30 NOVEMBER
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM......
Kali ini, saya hadir dengan sebuah cerita perjalanan. Saya sajikan untuk anda, dengan ucapan selamat menikmati. Moga-moga ada sesuatu yang bagus yang dapat anda petik.
Pagi itu, 30 November 2012, hari amat cerah dan matahari bersinar terang. Makin siang udara makin bertambah panas. Kami siap-siap untuk mengadakan perjalanan menuju ke Ikisi. Ketika di meja makan untuk sarapan, Pastor Sukis memberitahukan rute perjalanan kami dan bagaimana kami mencapai tempat itu. Rute yang akan dilalui adalah Tanah Merah (TM) – Ampera – Ikisi. Dari TM ke Ampera kami menyusuri sungai Digul, naik speed-boat selama 30 menit. Dari Ampera ke Ikisi, kami naik sepeda motor dan menempuh jarak sepanjang 42 km.
Ketika semua sudah siap, kami meninggalkan pastoran TM sekitar jam 10.00. Kami dihantar menuju ke pelabuhan dengan mobil. Rombongan dari Merauke dan Tanah Merah naik speed-boat yang satu, dan para pengendara dengan 10 sepeda motor mereka naik speed-boat yang lain. Kami menyusuri sungai Digul yang airnya sedang surut dan tanpa ombak. Kami menikmati perjalanan itu, sambil melihat pemandangan di sepanjang pinggir sungai. Ada beberapa rumah yang dibangun tinggi di atas tiang. Rumah-rumah itu mengingatkan saya pada rumah-rumah nenek moyang mereka, yang dibangun di atas pohon. Saking asyiknya menikmati pemandangan, perjalanan 30 menit itu terasa singkat sekali, dan kami sudah tiba di Desa Ampera. Speed-boat yang kedua masih tertinggal di belakang.
Ternyata di Ampera, umat telah siap dengan penjemputan. Bapa Uskup disambut oleh tua-tua umat, dan kaum ibu serta anak-anak dengan tarian adat. Ketua adat menyerahkan sebuah tas gantung kecil (disebut “ noken” yaitu tas anyaman yang terbuat dari kulit pohon melinjo). Noken itu langsung dipasang / digantungkan di leher Bapa Uskup. Isinya adalah uang ujud misa yang diminta oleh 20 keluarga untuk memohon berkat Tuhan bagi keselamatan dan kebahagiaan seluruh masyarakat desa Ampera. Jumlah derma mereka untuk ukuran daerah pedalaman cukup besar yaitu Rp. 220.000 ,-
Tiga rekan dari Jakarta (Lily, Lanny dan Rini) tampak asik berfoto dengan ibu-ibu dan anak-anak yang mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari burung cendrawasih. Itulah untuk pertama kalinya mereka melihat burung cenderawasih yang telah dikeringkan secara tradisional. Warna bulu dadanya coklat, dan sayapnya berwarna kuning keemasan yang amat manis, bulu alis mata berwarna hijau. Bapa-bapa mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari bulu burung kasuari. Syukurlah mereka membawa kamera, sehingga peristiwa itu dapat diabadikan. Wajah-wajah gembira dan puas “tergambar secara tetap di foto itu”. Getaran-getaran itu dapat terpancar ke banyak belahan dunia yang jauh, dan “bisa memeriahkan / menggemparkan atau bahkan mengubah suasana yang telah ada di tengah-tengah mereka”. Foto menghadirkan realita dan cerita.....tetapi juga bisa menggugah simpati. Moga-moga kesan positif dan rasa solidaritaslah yang lebih dimunculkan di mana-mana , daripada kebencian dan iri hati.
Sambil menunggu speed-boat yang kedua, kami duduk-duduk di sebuah rumah yang belum jadi. Rumah itu dindingnya papan, dan belum semuanya tertutup, sedangkan atapnya terbuat dari daun rumbia. Karena itu, angin yang bertiup menyegarkan kami semua yang udah mulai kepanasan. Maklum saat itu, waktu sudah menunjukkan angka 11. Matahari sudah mulai terik dan suhu udara di wilayah itu sudah cukup panas. Bisa berkisar 34 derajat Celsius. 30 menit kemudian rombongan kedua muncul, sambil mengendarai sepeda motor mereka.
Untuk menghormati panitia yang sudah mengatur perjalanan kami, kami naik truk. Dengan meniti sebatang kayu, bu Rini (yang paling gemuk di antara 2 rekan yang lain) naik truk, sambil tangannya dipegangi oleh dua orang agar tidak jatuh. Kemudian, agar lebih nyaman, 2 batang kayu diletakkan di bagian belakang bak truk. Dua orang ibu yang lain naik truk lewat titian 2 batang kayu tsb, sambil tangan mereka dipegangi agar tidak jatuh. Semuanya aman, dan kami naik truk dengan bak yang terbuka.
Ketika memasuki daerah yang berlumpur, truk ternyata tidak bisa lewat. Lumpur itu cukup licin dan tidak memungkinkan truk untuk bergerak. Syukurlah di tempat itu ada alat berat (“beku” sejenis traktor) yang siap untuk menolong. Belalainya dipanjangkan dan sendok besarnya itu ditempelkan di bak truk bagian belakang, lalu didorong .....dan dalam waktu singkat truk keluar dari jebakan lumpur. Tiga kali truk kami didorong alat berat itu, akhirnya kami memutuskan untuk segera naik sepeda motor untuk melanjutkan perjalanan ke Ikisi.
