MUKJIZAT PINTU GEREJA DI STASI KUMBIS - MERAUKE
MUKJIZAT PINTU GEREJA
Siang itu saya dan rombongan tiba di Kumbis, sebuah stasi
yang jaraknya 1 jam dengan speed boat dari
pusat kecamatan Kimaam – Merauke. Setelah acara penyambutan selesai,
saya mendapatkan informasi bahwa pintu-pintu gereja yang terpasang dengan manis
itu, beberapa bulan sebelumnya hilang di laut. Pertanyaan “Bagaimana terjadinya peristiwa itu ?”,
bergejolak di batin saya. Maka, Sabtu sore menjelang pemberkatan gereja (28
November 2015) saya memanggil ketua
stasi (Yustus Ulukyanan) untuk bercerita tentang peristiwa itu.
Inilah ceritanya: 4 Pintu Gereja St. Piliphus Kumbis dipesan
di Merauke. Dengan kapal kayu, pada awal Februari 2015, 4 pintu diangkut menuju
ke Kumbis. Di selat Safan, karena angin kencang dan ombak besar, pintu yang
ditempatkan di atas atap kapal kayu dan ikat dengan tali rafia, bergoncangan.
Tali-tali pengikatnya putus dan akhirnya semua terlepar ke laut. Nahkota kapal dengan susah payah berusaha
mencari 4 pintu itu, namun tidak ditemukan karena semuanya tenggelam.
Umat Kumbis dalam rangka mencari dana untuk penyelesaian
gereja baru, bersama-sama mencari kepiting di sekitar pulau-pulau di sekitar
pemukiman mereka. Agar mudah mengumpulkan kepiting mereka membuat bivak (gubug)
di beberapa tempat. Sebuah bevak mereka
dirikan di tepi sungai Bai. Kepiting yang mereka kumpulkan dijual kepada
pedagang yang siap membelinya di bivak-bivak mereka. Dengan menggunakan kapal
kayu, para pedagang itu tiap-tiap kali membeli kepiting dari masyarakat Kumbis.
Sekitar 2 bulan kemudian, setelah kejadian hilangnya
pintu-pintu itu, 2 orang perempuan yang sedang mencari kepiting di muara sungai
Bai menemukan 2 pintu yang tergeletak di sana. Mereka gembira sekaligus
terkejut bahwa 2 pintu tergeletak di sana. Kedua pintu itu dalam keadaan utuh. Keduanya
tidak terikat oleh tali apa pun. Mama Bertila adalah orang pertama yang
menemukan kedua pintu itu. Kebetulan tidak jauh dari tempat itu ada mama Paskalina.
Keduanya setelah melihat pintu itu, mengabarkan kepada rekan-rekan lain yang
juga pada hari itu mencari kepiting. Pintu itu dalam keadaan bersih meskipun
ditemukan di daerah yang berlumpur.
Tidak lama setelah penemuan pertama, Fabianus Buer (23 tahun)
yang sedang mencari kepiting dan burung Pombo, menemukan 1 buah pintu yang
tergeletak di tepi sungai. Pintu tersebut ditemukan sekitar 200 meter dari
lokasi penemuan 2 pintu pertama. Pintu ini
pun meskipun sudah sekian lama terbawa ombak dan arus, tetap utuh dan mulus.
Kaca-kacanya tidak ada yang pecah.
Rombongan pencari kepiting membawa ketiga pintu itu ke
kampung Kumbis, dan menyerahkannya kepada bapak Yustus Ulukyanan (kepala tukang
/ ketua stasi Kumbis). Pintu-pintu itu dirawat baik-baik, dan dikeringkan agar
dapat dipasang pada waktunya. Dua pintu yang ditemukan pertama adalah pintu
untuk di samping, karena itu sudah bisa dipasang. Sedangkan pintu yang ketiga, adalah
pasangan dari pintu utama gereja karena tidak ada pasangannya, terpaksa belum
bisa dipasang. Sudah sekian bulan menunggu dan mencari, pintu yang hilang itu
tidak ditemukan. Mereka kemudian memesan 1 pintu di Merauke, sebagai ganti dari
pasangan pintu utama yang hilang itu. Meski sudah sekian lama dipesan, tokh
pintu itu tidak kunjung muncul juga.
Beberapa minggu kemudian, ada beberapa orang dari Kampung
Wamal ( 1 jam dengan speed-boat dari Kumbis) mengabarkan bahwa mereka menemukan
1 buah pintu. Dua hari kemudian, Yustus ditemani anak laki-lakinya dan seorang
yang lain, berusaha untuk ke tempat yang ditunjukkan orang Wamal. Pintu itu
tergeletak di pantai, dan tempat itu diberi tanda dengan kayu-kayu kecil dan
pelampung yang berwarna putih. Ketika mereka sampai ke tempat itu, pintu dan
pelampung sudah tidak ada di sana. Mereka hanya menemukan kayu-kayu kecil dan
bekas-bekas tergeletaknya pintu yang mereka cari.
Dengan sedih hati mereka pulang. Karena air laut sedang
surut, mereka tidak bisa pulang melewati sungai sebagaimana ketika mereka
berangkat menujun Wamal. Mereka mencari jalan lain. Ketika mereka baru saja
meninggalkan muara sungai, anak laki-laki Yustus melihat ada benda kuning dari
kejauhan. Mereka memperlambat laju speed-boat mereka dan memperhatikan benda
kuning itu yang letaknya agak miring. Ketika mereka dekati, ternyata benda itu
adalah pintu yang mereka cari. Lokasi ditemukannya pintu itu, tidak jauh dari
penemuan 3 pintu terdahulu. Mereka bertiga pulang dengan sukacita. Pintu yang
hilang telah mereka temukan kembali, dalam keadaan utuh dan mulus. Padahal
sejak hilang sampai ditemukan, jarak waktunya adalah 8 bulan. Menurut perhitungan
mereka, kayu yang terendam air selama sekian bulan pasti sudah berlumut,
berlumpur atau rusak.
Dalam iman, saya sampaikan kepada umat bahwa pintu gereja itu
memang dikehendaki Allah untuk dipasang di gereja Kumbis. Angin ombak dan arus
kencang, tidak membawa mereka ke laut lepas Arafura, atau ke Australi, namun
mengembalikannya ke Kumbis. Lumpur-lumpur yang ada di sekitar pula juga tidak “menangkap
dan menguburnya di dasar laut”. Tuhan turut campur tangan untuk mengantar
kembali pintu-pintu itu ke tempat yang sudah direncanakan umat. Bagaimana
mungkin 4 pintu itu, setelah hilang sekian bulan, dapat diketemukan kembali
dalam keadaan utuh ? bagaimana mungkin kaca-kacanya tidak pecah ? Bagaimana
mungkin kayu-kayunya tidak rusak atau dimakan “tambelong” (binatang laut yang
melobangi kayu-kayu) ? Tidak ada satu
pun yang bisa menjawab.
Ombak yang besar, angin yang tidak beraturan, arus yang
kencang, lumpur yang tebal, dapat saja menghancurkan keempat pintu itu. Ombak
besar yang bergulung-gulung dapat juga menghujamkan pintu-pintu itu ke lumpur. Namun
yang terjadi adalah “peristiwa yang luar biasa”. Pintu-pintu yang hilang di
laut sekian bulan itu, ditemukan kembali. Yang muncul adalah rasa kagum dan
syukur. Tuhan telah menyatakan “mukjizat-Nya” bagi masyarakat dan umat di sana.
Komentar