SEKUNDUS
PEMBACA YANG BUDIMAN
Kisah yang saya haturkan kepada anda sekalian sungguh nyata,
saya alami sendiri beberapa waktu yang lalu.
Sebagai orang yang sudah cukup lama bekerja di tanah Papua, saya amat
bangga atas apa yang telah dicapai oleh orang lokal. Moga-moga anda mendapat
inspirasi setelah membaca kisah ini. Selamat menikmatinya.
Siang itu, saya diajak oleh seorang rekan jalan-jalan mengelilingi kebun sawit milik
sebuah perusahaan (PTX). Perkebunan itu luasnya sekitar 20.000 hektor. Sudah 5
tahun perusahaan ini panen. Ada pun
jumlah karyawan tetap sekitar 4.000 orang, dan karyawan lebih sekitar 6.000
orang. Istri/suami dan anak mereka tidak
dihitung sebagai karyawan, karena mereka tidak bekerja di perusahaan. Kalau
demikian, jumlah orang yang ada di kompleks perusahaan bisa mencapai 15.000 orang. Jumlah ini sudah termasuk direktur dan staf
perusahaan.
Sekundus, adalah pemilik tanah yang sekian ribu tanahnya
disewa oleh PTX. Usianya sudah di atas
50 tahun. Dia pernah menjadi karyawan lepas ketika PTX baru membuka lahan.
Kemudian dia beralih menjadi pengusaha kayu olahan ( papan, balok 5x10, balok
10x10 dll ) untuk beberapa waktu. Memang
mula-mula ketika pemesanan banyak, dia punya penghasilan lumayan. Ketika pihak
PTX tidak lagi membangun rumah dengan menggunakan kayu, usahanya ini hasilnya mulai
menurun.
Ketika penghasilannya mulai menurun, datanglah seorang
pembuat batu bata (sebut saja: Marjono). Dia menawarkan diri untuk membantu dan
mengajarkan ketrampilannya kepada Sekundus.
Tawaran itu diterimanya dengan gembira. Setiap hari, dengan giat Marjono
dan Sekundus membuat batu bata dari lempung. Memang lempung (tanah liat) di
daerah itu kualitasnya bagus. Semuanya itu
dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana, dan tangan kaki mereka
setiap hari harus bergelepotan lumpur.
Marjono melihat bahwa Sekundus memang berbakat dan tekun, serta bertekad
untuk hidup sejahtera. Karena itu, ketrampilannya diberikan seutuhnya kepada
Sekundus.
Ia amat berterima kasih kepada Marjono. Orang yang tidak dia kenal sebelumnya, mau
memberikan pengetahuan dan ketrampilannya kepadanya. Maka, dia menyambutnya
dengan gembira dan penuh semangat. Dia berpikir bahwa semuanya itu untuk
dirinya, keluarga dan anak-cucunya. Kalau tidak bejalar sekarang kapan lagi,
kalau bukan dirinya siapa lagi. Itulah sebabnya,
selagi Marjono masih ada bersama dia, dia belajar sungguh-sungguh, serta ingin
mengembangkan diri dan ketrampilannya.
Dia belajar memilih tanah liat yang baik, mencampur dan
mengaduknya sampai rata, membuat cetakan batu bata, mencetak batu bata, membuat
tempat jemuran, menata batu bata ketika dijemur, menata batu bata ketika akan
dibakar dll. Semuanya itu dikerjakan mereka dengan menggunakan tangan dan
alat-alat sederhana. Dalam waktu 2 bulan, Sekundus sudah mahir dan terampil
untuk membuat batu bata dengan kualitas bagus. Ketika melihat hasilnya sudah memuaskan,
Marjono pamit pulang ke Jawa. Sekundus
tidak pernah mendapat berita bagaimana dan di mana Marjono, orang yang telah
membekali dia menjadi pengusaha batu bata seperti sekarang ini.
Ketika melihat keseriusan dan kegigihan usaha batu bata ini,
pihak PTX dengan rela hati membantu Sekundus untuk membelikan mesin pembuat
batu bata. Mesin itu diadakan dan
kini telah menjadi milik pribadi
Sekundus. Pihak PTX pun siap membeli batu bata yang dihasilkan oleh Sekundus.
Bila rajin kerja dengan dibantu anak-anak dan keluarganya, dia bisa
menghasilkan 15.000 keping. Di tempat
pembakaran, bisa ditampung 250.000 keping yang siap untuk dibakar. Setiap tahun PTX memesan 750.000 keping, dan
diambil di tempat dengan harga Rp. 1000 per keping. Dari jumlah dan harga itu, bisa dikatakan
penghasilan Sekundus dan keluarganya dari penjualan batu bata per tahun Rp. 750
juta. Jumlah ini adalah jumlah angka
yang cukup besar. Karena itu, dia bisa menghidupi keluarga dan orang-orang yang
bekerja padanya.
Sekundus tidak bekerja sendirian. Dia dibantu oleh
anak-anaknya dan orang-orang muda bahkan kaum perempuan yang mau bekerja di
sana. Dia katakan dengan terus terang di hadapan banyak orang tingkat
ketrampilan orang-orang yang membantu dia. Anaknya yang bernama Ignasius
dikatakan telah mahir semuanya, dan bisa diandalkan. Sedangkan anaknya yang
lain baru bisa mencampur / mengaduk tanah.
