KENANGAN SAGKI 2015
PEMBACA YANG BUDIMAN
SAGKI 2015 telah berlangsung beberapa waktu yang lalu
dan sudah selesai. Kenangan akan peristiwa agung itu, amat bagus untuk disimak.
Maka, meski sudah sekian waktu lamanya, saya rasa ada hikmat yang tetap bisa
dipetik. Kenangan itu, saya hadirkan untuk anda. Selamat
menikmati.
SAGKI
SAGKI adalah kependekan dari SIDANG AGUNG
GEREJA KATOLIK INDONESIA. Mengapa disebut SAGKI ? Disebut demikian karena SAGI
merupakan pertemuan (rapat) yang amat penting dari wakil-wakil umat katolik
seluruh Indonesia, bersama para imam, wakil-wakil kelompok kategorial, dalam
persekutuan dengan para uskup seluruh Indonesia, untuk membahas hal-hal penting
yang dialami umat katolik Indonesia pada umumya, dan persoalan-persoalan yang
dihadapi bangsa dan negara kita. SAGKI diadakan
setiap 5 tahun sekali.
SAGKI TAHUN 2015
SAGKI tahun ini dilaksanakan di Villa
Renata – Puncak, Bogor tanggal 2 – 6 NOVEMBER 2015 dengan tema: KELUARGA
KATOLIK SUKACITA INJIL. Agar para peserta menjadi lebih siap untuk mengikuti
SAGKI, dan panitia memperoleh gambaran yang lebih riil tentang keluarga di
banyak keuskupan, panitia telah membagikan kuestioner beberapa waktu
sebelumnya. Jumlah peserta dari masing-masing keuskupan adalah 10 orang. Karena
di Indonesia ada 37 keuskupan, jumlah peserta dari seluruh keuskupan adalah 370
orang. Ditambah kelompok-kelompok kategorial, dan panitia. Total peserta adalah
564 orang.
SAGKI dibuka dengan perayaan ekaristi yang
dipimpin oleh Ketua KWI, Mgr. Ignatius Suharyo dan didampingi oleh Bapak
kardinal Darmaatmadja dan semua uskup yang hadir.
Apa itu sukacita ?
Sukacita adalah pengalaman suasana hati
dan perasaan positif yang dapat didalami dalam berbagai macam cara dan sudut
pandang.
Beberapa pokok penting yang dapat dipetik
dari SAGKI:
1. Kabar sukacita yang paling
mendasar adalah bahwa Tuhan menciptakan manusia menurut citra-Nya. Manusia
adalah pribadi yang menyarakan dan menghadirkan kebaikan dan kasih Allah.
2. Perkawinan dan keluarga
adalah tempat bagi suami isgri dan anak-anak menghdariakan dan membagikan
kebaikan-kebaikan itu. Berbagi kebaikan dan kasih itu membuahkan sukacita.
3. Kegembiraan dan sukacita
yang dinikmati di dalam keluarga juga menjadi kekuatan dan penyemangat mereka
untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Keyakinan ini diteruskan kepada anak-anak
melalui pendiidikan dan nilai-nilai kemanusiaan agaar mereka mencintai Tuhan
dan sesama.
4. Pengalaman dalam
keluarga ini meneguhkan iman kita bahwa Allah mengaugerahkan sukacita itu dalam
hidup sehari-hari. Untuk itu diperlukan keterbukaan hati agar keluarga dapat
melihat dan mengalami serta mensyukurinya. Selanjutnya, keluarga harus
mempunyai kesediaan untuk bekerja sama dengan Allahy secara terus-menerus
mengembangkan sukacita itu.
5. Buah-buah sukacita itu
tampak dalam: iman yang mendalam dan tangguh, relasi yang semakin erat dalam
keluarga, peran aktif dalam hidup Gereja dan kepedulian terhadap mereka yang
membutuhkan.
6. Bercermin dari hidup
Keluarga Kudus, keluarga adalah ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat
Allah menabur, menyemaikan dan mengembangkan sukacita injil.
YANG MEMBERI INSPIRASI MENDALAM BAGI SAYA
1. Kaum awam yang hadir dan
terlibat dalam SAGKI sungguh mengagumkan. Mereka berasal dari pelbagai lapiran
umur dan status sosial, dan berperan dalam pelbagai tugas di tengah-tengah
masyarakat ( ibu rumah tangga, bidan, dokter, perawat, karyawan, dosen, pilot,
pengusaha dll).
