PERJALANAN SEHARI DI PORTSITE
PEMBACA YANG BUDIMAN....
Setelah lama absen, saya hadir untuk menjumpai anda dengan cerita berikut ini. Selamat menikmati isinya:
Sabtu, 14 Februari 2015 saya di Timika. Banyak orang
merayakannya sebagai hari Valentin dengan pelbagai cara. Perayaan ini belum
lama dikenal di Indonesia, khususnya oleh orang-orang biasa. Namun sudah banyak
orang yang kirim sms atau bbm untuk menyatakan rasa simpati, persaudaraan,
persahabatan.....pada “hari kasih sayang itu”.
Bagi saya, yang paling penting adalah suasana damai. Dan yang lebih
penting lagi dalam suasana itu, ada sesuatu yang bisa dinikmati....misalnya,
pisang goreng, jagung manis bakar, kolak, dan ada minuman kelapa muda, atau jus
jambu dll.
Saya tidak merayakan Valentin, karena memang sedang berada di
tempat lain, dan suasananya biasa-biasa saja sebagai suatu perayaan. Tidak ada
lampu hias, atau lagu-lagu gembira atau romantis, atau apa saja yang lain. Saya
sedang jalan-jalan di pelabuhan Portsite, pelabuhan milik PT Freeport Indonesia.
Letak pelabuhan ini di Timika – Papua. Untuk memasuki area ini, harus ada ijin
khusus, memakai kendaraan khusus, dan ada tanda pengenal khusus.
Ijin sudah diurus lebih dahulu, karena itu kami diperbolehkan
memasuki area itu. Kami dijemput oleh staf perusahaan, menumpang mobil milik
perusahaan, dan ketika hendak memasuki pintu gerbang, “KTP khusus yang bergaris-garis
kode” di-scan / dikontrol dan dimonitor. Dengan demikian, selama memasuki arena
itu, kami semua ada dalam monitor. Gerak-gerik kami tentu dikontrol oleh kamera
atau alat apa saja yang tidak kelihatan oleh mata kami, untuk menjamin keamaan
semua milik / aset perusahaan. Laju
kendaraan pun dikontrol, maximum hanya 60 km per jam. Betapa ketatnya sistem “pengamanan”
yang diterapkan.
Perjalanan ke pelabuhan Portsite memakan waktu 45 menit,
dengan jarak tempuh kira-kira 25 km. Jalanan rata dan bagus, meski tidak diaspal.
Jalan utama itu adalah timbunan pasir dan batu yang telah diratakan, sampai
sungguh padat, sehingga menyerupai jalan yang beraspal. Untuk mengurangi debu
pada musim panas, ada mobil-mobil tangki yang menyemprotkan air secara berkala.
Di sepanjang jalan, ada 1 pipa baru berukuran 4 inchi. Pipa itu dipergunakan
untuk menyalurkan “pasir tambang” dari Tembaga Pura ke pelabuhan. Pipa-pipa
yang lain telah dikubur di dalam tanah, sehingga tidak kelihatan dari permukaan
tanah. Melalui pipa-pipa itulah ribuan kubik pasir tambang disalurkan ke
gudang-gudang besar di pelabuhan Portsite.
Di pelabuhan Portsite, saya melihat puluhan mobil merek Ford,
truk dan kendaraan lainnya milik perusahaan. Ada begitu banyak kapal, tongkang,
alat berat, speed-boat, gudang cadangan minyak, dan pembangkit listrik tenaga
batu-bara yang berkekuatan ribuan mega watt. Listrik yang besar sekali
kekuatannya itu dialirkan ke pusat penambangan PT Freeport di Tembaga pura yang
jaraknya puluhan km dari Port-site. Ada banyak juga karyawan perusahaan di
sana. Kapal angkutan para karyawan setiap 30 menit, pergi pulang untuk
mengantar karyawan atau mengangkut barang.
Dengan melihat apa yang ada di hadapan saya, yaitu sebuah
karya / pekerjaan sungguh besar, secara sederhana saya dapat mengatakan bahwa
biaya operasional per hari pasti lebih dari Rp 5 M. Biaya per bulan lebih dari Rp 150 M. Biaya
per tahun lebih dari Rp 1 Trilyun. Ini baru yang ada di pelabuhan. Bila melihat
lebih jauh kegiatan penambangan di Tembagapura, tentu bisa dibayangkan, berapa
trilyun biaya operasional yang dibutuhkan setiap tahunnya. Biayanya kalau
dihitung sungguh-sungguh tentu angkanya luar biasa besar. Saya sebut saja angka,
misalnya Rp. 20 trilyun.