Anak-anak muda yang sudah bisa memotong adonan yang keluar dari mesin
pencampur sehingga menjadi kepingan batu bata mentah adalah Mathias dan Zakeus.
Yang lain-lain membantu mengangkut kepingan batu bata mentah ke tempat
penjempuran dan mengatur dengan rapih
supaya cepat kering.
Siang itu, kebetulan hari libur, ketika saya berkunjung ke
tempat itu. Anak-anak muda, ibu-ibu dan anak-anak yang jumlahnya banyak sekali,
ada di tempat pembuatan batu bata. Mereka semua memperlihatkan wajah-wajah yang
penuh sukacita. Sekundus, keluarga-keluarga serta anak-anak mereka adalah
penduduk asli Papua. Mereka sudah menyadari bahwa tidak mungkin selamanya
bergantung pada pihak PTX. Selagi PTX masih ada, mereka berusaha untuk menjadi
makin mandiri. Mereka mengalami bahwa pihak PTX mau membantu mereka untuk maju,
asalkan mereka sendiri bekerja keras dan jujur.
Mereka bisa menghasilkan 15.000 keping batu bata mentah per
hari tidak semuanya menggunakan mesin. Untuk menggali tanah liat, mereka
dibantu oleh PTX. untuk mengaduk tanah digunakan pacul dan untuk memasukkan
tanah ke dalam mesin, mereka menggunakan tangan dan jumlahnya harus secukupnya (
1 gumpal) dan teratur sehingga kerja mesin tetap lancar. Tanah yang telah tercampur dan padat karena
diaduk dan “dipress” oleh mesin itu, kemudian dipotong dengan alat. Sekali
potong dihasilkan 3 keping.
Dibutuhkan tenaga lain untuk segera mengangkut
kepingan-kepingan batu bata mentah itu ke tempat penjemuran. Bila hari itu
dihasilkan 15.000 keping, berarti harus dilakukan 15.000 : 3 = 5.000 kali kerja
memotong adonan batu bata. Dari kegiatan potong memotong dan angkutan kepingan
batu bata mentah sejumlah itu, nyata bahwa dibutuhkan banyak tenaga untuk
membuat batu bata yang siap bakar, dari sejak pekerjaan awal hingga batu bata
itu siap untuk dipasarkan.
Di tempat
lain, saya pernah bertanya kepada pembuat batu bata yang pada saat itu bekerja
seorang diri. Dia katakan bahwa dia
mampu membuat 1.000 keping batu bata mentah per hari. Jika harga batu bata
mentah per keping Rp 200,- penghasilan
orang itu adalah Rp. 200.000 per hari. Sebuah penghasilan yang lumayan.
Demikian juga bagi Sekundus dan keluarganya, bila baru bata mentah yang mereka
hasilkan 10.000 – 15.000 per hari, pengasilan mereka rata-rata Rp. 2 juta – 3
juta per hari.
Mereka ini juga perlu dibantu agar mempunyai niat dan tekad
untuk men bung demi masa depan mereka. PTX dan pihak lain tidak akan pernah
memberikan jaminan masa depan bagi orang-orang seperti Sekundus dan keluarga
serta anak cucu mereka. Mereka sendirilah yang pegang peranan penting untuk
mempersiapkan hari depan mereka yang tetap sejahtera. Mendirikan koperasi dan
CU, tidak menjamin bahwa mereka akan hidup sejahtera. Mereka butuh contoh dan
kehadiran orang-orang sebagaimana telah diteladankan oleh Marjono. Dia
menyiapkan Sekundus sampai berhasil dan mandiri. Mereka tidak butuh gedung dan
bangunan serta fasilitas, yang banyak kali didengungkan dan diproyekkan dengan
dana besar, mereka butuh sesama manusia yang setia dan tekun mendampingi mereka
memasuki pintu gerbang keberhasilan, mandiri mengusahakan kebutuhan hidup dan
menikmati kemajuan jaman. Dibutuhkan orang-orang yang datang untuk melayani dan
bukan untuk dilayani, dan mengorbankan nyawanya bagi kehidupan banyak orang,
sebagaimana diteladankan Yesus, Sang Gembala Agung umat beriman katolik dan
banyak bangsa di seluruh dunia.
Sekundus dalam sharingnya mengatakan bahwa manusia itu harus
berusaha. Apalagi PTX yang ada sekarang ini siap membantu masyarakat. “Kita harus bekerja sama, dan tolong
menolong, tetapi juga harus tulus, jujur dan tidak boleh lupa berdoa”
sambungnya sambil mengangkat kedua belah tangannya ke atas, kemudian
membongkokkan badannya. Pada hari Jumat
Agung 2017, halaman rumahnya dipakai sebagai tempat pelaksanaan “Jalan Salib
Hidup”, dan dirinya juga hadir pada kesempatan itu. Dia ikuti JSH dengan kaki
telanjang, padahal kegiatan itu dimulai jam 11 siang. Udara amat panas dan
matahari bersinar sepenuhnya. Apa yang dikatakannya itu pula yang dilakukannya. Sekundus terima kasih atas kesaksian hidup
dan kesejahteraan yang telah bapak teladankan kepada kami semua.
Komentar