BUPUL 10

Bupul adalah nama sebuah desa. Jaraknya kira-kira 180 km dari kota Merauke. Saat ini jalanan cukup bagus dan kering, sehingga jarak 180 km itu dapat dijangkau dengan mobil atau sepeda motor dalam waktu 3 jam. Sedangkan pada musim hujan, jarak tempuh menjadi lebih lama. Beberapa tahun yang lalu bahkan, para penumpang terpaksa harus bermalam di perjalanan, karena jalananan berlumpur dan banyak truk / kendaraan besar yang terjebak di lumpur dan tidak bisa keluar.

Di Bupul ada sebuah paroki.  Nama paroki di sana adalah St. Petrus dan Paulus. Paroki ini melayani umat yang tersebar di 12 stasi. Jumlah penduduk kira-kira 10.000 orang, dan yang terbanyak adalah para transmigran dari Jawa dan Flores pada tahun 1980-an. Penduduk yang beragama katolik, sekitar 3.900 jiwa. Mereka hidup dalam suasana damai, rukun dan sering bekerja sama dengan saudara-saudara non kristen, untuk menciptakan kehidupan yang makin sejahtera.

30 tahun yang lalu, Bupul menjadi salah satu tujuan dari transmigran yang berasal dari Jawa dan Flores. Jalan raya trans-Papua yang sebagian telah beraspal memang melewati desa  Bupul, namun untuk ke wilayah-wilayah transmigran, jalan-jalan masih berupa jalan tanah yang dipadatkan. Para transmigran perlu waktu 1 minggu untuk sampai di pemukiman mereka yang baru. Di Jalan-jalan yang masih berlumpur, terpaksa mereka bermalam karena kendaraan mereka tidak bisa bergerak lagi akibat terjebak di lumpur yang cukup dalam. Dengan bantuan alat-alat berat, truk-truk mereka bisa ditarik keluar dan meneruskan perjalanan.

Di tempat yang baru itu, setiap kepala keluarga mendapatkan 2 hektar tanah, dengan perincian sbb: ¼ hektar tanah untuk rumah dan pekaranga, ¾ hektar sawah dan 1 hektar lahan perkebunan. Pemerintah pusat dan daerah memberikan kepada mereka jaminan hidup selama 2 tahun. Sesudah kurun waktu itu, mereka dianggap sudah bisa berdikari, dan bantuan dari pemerintah dihentikan. Mereka yang ulet dan tahan bantingan memang hingga kini masih di tempat pemukiman itu, sedangkan mereka yang tidak kerasan, beberapa waktu kemudian pulang ke kampung halaman. Semua harta yang diberikan pemerintah dijual dengan harga murah, yang penting mereka bisa pulang kampung.

Ternyata ada pula yang berubah pikiran dan tidak pulang kampung. Mereka memilih tinggal di Merauke dan kerja serabutan. Ada yang jadi kuli bangunan, atau jadi tukang, ada yang jadi sopir angkot, ada pula yang kerja di pelabuhan.  Sesudah sekian tahun, kehidupan mereka tokh lumayan. Yang tetap tinggal di daerah transmigran banyak yang sudah punya rumah yang bagus, dapat menyekolahkan anak-anak mereka, bahkan mempunyai tabungan. Sedangkan mereka yang bekerja di kota Merauke pun, banyak yang menjadi orang-orang yang berkecukupan.

Jalan-jalan di Bupul 10 sekarang sudah bagus dan diratakan kembali pada musim panas. Ternyata di pemukiman itu, ada juga pemukiman-pemukiman para transmigran yang besar jumlahnya. Di bupul 6, 7, 9, 11, 12 dan 13 terdapat sejumlah besar transmigran dari Jawa dan NTT.  Mereka yang tetap bertahan di sana, kehidupannya sudah jauh lebih baik. Di sana mereka menanam rambutan, durian, jeruk, pete dll, juga tanaman jenis palawija. Saat ini, bisa dikatakan bahwa mereka tidak akan pernah kelaparan lagi.

Tansportasi yang makin baik, listrik yang sudah masuk dan fasilitas pendukung kehidupan (insfrastruktur, puskesmas, sekolah, pos-pos keamanan) telah lebih maju. Juga bantuan-bantuan dana dari pemerintah tetap diberikan kepada mereka. Memang ketika musim hujan, jalan yang masih berupa tanah liat itu berubah menjadi lumpur. Dalam situasi seperti ini, kehidupan memang agak sulit, namun karena mereka telah terbiasa menghadapi situasi tahunan yang demikian ini, tokh mereka tetap bertahan di sana.

Kehidupan bersama, dan kerukunan beragama terjamiin. Mereka mendirikan rumah ibadat yang saling berdekatan. Fakta ini ternyata malah membuat kerja sama, saling menjaga keamanan, saling menunjungi dan bertoleransi sungguh terjadi.  Mereka yang hidup di desa-desa malah “lebih menghayati dan mengembangkan makna kebersamaan bukan hanya dalam tataran makan minum, tetapi juga dalam tataran rohani dan mental.
Ketika di Bupul 10 ada pemberkatan gereja baru, saudara-saudari yang beragama non katolik pun hadir. Kami semua makan bersama dari meja hidangan yang sama.  Ada banyak warga non katolik yang terlibat dalam membangun gereja, membersihkan halaman rumah mereka masing-masing, menjemput uskup, menyiapkan hidangan, hiasan janur, dan menjaga keamanan selama ibadah berlangsung.

Di tempat itu, amat nyata bahwa berkat dan karunia yang diterima oleh umat katolik, ternyata bukan hanya untuk mereka. Semua warga Bupul 10 juga mengalaminya. Tuhan yang Esa, yang dihormati dengan cara yang berbeda menurut ajaran agama masing-masing, adalah Tuhan yang mempersatukan dan mencintai anak-anak-Nya. 

Komentar

Postingan Populer