27 MARET 2015

PEMBACA YANG BUDIMAN

SAYA HATURKAN CERITA INI UNTUK ANDA. PERISTIWANYA TERJADI LEBIH DARI 1 BULAN YANG LALU........NAMUN PENGALAMAN ITU, TIDAK PERNAH HILANG DARI INGATAN SAYA.  SELAMAT MENEMUKAN BUTIR-BUTIR MUTIARA DI DALAMNYA.

Setelah sekian lama tidak naik sepeda motor (sm),  Jumat tanggal 27 Maret 2015, saya mengendarai sepeda motor Yamaha YT 110, dari Merauke menuju ke Okaba dalam rangka pelayanan paska. Hari itu cuaca cerah, dan jalan-jalan juga kering sehingga kelancaran  perjalanan cukup terjamin.  3 hari sebelumnya, hujan sudah berhenti.  Keadaan tidak hujan selama 3 hari itu, membuat ruas-ruas jalan yang berlobang dan becek, sebagian besar sudah kering, dan memudahkan untuk dilewati.  Hanya bagian-bagian yang cukup dalam itulah yang masih berair. Bagi mereka yang jarang melewati jalan dalam kondisi seperti itu, “terjebak dalam lobang yang berair” adalah hal yang biasa.

Kami berombongan. Saya memboncengkan Sr Joan, sedangkan fr Boys berboncengan dengan rekan lain, dan fr Fery mengendarai sm-nya sendiri. Barang-barang kami diangkut dengan sm yang lain oleh bapak Adri yang sudah biasa mengadakan perjalanan di daerah itu. Barang-barang itu dimasukkan ke dalam “karung belah” ( karung / tempat penampungan ini terbuat dari terpal tebal, yang pada jaman dulu dipakai oleh tukang pos, dan ditempatkan di belakang sepeda). Setelah 1 jam perjalanan, kami menyeberangi sungai Kumbe dengan bantuan perahu kayu yang cukup besar. Di wilayah kami, perahu itu disebut “be`lang”.  Biaya penyeberangan per  sm dan orangnya Rp 20.000 ,- . Kemudian kami singgah di pastoran Kumbe. Di sana, pastor Albert dan rekan-rekannya sedang mengerjakan urusan administratif.  Kami menikmati apa yang dihidangkan tuan rumah, dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali.

Perjalanan dari Kumbe menuju ke pinggir sungai Bian ( tempat penyeberangan ) memakan waktu kurang lebih 1 jam 30 menit.  Kami melewati jalan yang saat ini sudah cukup bagus, sampai di desa Domande. Dari Domande, kami menyusur pantai karena air laut sedang surut.  Kami melintasi pasir panjang di sepanjang pantai, dan karena tidak ada hambatan, perjalanan menjadi amat lancar. Pada umumnya masyarakat melewati pantai, ketimbang ikut jalan darat yang sering berlobang dan berlumpur pada musim hujan. Ketika sudah hampir sampai di tempat penyeberangan, kami melihat suatu pemandangan baru. 

Jalan yang mulus itu, dibelah oleh got besar. Air hujan yang besar jumlahnya dan tertampung di rawa, turun ke laut dan menggerus jalan dan bibir pantai.  Lebar got itu lebih dari 5 meter dan berlumpur, sehingga kami tidak mungkin melewatinya.  Syukurlah di sebelah got itu ada jembatan kecil yang memungkinkan kami menuju ke seberang. Jembatan itu adalah  jembatan darurat yang dibuat dari kayu oleh 1 keluarga. Maka, setiap sm yang lewat dimintai pembayaran Rp 10.000 ,-.  Kami melewati jembatan itu kemudian hendak menuju ke warung makan. Maklum waktu saat itu sudah menunjukkan jam 12.30. Kami sudah merasa lapar.

Warung makan sudah dekat, dan kami harus melewati got kecil yang tidak terlalu dalam airnya. Ketika sudah dekat bibir got, saya membuat ancang-ancang supaya sm dapat melewatinya dengan aman. Ban depan sepeda motor saya sudah berhasil naik ke bibir got yang di seberang, tetapi ban belakang ternyata terjebak di lumpur yang agak dalam. Di tempat itu tidak ada tanah yang tinggi untuk tumpuan. Akibatnya sm miring di atas air. Maklum sr Joan masih tetap duduk di boncengan sehingga ban belakang sulit terangkat. Syukurlah kami tidak jatuh....hanya miring di atas air, dan tidak ada kerusakan apa-apa, namun celana panjang kami basah  dan kena lumpur sampai sebatas lutut.

