkat lebih tinggi ( misalnya: ada usaha
tetap dan ada usaha tambahan, ada pemeliharaan, kegiatan jual beli secara
teratur dll). Pada bagian inilah, tidak banyak orang yang
mau, dan tidak banyak orang yang berani ambil resiko yaitu mengalami kerugian. Berubah
peran dari petani menjadi wirausahawan
itu tidak mudah.
Pembinaan dan pelatihan
Mereka tentu ingin hidup
sejahtera. Hidup sejahtera sebagai petani adalah anugerah dan mereka bisa
berperan dalam pembangunan masyarakat sesuai dengan kemampuan dan bakat, budaya
serta latar belakang pendidikan mereka. Mengajak mereka untuk berwiraswasta
adalah suatu kebajikan. Hal berwiraswasta bisa terjadi, bila mereka dibina dan
dilatih secara terus menerus dan berkelanjutan.
Teori yang diberikan akan
memberikan kepada mereka bekal pengetahuan, dan membantu mereka untuk memahami
lebih mendalam. Latihan yang terus menerus akan memungkinkan mereka untuk
semakin terampil. Sedangkan pembinaan, akan membantu mereka agar memiliki
mental kerja keras, meningkatkan kualitas, pantang menyerah, disiplin diri,
berjejaring, jujur, memikirkan masa depan, menghasilkan produk-produk unggulan,
dan menghargai hak orang lain, mencermati situasi pasar serta memperhitungkan
untung rugi dalam berusaha.
Kekayaan potensial
Apa yang saya lihat dari udara,
yaitu hamparan hutan tropis di wilayah masyarakat Marind, rawa-rawa dan lautan
yang penuh dengan pelbagai jenis ikan, merupakan kekayaan alam yang masih
berupa bahan mentah (kekayaan potensial).
Sumber daya alam itu masih perlu diolah dan dipasarkan sehingga membawa
rejeki yang dapat dijadikan sumber kesejahteraan hidup masyarakat. Dibutuhkan SDM-SDM
yang terampil, tahan uji dan ulet untuk mengolah semuanya itu, mendapatkan
panenan dalam jumlah besar dan memasarkannya.
Kekayaan yang menjadi milik masyarakat sampai saat ini masih banyak yang belum terolah.
Mereka butuh orang-orang yang berhati mulia dan fasilitas pendukung agar
kehidupan mereka makin sejahtera, dan mereka dapat mengejar ketinggalan serta
dapat berperan dalam di bidang-bidang kehidupan lainnya. Orang-orang yang berhati mulia itu, rela dan bersedia tinggal lama bersama mereka, melatih dan memajukan mereka, sehingga mereka akan menjadi manusia-manusia pembangun bagi masyarakat mereka, bersama dengan saudara-saudarinya yang datang dari tempat lain.
Orang-orang berhati mulia itu, bisa dari kalangan penyuluh, guru, bidan, dokter, perawat, rohaniwan, pengusaha, petani, peternak dll. Bila anda adalah orangnya, silakan datang dan bergabung dengan penulis blog ini. Terima kasih atas uluran tangan dan kesediaan anda.
Komentar