2. Panitia dan seluruh
perangkat yang bekerja sebelum, saat pelaksanaan, dan sesudah SAGKI memang
bekerja luar biasa. Banyak hal telah dipersiapkan dengan baik, sehingga
kegiatan berjalan lancar, penuh persaudaraan, dan memberikan semangat dalam
mengikuti sidang. Tim animator berperan penting untuk menjaga agar kebugaran
tubuh, dan daya ingat yang mulai menurun karena mendengarkan dibangkitkan
kembali dengan gerak dan lagu.
3. Sharing dari keluarga A
( suami pengusaha dan istri adalah dokter ), ketika
mengalami bangkrut / kegagalan dalam berbisnis. Dia dililit utang, dan sekian
lama mengganggur padahal sebelumnya adalah pengusaha yang sukses. Dia
mengatakan : “Dalam masa terpuruk, satu-satunya harta berharga yang saya
rasakan waktu itu adalah keluarga. Saya tetap merasakan
sukacita, karena punya keluarga”. Dukungan moril dan finansial dari istrinya,
telah membangkitkan kembali kepercayaan dirinya, dan kini mereka hidup
berkecukupan, dapat menyekolahkan anak satu-satunya, dan pergi berziarah ke
beberapa tempat di luar negeri.
4. Keluarga B ( suami
dokter di pedalaman dan istri ibu rumah tangga ).
Mereka meninggalkan keramaian kota dan masuk ke pedalaman. Naik motor,
menjemput pasien dan melayani mereka meski mereka tidak mampu membayar. Tidak
jarang bahwa mereka harus mengeluarkan uang pribadi untuk membayar obat supaya
pasien menjadi sehat kembali. Bertahun-tahun lamanya mereka tinggal di daerah
minoritas Islam, namun diterima oleh mereka karena pelayanan kemanusiaan yang
mereka berikan. Dokter tersebut bercerita bahwa “sudah menjadi komitmen kami
sejak meninggalkan surabaya, dan kemudian menetap di Banjarmasin, hidup di
pedalaman Kalimantan Selatan, untuk selalu siap sedia dan menolong orang
kecil”.
5. Keluarga C ( suaminya
merantau ke luar negeri, sedangkan istri ibu rumah tangga ). Sang istri
merelakan suaminya untuk bekerja di negeri orang tanpa surat-surat legal. Suami
pergi untuk jangka waktu 2 – 3 tahun dan baru kembali. Mereka tetap setia
sebagai suami istri atas dasar kepercayaan (saling percaya). Sedangkan sang
istri menghidupi 4 anak dengan hidup seadanya di kampung, bahkan masih
memberikan waktu untuk mengajar agama bagi anak-anak di lingkungannya.
6. Sebuah pengakuan dari
keluarga D. Ia bercerai dengan suaminya karena ditinggalkan begitu saja tanpa
berita untuk bertahun-tahun lamanya. Atas ketidakjelasan “sampai kapan dia
diperlakukan begitu”, akhirnya dia memutuskan untuk cerai secara sipil.
Statusnya yang baru ternyata tidak mudah untuk dihadapi, makan energi, sulit
untuk mencari pekerjaan, dan yang lebih menyakitkan adalah “menjadi buah bibir”
banyak orang. Namun, dengan ketabahan yang dia buat demi buah
hatinya, dia berjalan terus dan kini bisa mandiri. Kekuatan yang dia miliki
adalah Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu yang buruk dan kegagalan”.
Dengan situasi yang mereka hadapi, dan
sering kali tidak mudah, banyak keluarga katolik telah menjadi lilin yang
menerangi banyak keluarga lain. Mereka tersebar di mana-mana. Mereka adalah
anak-anak Allah yang telah menterjemahkan amanat Injil: mencintai Tuhan dan
sesama secara nyata. Dari sekian banyak pasangan, baik keluarga yang seiman,
beda gereja dan beda agama, hanya sedikit pasangan yang bercerai. Suka dan duka
betul-betul telah mereka jalani. Mereka telah menjadi “saksi-saksi sukacita
Injil” di tengah-tengah masyarakat. Mereka telah
dikuduskan oleh Allah dan oleh komitmen mereka sendiri sejak menikah yaitu
saling mencintai pasangannya dan menghargai kesatuan itu sampai ajal menjemput
mereka.
Komentar