Tibalah kami di warung makan. Ternyata makanan sudah habis. Si empunya warung mengatakan kami harus menunggu 1 jam lagi, bila mau makan. Di warung makan yang kedua pun, makanan sudah habis. Maka, kami membeli minuman beberapa botol aqua. Daripada menunggu terlalu lama, akhirnya kami ambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan, meskipun belum makan siang. 

Di dekat warung makan itulah, terletak tempat penyeberangan.  Wilayah ini milik masyarakat Domande. Kami harus menyeberang melewati sungai besar: sungai Bian dengan menggunakan “belang”. Biaya penyeberangan itu per sm Rp. 125.000 ,-. Belang mampu memuat 5 – 7, namun para pemilik belang sudah sepakat, setiap kali menyeberang mereka hanya mengangkut 5 sm, kecuali penumpang itu berombongan atau hari udah malam, belang mau mengangkut hingga 7 sm.  Hal ini demi keselamatan penumpang.  Karena kami ingin segera sampai ke tempat tujuan, kami mencarter belang itu, dan membayar Rp 625.000 sesuai dengan biaya 1 kali penyeberangan. Lama penyeberangan kira-kira 30 – 40 menit, tergantung saat itu arus air sungai kencang atau tidak. Bila arus kencang, perjalanan menjadi lebih lama.

Tibalah kami di seberang sungai Bian. Wilayah ini milik masyarakat Sanggase. Di tempat ini ada bangunan-bangunan dari papan yang dibiayai Pemerintah sebagai tempat berteduh bagi para penumpang yang menunggu datangnya belang. Amat sering para penumpang harus menunggu belang sampai 4 – 5 jam. Belang umumnya milik masyarakat Domande, sehingga penumpang yang dari Sanggase, harus menunggu belang yang datang dari arah Domande. Padahal di tempat ini tidak ada warung makan atau warung kelontong. Maka, mereka yang akan menyeberang bila tidak membawa bekal, harus menahan lapar. Barulah ketika tiba di tepi sungai Bian bagian Domande, mereka bisa membeli makanan dan keperluan lainnya ( rokok, bensin, solar, olie, supermie dll ).

Kami melanjutkan perjalanan dengan santai. Para frater dan suster belum pernah melewati jalan itu, hanya saya sendiri yang sudah beberapa kali melewatinya. Beberapa ruas jalan tampak kering. Rumput di sepanjang jalan juga subur, sehingga di beberapa tempat rumput-rumput yang cukup tinggi menutup jalan.  Kampung pertama yang hendak dituju setelah menyeberang sungai Bian adalah Sanggase. Ada 5 jembatan agak besar yang harus kami lewati,  dan semua berjalan lancar. Ketika kami memasuki daerah yang becek-becek, kami harus extra hati-hati. Maklum saya sudah lama tidak melewati jalan itu, sehingga tidak tahu kondisinya.

Suster terpaksa harus turun dari sm, ketika melewati jalan yang amat jelek. Lebih baik turun dan aman-aman dari terpeleset dan jatuh di lobang berlumpur.  Kendaraan tidak bisa melaju dengan cepat, hanya 5 – 10 km per jam. Di salah satu ruas jalan yang berlobang-lobang, saya melihat lobang-lobang itu sudah ditimbun dengan rumput. Saya pikir lobangnya juga tidak terlalu dalam. Ternyata ketika saya lewati, lobang yang penuh air dan rumput itu cukup dalam. Mesin sm mati, dan tidak ada tumpuan, sehingga sm miring dan kami hampir jatuh. Syukurlah kaki kanan saya cukup panjang dan berhasil menginjak dasar lobang sedalam 20 cm, sehingga amanlah kami dan sm kami.