Sebelum membonceng sepeda motor, bu Rini minta didoakan. Itulah salah satu bentuk usahanya untuk mengatasi rasa takut, karena seumur hidupnya tidak pernah naik sepeda motor. Batinnya sudah agak tenang, dan dia memberanikan diri untuk membonceng. Agak kaku memang cara duduknya. Setelah perjalanan kira-kira 15 menit, jalan yang kami lalui ternyata amat tidak rata, bagaikan sungai kering, berlubang-lubang dan turun naik.
Rekan-rekan yang lain sudah mendahului, dan beberapa kali mereka berhenti untuk mengecek apakah semua rekan sudah sampai di tempat pemberhentian mereka atau kah ada halangan di jalan. Setelah semua lengkap, barulah perjalanan dilanjutkan lagi. Kami melihat bahwa selama 1 jam perjalanan, kedua tangan bu Rini memegang besi yang ada di belakang tempat duduk. Hal ini tentu menyulitkan keseimbangan bagi pengendara dan juga melelahkan bagi dirinya sendiri.
Setelah kami berikan informasi dan meyakinkan dia bahwa pengendara pun akan hati-hati dan tidak membiarkan dirinya jatuh, dia mulai lebih tenang. Kedua tangannya disarankan untuk diletakkan di pangkuan. Menurut pengakuannya, dia menjadi lebih rileks, dan lebih nyaman duduk. Kini kami berhenti utuk makan siang, dia bercerita bahwa dirinya jauh lebih menikmati perjalanan dan rileks daripada sebelumnya, karena memang seumur hidup belum pernah naik motor. Dia tidak takut lagi naik motor, dan akhirnya tiba di tempat tujuan dengan selamat. Jalan berliku-liku, berlubang-lubang dan turun naik telah ditundukkannya. Ketakutan naik motor telah sirna, yang ada adalah kegembiraan dan kemenangan. “Beban / kekhawatiran dan ketakutan” telah disembuhkan.
Perjalanan dalam kelompok terasa lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Masing-masing saling menyemangati dan memperhatikan. Ketika perjalanan sudah agak lama, dan ada anggota rombongan yang tertinggal, anggota yang telah di depan rela untuk menunggu. Kebersamaan yang demikian ini telah memupuk rasa persaudaraan, solidaritas dan saling memperhatikan.
Bekal yang ada kami makan pada jam yang sama, dan dimulai dengan doa bersama. Air minum pun seberapa yang ada dibagi dan dirasakan besama, sehingga tidak ada seorang pun yang kelaparan atau kehausan. Ketika aqua sudah habis, kami ambil air sungai, dan sesudah diberkati air itu langsung kami minum. Sampai hari ini, tidak ada seorang pun yang sakit perut, meskipun air sungai itu tidak dimasak. “Tuan Besar” ( Tuhan) yang mempunyai air dan menyediakannya secara cuma-cuma di alam / hutan Papua, telah menjernihkan dan melayakkan air itu untuk diminum, tanpa melalui proses osmosis pabrik di kota tertentu. “Tuan Besar” itulah si empunya pabrik alami. Airnya dimurnikan di alam, tidak ada pencemaran lingkungan, tidak ada limban beracun, semuanya baik adanmya. Dan mereka yang minum pun memberikan kesaksian: “ Rasanya seperti air aqua”. Tuhanlah Gembalaku, aku takkan berkekurangan, menjadi nyata di tempat itu.
Perjalanan berliku-liku, jalan yang lubang-lubang dan panas matahari yang amat menyengat akhirnya terlewati juga, setelah kami menempuh perjalanan selama 3 jam. Jam 3 sore kami tiba di Ikisi, dan dijemput oleh umat dan masyarakat di sana. Uskup mendapat pengalungan manik-manik dan mahkota yang dihiasi burung cendrawasih. Panas dan kecapekan selama perjalanan seakan hilang oleh “hangatnya suasana penyambutan itu”. Dari tempat penyambutan ke tempat penginapan, kami berjalan kaki di bawah terik matahari, sekitar 30 menit. Mereka mengikuti dari belakang sambil memukul / membunyikan tifa sebagai tanda bahwa di kampung itu sedang ada pesta. Memang pada tanggal 2 Desember 2012 di kampung mereka ada pesta peresmian Gereja St. Petrus dan penerima krisma kepada 38 orang peserta.
Pesta telah mengumpulkan orang dari mana-mana. Meskipun berbeda tingkat pendidikan, budaya, cara berpikir, cara hidup dsb, pesta telah mempertemukan “hati orang”. Pesta bukan hanya sekedar “tipis (sedikit) tetapi merata” namun merupakan “sukacita, kebersamaan, kehadiran, bernyanyi, kesempatan untuk mengungkapkan diri dan memberikan apa yang ada padanya”. Pesta berarti perayaan sukacita yang nyata. Kalau demikian, di dalam pesta, setiap orang berhak mengalami kedamaian, kebahagiaan, penghargaan dan persaudaraan, kesetiaan dan keramahtamahan” dsb. Itu berarti, pesta memang perlu disiapkan dengan baik, agar semua harapan itu dapat terlaksana.
Komentar