KESULITAN MASYARAKAT ( BAGIAN IV)
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
INILAH BAGIAN KEEMPAT DARI TULISAN SAYA........
IV. KESULITAN MASYARAKAT
INILAH BAGIAN KEEMPAT DARI TULISAN SAYA........
IV. KESULITAN MASYARAKAT
Kesulitan dan kegembiraan yang dialami oleh masyarakat adalah kesulitan dan kegembiraan umat Allah di Keuskupan Agung Merauke (bdk GS no:1). Sejak 1902 hingga sekarang ini, keuskupan memberikan perhatian besar bagi pengembangan umat Allah di sana, baik yang asli maupun yang datang ke wilayah ini. Bersama dengan para guru, ketekis, para biarawan-wati dan mereka yang berkehendak baik dijalin kerja sama dan komunikasi dalam rangka pembangunan manusia dan perutusan karya keselamatan Kristus (Bdk.LG. no:1). Deklarasi tentang Pendidikan Kristen menegaskan:”Semua manusia, dari bangsa, lapisan dan usia mamapun, memiliki martabat pribadi, karena itu mempunyai hak yagn tak terggat atas pendidikan yang sesuai dengan tujuan dan bakat masing-masing (GE no:1), namun di lapangan, inilah protret kesulitan-kesulitan yang dialami umat dan masyarakat di wilayah KAME pada khususnya, di Papua pada umumnya:
Bidang Pendidikan
Pendidikan formal dalam 20 tahun terakhir ini, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi, amat merosot mutunya. Hal ini disebabkan karena oleh banyak faktor. Pertama di pihak guru, ada kekurangan guru yang amat besar jumlahnya, penyebaran tenaga guru yang tidak merasa (lebih suka tinggal di kota), guru tidak mengajar (meski ada di desa itu), tidak ada perumahan guru, guru hanya sendirian; 2) pihak orangtua, anak sekolah sering dibawa orangtua ke hutan untuk waktu yang lama, anak-anak tidak sarapan, tidak punya alat tulis, tidak ada lampu pada sore / malam hari, orangtua banyak yang buta huruf sehingga tidak bisa memberikan bimbingan belajar; 3) dari pihak lembaga, tidak ada kontrol, pembinaan dan penyegaran bagi para guru, gaji dibayar via bank sehingga meski tidak mengajar, guru tetap bisa mengambil gaji, anak-anak wajib belajar selama 12 tahun dan wajib lulus, tanpa memeriksa hari efektif belajar mengajar di sekolah.
Situasi seperti ini amat mengecewakan masyarakat. Mereka yang terlibat dalam bidang pendidikan (kepala kampung, kepala distrik / camat, generasi muda yang telah lulus SMA atau perguruan tinggi), melihat bahwa telah terjadi pembiaran atas kemerosotan di pendidikan bagi masyarakat Papua. Pemerintah sengaja membiarkan hal ini, agar masyarakat lokal tetap bodoh sehingga kekayaan alam di tanah ini diambil dengan mudah. Dengan dalih bahwa masyarakat lokal adalah orang-orang yang bodoh, tidak terampil, malas, tidak bisa kerja sama dll, pemerintah dan para investor mengambil orang-orang dari luar. Akibatnya masyarakat lokal makin tertinggal dan tidak berdaya.
Banyak dari mereka yang menjadi pegawai rendahan atau buruh kasar di tanah mereka sendiri, dengan gaji kecil, tinggal di gubug-gubug atau rumah sewa, atau kompleks yang kumuh. Saudara-saudari mereka yang dari kampung-kampung pun ikut tinggal di gubug / rumah sewa itu sehingga padatlah penghuninya. Gaji mereka makin tidak cukup untuk biaya makan minum. Akibatnya banyak yang kurang gizi dan mudah kena penyakit. Sedangkan para pendatang menduduki jabatan-jabatan penting di banyak instansi. Mereka ini mendapatkan gaji yang lebih besar, dalam waktu singkat telah membangun rumah-rumah bagus, punya kendaraan bermotor / mobil.