Tidak ada perusahaan di belahan dunia manapun yang dengan sengaja
mau rugi. Bila mereka mengeluarkan biaya operasional Rp. 20 T per tahun, berapa
kira-kira pendapatan mereka ? Mereka bekerja keras untuk mendapatkan keuntungan
yang besar pula. Mereka telah berinvestasi dengan angka yang amat besar pula. Maka,
mereka tentu sudah memperhitungkan biaya investasi yang amat besar itu, dalam
jangka waktu sekian tahun harus kembali. Tidak ada orang yang tahu, berapa
besar modal yang telah mereka tanamkan di sana. Saya juga tidak bisa menyebut
angka, karena saya tidak punya data. Namun, saya berpendapat uang yang
diinvestakan di sana lebih dari Rp 300 T.
Apa yang hendak saya katakan di sini? Melalui penyebutan angka-angka yang sederhana
itu pun – meski bukan angka yang sesungguhnya - telah terpampang bahwa dana
yang dibutuhkan untuk investasi dan operasional sungguh luar biasa besar ( Rp.
300 T ????). Kalau biaya yang dibutuhkan demikian besar, itu berarti Sumber
Daya Alam di Tembagapura sungguh amat besar. Sudah lebih dari 25 tahun, tambang
di sana diambil, namun hingga saat ini belum habis. Sungguh luar biasa kekayaan
alam yang ada di sana.
Tidak ada orang yang bisa menciptakan / membuat tambang yang
begitu besar di mana pun. Dari data sejarah, belum pernah saya mendengar bahwa
ada orang yang membuat tambang. Yang ada adalah manusia menemukan tambang:
emas, perak, loga mulia lainnya, batu bara, uranium dan minyak. Manusia hanya
bisa mengambil / mengelola, dan menghabiskan tetapi tidak bisa menciptakan atau
memulihkan seperti aslinya. Untuk memulihkan kembali alam dan kondisinya yang
sudah rusak, diperlukan waktu puluhan hingga ratusan tahun.
Kekayaan alam yang demikian besar itu, (tambang emas yang
terbesar di dunia ???) ternyata belum / tidak membawa kemakmuran bagi para pemilik
tanah, masyarakat yang ada di sekitarnya, apalagi bagi penduduk yang mendiami
pulau Papua yang kaya akan tambang ini. Kekayaan itu mengalir keluar dalam
bentuk “jutaan kubik pasir tambang” dan bentuk-bentuk lain yang sulit diukur
dengan angka. Seandainya, semuanya bisa dihitung dengan angka......dan seandainya
kekayaan itu dibagi secara adil, dan dipergunakan untuk membangun manusia di
tanah ini, betapa banyak orang-orang hebat yang muncul di wilayah ini.
Saya teringat kutipan
kitab suci dalam buku Kejadian 1: 27 – 31 yang berbunyi:
1:27 Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka. 1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi." 1:29 Berfirmanlah Allah: "Lihatlah,
Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan
segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. 1:30
Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala
yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau
menjadi makanannya." Dan jadilah demikian. 1:31 Maka Allah melihat segala
yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”.
Tuhan memberikan bumi ini dan seluruh isinya kepada manusia
untuk “ditaklukkan” dalam arti diatur, dikelola, dipelihara dan dilestarikan, sehingga
anak cucu dapat hidup dalam damai sejahtera untuk selama-lamanya. Perintah “ditaklukkan”
tidak sama dengan perintah untuk menghancurkan, menghilangkan atau merusak. Namun,
tindakan pengerusakan atau penghilangan nyawa manusia, hewan, tumbuhan atau
makhluk hidup lainnya sering dilakukan manusia karena “superioritas,
kesombongan, ketamakan, dan aneka sikap / watak / perilaku yang tidak sesuai
dengan “nilai-nilai kehidupan yang ditanam Allah dalam hati nurani manusia”.
Terlebih ketika manusia mendewakan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dilandasi oleh hukum dan kepentingan ekonomis, sikap hedonis dan
konsumeristis, apatis dan egoistis, yang terjadi adalah “pelanggaran terhadap
hak-hak azasi manusia”. Manusia
(terlebih manusia yang hidup di kampung-kampung, di pedalaman, dan mereka yang
tidak mampu mengikuti perubahan besar-besar yang terjadi ) sungguh-sungguh
tidak berarti. Mereka menjadi korban kemajuan ilmu, teknologi dan hasil
industru. Padahal, bila ditelusur dengan tenang dan bijaksana, dan dengan
bersandar pada hati nurani, semua hasil industri, kemajuan ilmu dan teknologi dirancang oleh para ahli untuk
memajukan manusia dan kehidupannya.
Ketika kembali dari Portsite, batin ini bertanya-tanya: kapan
kekayaan yang begitu dahsyat itu, memakmurkan manusia yang mendiami tanah ini ?
Tidak ada orang yang bisa memberikan
jawabannya. Namun, kalau semua pihak mau, dan mau membagi kekayaan bumi ini secara
adil, kemakmuran itu bukan hal yang mustahil.
Komentar