JASMANI


PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN

SYALOOM..

Rasanya sudah cukup lama saya tidak mengunjungi anda via blog ini. Mohon maaf bahwa hal ini dan keterlambatan saya mungkin mengecewakan anda. Kini, saya hadirkan untuk anda cerita pertama saya pada bulan ini. Semoga yang saya suguhkan ini, mengobati kerinduan anda. Silakan membaca isinya.

 

Jasmani adalah nama seorang laki-laki yang baru beberapa jam lalu saya kenal. Tinggi badannya kira-kira 160  cm, berkulit sawo matang. Secara fisik, dia kelihatan agak kurus, tetapi gesit dan rajin kerja. Sehari-harian pekerjaannya adalah menjual sayur dan bahan-bahan keperluan dapur.  Dia keliling dari satu rumah ke rumah yang lain melalui gang-gang yang ada di kompleks perumahan. Maklum, para penghuni perumahan, sering kali enggan pergi ke pasar atau ke supermarket, sehingga Jasmani (sering dipanggil pak Jas) menjadi langganan mereka.

Menurut pengakuannya, dia mulai menekuni pekerjaan sebagai penjual sayur sejak tahun 1995. Itu berarti sejak tahun itu hingga saat ini, pak Jas telah 18 tahun bekerja sebagai penjual sayur di kompleks itu. Saat itu, penghuni perumahan itu baru 5 keluarga. Bagian lain masih berupa tanah kosong, yang ditumbuhi rumput-rumput dan tanaman-tanaman perdu. Beberapa tahun kemudian, seiring dengan pertambahan penduduk kota Semarang, perumahan itu pun laku keras. Hampir semua sudutnya telah padat dengan perumahan.

Seiring dengan bertambahnya penghuni di perumahan itu, kini pelanggan pak Jas kini sudah ratusan keluarga. Memang tidak semua keluarga / penghuni itu berbelanja harian kepadanya, tetapi setiap hari rejeki yang diterimanya lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Apa yang dipesan oleh para pelanggan, itulah juga yang dia usahakan, sehingga para pelanggan itu tetap berlangganan sayur dan kebutuhan dapur kepadanya.

Sejak tahun 1980-an, pak  Jasmani adalah sopir bis antar kota. Istri dan anak-anaknya tinggal di Semarang, sedangkan dia, karena pekerjaannya itu harus tinggal di kota lain. Selain  berpisah dengan orang-orang yang dikasihinya, dia juga harus kos / menyewa kamar. Bagi dia uang sewa Rp. 300.000 sebulan, plus biaya makan sehari-hari sebenarnya cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun uang itu dia pergunakan untuk keperluan hidup sehari-hari, sedangkan istri dan anaknya harus juga dia hidupi.  Demi anak dan istrinya itulah, dia mempertimbangkan “apakah pekerjaan yang telah lama ditekuninya itu akan dia tinggalkan, dan beralih ke pekerjaan lain ?”.  Itulah pertanyaan yang terus-menerus menghantui dirinya.

Dalam keadaan santai, sambil duduk di bawah jualannya, dia bercerita: “ Ketika sedang istirahat, saya memperhatikan laju kendaraan dan bis-bis yang lalu lalang di depan matanya. Saya mengamati laju kendaraan itu begitu kencang, dan bisa membahayakan orang lain. Saya sendiri diliputi ketakutan dan kecemasan, ketika melihat kejadian-kejadian itu. Koq berani-beraninya mereka menyalib (mendahului) kendaraan lain dengan memotong jalan kendaraan dan menyusup masuk di antara mobil-mobil itu. Saya tidak habis pikir pada perilaku sopir-sopir itu.  Namun, ketika saya sendiri yang nyopir, saya tidak  takut melakukan hal yang sama. Mobil-mobil lain saya susul dan saya dahului. Saya hanya  takut kepada bis / truk yang datang dari arah yang berlawanan. Kendaraan-kendaraan kecil, tidak saya anggap”.

Selain itu, sebagai sopir saya harus selalu siap menghadapi resiko. Kendaraan yang saya sopiri itu besar. Saya sopir  bis. Karena itu resiko nyerempet, atau senggolan atau apa pun juga besar. Resiko-resiko seperti itu, setiap hari itu pasti ada. Saya harus juga siap mengganti kerugian itu. Saya bertambah tua, dan kalau nanti ada resiko besar, istri dan anak saya mau makan apa.  Sejak saat itu, saya mulai berpikir untuk berhenti bekerja sebagai sopir bis.