Mereka yang sudah sadar akan hal ini protes kepada pemerintah (pemerintah daerah) namun tetap tidak ada perubahan. Sekolah-sekolah tetap tidak jalan meskipun jumlah guru sudah ditambah, kepada mereka diberikan uang insentif, dan ada banyak tunjangan lainnya. Tentu untuk memecahkan persoalan ini, semua yang terlibat dalam bidang pendidikan harus duduk bersama, bersama pemerintah (daerah) mencari akar permasalahannya dan mencari solusinya.
Bidang Kesehatan
Di kota Merauke, angka kematian ibu pada saat melahirkan adalah 6 dari 1.000 kelahiran pada tahun 2011. Angka kematian anak adalah 124 dari 1.000 kelahiran (Data dari Kepada Dinkes Kab. Merauke). Data dari pedalaman, belum penulis dapatkan. Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya kematian ibu dan anak, pada saat melahirkan. Misalnya, kerja keras kaum perempuan, kurang vitamin, tidak segera mendapatkan pertolongan, obat dan petugas kesehatan tidak ada di tempat dsb. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah menempatkan dokter-dokter PTT (pegawai tidak tetap) selama 1 tahun (ada yang 6 bulan), menambah jumlah bidan dan bidan desa di kampung-kampung, menambah jumlah puskesmas dan pustu (puskesmas pembantu), memberikan makanan tambahan kepada bayi-bayi dan anak-anak.
Ada juga yang menyebut sebagai alasan tingginya kematian ibu dan anak adalah “ kebiasaan / pola hidup”. “Ketidak-pedulian akan kesehatan” yang terungkap dalam makan yang tidak teratur, makanan yang tidak dimasak, tidak cuci tangan sebelum makan, ketika lapar baru bergerak untuk mencari makan, dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Juga prioritas kebutuhan hidup yang keliru sering terjadi. Mereka lebih memilih rokok, pinang dan kebutuhan sekunder lainnya, daripada membelanjakan uangnya untuk kebutuhan hidup.
Masyarakat Tidak Berdaya
Banyak hal telah berubah. Banyak kampung telah menjadi kota-kota kecil, karena menjadi pusat-pusat pemerintahan. Pendatang makin banyak dan bahkan di beberapa wilayah jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk lokal. Kios-kios, pasar dan toko-toko bermunculan di mana-mana. Barang-barang dari daerah lain sekarang ini dengan mudah diperoleh di kampung-kampung terpencil. Kepemilikan tanah dan hutan telah berubah. Hutan telah dikuasai oleh orang lain dan telah menjadi daerah industri, babi hutan, rusa dan binatang-binatang lainnya telah menyingkir atau musnah.
Amat kentara bahwa penduduk lokal tidak berdaya menghadapi “derasnya pengaruh modernisasi”. Mereka belum biasa menghadapi perubahan yang cepat, perhitungan untung rugi, dan pola pikir industri yang menekankan ketepatan waktu, target, efisiensi dan efektivitas serta menejemen yang mantap. Apalagi mereka tidak biasa hidup dalam persaingan dengan para pendatang yang lebih berpengalaman dalam menggunakan alat-alat teknologi yang canggih. Mereka hanya sanggup menikmati, namun sulit untuk turut ambil bagian dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Atas situasi itu, masyarakat amat merindukan adanya perubahan situasi kehidupan. Mereka ingin hidup sejahtera, aman dan dapat mengantar mereka ke tingkat pendidikan yang memadai. Karena itu, setiap tawaran akan adanya perubahan untuk kehidupan yang lebih baik disambut dengan gembira. Para calon legislatif dan calon-calon bupati, wakil bupati, calon gubernur dan wakil gubernur yang berkampanya dan memberikan hadiah, uang, atau memukau masyarakat dengan janji-janji yang bagus-bagus, dengan mudah diterima oleh masyarakat. Demikian pula sambutan mereka kepada para investor. Patut disesalkan bahwa janji-janji yang bagus-bagus itu ternyata tidak dilaksanakan.
Komentar