DITINGGALKAN

PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM

Menjelang pesta Natal ini, saya haturkan kepada anda, sharing saya yang amat khusus. Saya ulas apa yang saya rasakan dan saya perkirakan akan terjadi pada setiap orang, dalam hal ini, apa yang akan terjadi pada saya. Selamat membaca dan menemukan “inspirasi” dan kekuatan di dalamnya.

Siang itu, di hadapan saya terbujur kaku, jenasah seorang bapak. Usianya 69 tahun. Dia memakai pakaian dengan jas yang rapih, seperti orang yang hendak menghadiri pesta nikah atau pesta kenegaraan.  Kedua tangannya telah dikatupkan di depan dada, memakai kaos tangan putih, dan memegang rosasio. Pandangan mata saya dengan sengaja saya tujukan ke sana.... ke arah jenasah yang terbaring itu. Dia pasrah kepada siapa pun yang datang, yang memberi hormat / salam, atau yang memegang dia. Reaksi yang bisa dia tunjukkan adalah reaksi yang sama yaitu “diam” ( tidak menjawab, tidak membantah, dan tetap dalam posisi yang sama ).

Bapak ini biasanya aktif bekerja, bisa naik sepeda motor ke tempat kerja, terlibat dalam pelbagai kegiatan baik di lingkungan, di organisasi, di paguyuban.  Ketika sudah tiba saatnya, semuanya itu dia lepaskan, termasuk badannya yang sering dia perhatikan pun “ditinggalkan”.  Anak, istri, saudara-saudari sekandung, dan sahabat kenalan, semuanya dia tinggalkan.  Kepergiannya kali ini, sungguh sangat luar biasa. Dia tidak membutuhkan harta benda duniawi.

Saya hanya diam dan memandang. Namun, pikiran dan perasaan saya menembus jauh ke dalam sana...mencari makna dari kepergiannya. Dia datang sendirian ke tengah-tengah keluarganya, dan saat itu dari tengah-tengah keluarganya, dia pergi. Saya dan hadirin hanya bisa diam, memandang, badan yang ditinggalkan, dan sebentar lagi di antar ke makam. Tempat untuk badan yang sudah tidak bernyawa lagi, meskipun dulu badan itu disayang, diperhatikan, diberi makan, diberi pakaian yang indah, yang bisa bergerak, adalah makam.

Badan itu mendapatkan tempat yang baru, bersama-sama dengan mereka yang telah mendahului dia.  Tempat badan-badan yang telah tidak bernyawa lagi itu adalah makam / kuburan.  Di kompleks yang baru itu, mereka semua tenang, berjajar, “taat penuh” dan tidak akan pindah lagi menurut rencana mereka sendiri. Mereka menerima apa yang diberikan kepada mereka tanpa membantah, tanpa kata. Namun, saya yakin bahwa mereka mengucapkan “terima kasih” meski telinga ini tidak bisa mendengar ucapan itu.

Di masing-masing tempat (“kediaman”) mereka yang baru itu, ditancapkan / dipasang salib besar, sedangkan dulu ketika masih hidup, hanya salib kecil yang dipasang di rumah-rumah mereka. Itu artinya mereka dibela oleh salib dan lebih dari itu, mereka dibela dan dilindungi oleh Dia yang disalibkan, yaitu Yesus.  Kepercayaan itu sungguh mendasar, sehingga di kayu salib itu, ditulis nama mereka masing-masing. Di Salib itu, diserahkan segalanya, termasuk permohonan pengampunan dosa, sehingga semuanya yang ada padanya disucikan oleh salib dan oleh Dia yang pernah memberikan pengampunan kepada pendosa yang digantung pada kayu salib dan bertobat, sehingga bersama-sama Dia masuk ke dalam kerajaan surga.

Dalam suasana diam itu, pikiran dan perasaan saya mengajak saya untuk mengakui dan menyadari bahwa sesudah bapak itu, akan tiba giliran orang lain lagi yang pergi. Saat itu yang pergi adalah ayah (orangtua) dari rekan saya. Pada waktu yang akan datang, akan tiba giliran kepergian orangtua saya, dalam hal ini ibu saya.  Ibu saya hampir berusia 80 tahun. Artinya 80 tahun yang lalu, dia datang ke tengah-tengah keluarganya, salah satu di antaranya adalah saya. Pada suatu hari, saya dan kakak-adik saya, suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, siap atau tidak siap, harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kami.

Syukurlah kepada kami semua telah diwariskan ilmu, budi pekerti, ketrampilan, etiket dan etika dalam pergaulan yang semuanya itu merupakan bekal yang amat berharga. Juga kepada kami semua telah diwariskan iman dan Tuhan yang telah kami percayai sebagai Tuhan yang hadir, setia dan sungguh mencintai kami.  Kepada kami telah ditanamkan iman bahwa Tuhan yang hadir dan setia itu telah menyatakan diri-Nya dalam diri Yesus yang menyebut diri-Nya sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup.

Peristiwa itu menyadarkan saya untuk menyiapkan diri secara mental, kejiwaan, fisik dan rohani supaya dengan lebih rela menerima kenyataan ditinggalkan oleh orang yang amat berjasa dalam hidup saya.  Selain itu, peristiwa itu juga mendorong saya untuk rela “melepaskan” siapa saja yang tiba-tiba pergi, karena semua orang akan pergi untuk selamanya, dan “tidak ada seorang pun yang mampu mencegah kepergiannya. Para dokter, mantri kesehatan, perawat dan ahli pengobatan alternatif hanya bisa “menunda” tetapi tidak mampu melawan atau menghalangi kepergian seseorang dalam peristiwa kematian.

Maka benar, bahwa manusia betapa pun hebatnya, betapa pun kayanya,  dan berapa pun jumlah pembela dan kekuasaannya, dalam peristiwa yang satu ini tidak dapat diandalkan. Dalam iman yang saya miliki, yang telah ditanamkan oleh kedua orangtua saya, dan disuburkan oleh banyak saudara-saudari seiman, para imam dan para guru/dosen saya, saya Tuhan yang saya kenal melalui Yesus adalah Tuhan yang bisa diandalkan. Santa Faustina yang memperkenalkan devosi kerahiman ilahi, memberikan kata-kata yang bagus: “ Jesus, I trus in You”. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu berarti: “ Jesus, aku percaya pada-Mu”, dan lebih dikenal dengan ungkapan: “Jesus, Engkaulah andalanku”. 

Komentar

Postingan Populer