Motor tidak mengalami gangguan atau kerusakan apa pun, sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Sm frater masuk di lobang yang berair. Mereka tidak jatuh, namun sm tiba-tiba mogok. Mereka men-stater sm tetapi mesin tidak mau hidup. Kemudian mereka mendorong-dorong sm, tetapi mesin tetap tidak mau hidup. Mereka sudah capek dan terengah-engah. Ketika melihat situasi itu, saya mengusulkan ban depan dinaikkan dulu supaya air di dalam knalpot keluar. Kami bersama-sama mengangkat ban depan. Ternyata tidak ada air yang mengalir dari lobang knalpot. Kemudian, busi sm dicopot. Saya menyuruh frater untuk mencopotnya. Dia agak bingung mencari letak busi. Busi berhasil dicopot dan kemudian dibersihkan dan dikeringkan. Dia kemudian memasang kembali busi itu. Telah beberapa menit dia mencoba memasang, namun tidak berhasil.  Apa yang terjadi ?  Dia memasang busi dengan posisi terbalik. Bagian yang ada drat-nya dia pegang, sedangkan bagian lain yang dia masukkan. Ketika menyadari kekeliruannya, kami semua tertawa...... dia mengakui bahwa itulah pengalaman pertama baginya untuk memegang dan mengenal serta memasang busi.

Setelah melewati jalan-jalan yang sulit, akhirnya tibalah kami di desa Sanggase. Perjalanan yang baru saja dilewati meski hanya sekitar 5 kilometer, ternyata memakan waktu 1 jam. Tangan udah mulai capek dan pegal, maklum sudah sekian jam menggenggam pegangan stang stir sm. Panas terik matahari hari itu amat menyengat bagi kami yang biasanya bekerja di dalam ruangan, sehingga membuat rasa haus sungguh amat terasa.  Sementara itu persediaan air minum kami sudah habis. Kami mencari warung / kios, tetapi tidak ada.

Syukurlah jalanan agak bagus, meski aspalnya sudah terkelupas, namun keras dan kering sehingga amat mudah untuk dilewati. Kami memasuki desa Alatep. Beberapa ratus meter kemudian, kami menemukan 1 kios kecil yang menjual air minum. Air minum dalam kemasan merek apa saja di tempat ini dijual dengan harga sama, rp 10.000,-  Kami membeli 2 botol aqua yang masih ada, dan 3 teh botol. Rasa haus sudah terobati, dan kami melanjutkan lagi ke arah Okaba. Jarak desa Okaba dari tempat ini masih kira-kira 7 – 8 km.

Kami melewati perkampungan kecil yang bernama Kolam. Di sini sekian puluh tahun yang silam para bruder MSC melatih penduduk lokal untuk membuat kopra. Rumah penjaga / mandor kopra yang dibangun pada masa itu masih kokoh berdiri, dan bisa dikatakan terawat dan dihuni oleh penduduk setempat. Ketika para bruder berhenti berkarya di sana, pekerjaan itu diserahkan kepada pengusaha besar yang bernama Bpk Vankan. Beliau meninggal tahun 2006 di Belanda dalam kecelakaan lalu lintas. Sejak saat itu kegiatan membuat kopra dalam jumlah besar berhenti. Produksi kopra hanya kecil-kecilan dan dikerjakan oleh masyarakat setempat. Harga per kg kopra yang sudah kering Rp. 2.000,-.

Memang harga per kgnya terlalu murah, sehingga masyarakat enggan untuk membuat kopra. Mereka lebih suka menjual kepala utuh, karena bila dihitung-hitung mereka akan mendapat uang lebih banyak. Per buah harganya Rp. 500,-  sedangkan per kg kopra harganya Rp. 2000,- padahal mereka harus memecah batok kelapa, mencungkilnya, menjemurnya, dan untuk per kg dibutuhkan 5 buah kelapa. Kalau menjual kelapa kering, mereka tinggal memetik dan menjualnya secara langsung kepada penadah serta langsung bisa mendapatkan uang. Kerjanya sedikit dan dapat uang lebih cepat.
Kami menyusur jalan-jalan berpasir kira-kira setengah jam. Di depan kami sudah kelihatan rumah-rumah dan tiang-tiang listrik. Ini menandakan bahwa kami sudah memasuki desa Okaba. Tidak lama kemudian kami melewati jalan-jalan yang sudah beraspal. Akhirnya kami tiba di pastoran dengan selamat. Capek, panas dan haus menjadi satu, namun semua yang fisik itu seakan tidak terasa ketika kami bertemu dengan Fr. Yulius yang bertugas di paroki itu seorang diri, karena pastor parokinya belum kembali dari perjalanan panjang (pulang kampung).

Hari itu adalah hari J umat, pada masa puasa. Kami persembahkan perjalanan dan kelelahan kami, kehausan dan rasa lapar kami bersama “saudara-saudari seiman” yang sedang menjalani  puasa dan pantang dalam rangka menyambut Paska. 

Komentar

Postingan Populer