Beberapa tahun yang lalu saya jadi sopir angkot di Semarang. Kebut-kebutan untuk mencari penumpang, dan berhenti di sembarang tempat, bagi saya itu biasa. Saya perlu penumpang. Maka, kalau penumpang itu ada di dekat perempatan jalan, walaupun ada tanda larangan, saya berhenti juga. Waktu itu, hasilnya memang lumayan. Sekarang ini, jumlah angkot makin banyak. Juga banyak orang sudah punya sepeda motor. Karena itu, jumlah penumpang berkurang. Uang setoran pun kadang-kadang tidak dapat.

Perang mulut dengan sesama sopir, dengan juragan mobil karena saya tidak bisa setor pun sering terjadi.  Juga kalau sedang sial, menyerempat kendaraan lain, mobil angkot itu saya biarkan saja. Ketika ditegur yang punya, saya jawab saja, saya belum punya uang. Saya katakan kepada dia: “Kalau boss mau memukul saya, silakan pukul saja, tetapi ingat di belakang saya ada banyak pasukan yang siap untuk memukul boss”. Akibatnya boss juga diam saja.

Hidup sebagai sopir angkot pun belum membuat saya tenang. Jalanan yang makin ramai, membuat resiko kecelakaan / gesekan makin besar. Dapat uangnya tidak seberapa, tetapi batin ini tidak damai. Saya ingat, ketika mencari penumpang, sering yang naik mobil saya itu, bakul-bakul sayur. Mereka kemudian turun di tempat-tempat tertentu, lalu jalan kaki untu menjajakan sayur mereka. Saya terinspirasi oleh para pedagang sayur itu. Modalnya tidak besar, dan resiko yang mereka hadapi juga tidak besar.  Sambil mencari penumpang, saya memperhatikan dan mempelajari bagaimana kehidupan pedagang sayur itu. Ketika sudah mantap, saya putuskan saya berhenti nyopir dan saya memulai berdagang sayur.

Biarpun begini setiap hari, tetapi batin saya tenang. Saya sekarang sudah bisa punya sepeda motor sendiri, jam 10 atau jam 11 siang sayuran saya sudah habis, dan saya punya banyak waktu untuk istri dan anak-anak saya.   Banyak orang yang menjadi langganan saya sudah puluhan tahun, sejak saya memulai menjual sayur tahun 1995.  Saya “kulakan” ( membeli) sayur di pasar induk pagi-pagi sekali, lalu mulai keliling dari rumah ke rumah  di kompleks perumahan ini. Kalau lagi ramai pembeli, saya dapat rejeki lumayan, tetapi kalau lagi sepi, cukuplah rejeki untuk hari itu. Saya tidak pernah menderita rugi. Sayur-sayur yang masih ada, saya bawa pulang ke rumah untuk makan di rumah.

Jasmani tidak pernah secara langsung menyebut nama Tuhan. Namun keberaniannya untuk “memutus” masa lalu yang penuh resiko di jalanan, menghentikan cara hidup lama yang penuh dengan persaingan dan rebutan rejeki, dan menjauhkan diri dari “tindak kekerasan” demi istri dan anak-anak, merupakan suatu bentuk pertobatan. Tekadnya untuk mengubah situasi hidup yang menuntut dia untuk “berjuang sendiri dan jauh dari istri dan anak-anaknya” menjadi hidup dalam suasana kekeluargaan, dari situasi hidup yang penuh dengan konflik batin kepada hidup yang lebih damai, merupakan tindakan pemurnian diri.

Dia rela keluar situasi “single fighter” , menuju kepada kehidupan yang lebih meneteramkan bersama dengan anak dan istrinya. Di sini, dapat pula dikatakan bahwa pak Jasmani telah menghidupi sabda Yesus ini: “Barang siapa menyelamatkan nyawanya, dia akan kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa kehilangan nyawanya (kepentingannya, kesenangannya, kejagoannya di jalanan dll) akan menyelamatkan nyawanya, keluarganya dan masa  depannya”.  Meskipun hanya berdagang sayur, pak Jasmani telah mendapatkan apa yang dirindukannya. Hidupnya aman, damai dan membahagiakan. Dia mengalami berkat Tuhan dalam kehidupannya yang sederhana itu. 

Komentar

Postingan Populer