MIFEE BERKAH ATAU MUSIBAH ?
PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM....
PADA BULAN AGUSTUS 2012 YANG LALU, SAYA MENULIS NASKAH TENTANG MIFEE (MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE). MIFEE menjadi berita yang menarik di banyak belahan dunia, karena program besar ini tampaknya menjawab kebutuhan pangan dan energi bagi dunia yang saat ini sedang dilanda krisis pangan dan energi yang amat besar. Di tanah / pulau Irian Jaya ( yang kini disebut pulau Papua ) terdapat 4,5 juta hektar lahan tidur. Lahan tidur ini "diincar" oleh begitu banyak investor untuk menjadi "titik berangkat" dalam rangka menjawab kebutuhan besar dunia akan pangan dan energi. Bagaimana realita akan semua itu di Merauke ? Tulisan saya ini, sudah dimuat di Koran Cendrawasih Pos, tanggal 11 Agustus 2012 yang lalu. Saya muat tulisan itu di blog ini bagi anda. Selamat membaca.
MIFEE BERKAH ATAU MUSIBAH ?
SYALOOM....
PADA BULAN AGUSTUS 2012 YANG LALU, SAYA MENULIS NASKAH TENTANG MIFEE (MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE). MIFEE menjadi berita yang menarik di banyak belahan dunia, karena program besar ini tampaknya menjawab kebutuhan pangan dan energi bagi dunia yang saat ini sedang dilanda krisis pangan dan energi yang amat besar. Di tanah / pulau Irian Jaya ( yang kini disebut pulau Papua ) terdapat 4,5 juta hektar lahan tidur. Lahan tidur ini "diincar" oleh begitu banyak investor untuk menjadi "titik berangkat" dalam rangka menjawab kebutuhan besar dunia akan pangan dan energi. Bagaimana realita akan semua itu di Merauke ? Tulisan saya ini, sudah dimuat di Koran Cendrawasih Pos, tanggal 11 Agustus 2012 yang lalu. Saya muat tulisan itu di blog ini bagi anda. Selamat membaca.
MIFEE BERKAH ATAU MUSIBAH ?
.
Pada tahun 2008, krisis
pangan dan energi melanda masyarakat global, yang ditandai dengan peningkatan
harga-harga produk pangan di pasar internasional. Krisis inilah yang kemudian
mendorong negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mengantisipasi
krisis, sembari mengambil kesempatan tersebut di masa depan. Salah satu
strategi yang dilakukan adalah mengembangkan kawasan lumbung pangan (LP = food
estate) dan energi yang terbarukan melalui penggunaan lahan yang tersedia
pada wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali, seperti Kalimantan dan Papua.
Lahan yang tersedia di
dua pulau besar tersebut dikategorisasikan sebagai lahan cadangan, yaitu lahan
yang dipersiapkan untuk penggunaan atau pengelolaan tertentu di masa depan.
Khusus di Papua, lahan cadangan yang tersedia adalah sebesar 12 juta hektar.
Dari jumlah itu 2,5 juta lahan cadangan atau 15 persen berada di wilayah
Kabupaten Merauke.
Merauke dipilih menjadi
wilayah pengembangan kawasan LP dan energi terbarukan antara lain
karena potensi lahan yang demikian luas, yaitu 4,69 juta hektar, yang sebagian
besar dikategorikan sebagai lahan yang tidak produktif atau ‘lahan tidur'.
Dengan topografi alam yang datar dan tanah yang subur serta dilalui empat
sungai besar (Maro, Kumbe, Bian dan Digul) sebagai sumber irigasi dan
transportasi air, Merauke dinilai sesuai untuk investasi skala besar. Dapat
dipahami bahwa pada 11 Agustus 2010, program pengembangan Merauke sebagai
kawasan MIFEE ( Merauke Integrated Food and Energy Estate) diluncurkan
secara resmi oleh pemerintah.
Melalui program
pembangunan LP di Merauke, pemerintah berharap bisa memasok bahan pangan
untuk kebutuhan nasional dan internasional. Dari lahan cadangan 2,5 juta
hektar, pemerintah menargetkan lebih dari 1,2 juta hektar untuk pengembangan
LP. Juga pemerintah menargetkan dalam waktu sepuluh tahun, yaitu tahun 2020,
lumbung ini akan memasok 1,95 juta ton padi, 2,02 juta ton jagung, 167 ribu ton
kedelai, 64 ribu ekor sapi ternak, 2,5 juta ton gula, dan 937 ribu ton minyak
sawit mentah (CPO: crude palm oil ) per tahun. Seluruh target produksi
LP tersebut diraih melalui pembukaan 1,2 juta lebih hektar lahan baru yang
pengelolaannya diserahkan kepada para investor.
Masih pada bulan yang
sama, setelah proses yang panjang di tingkat kebijakan, Kementerian Pertanian
menetapkan luasan lahan yang bisa dikembangkan pada tahap pertama MIFEE
periode 2010-2014 adalah 570.000 hektar. Dari 40 lebih perusahaan yang berminat
menginvestasikan modalnya di Merauke, hingga saat ini ada tiga perusahaan yang
sudah beroperasi penuh. Ada yang mendapat konsesi seluas 2800 Ha, yang lain
169.400 Ha, dan yang lain lagi seluas 34.508 Ha. Satu perusahaan bergerak di
industri pengolahan kayu menjadi chipwood ( kayu cacah) dan pellet(serbuk
kayu yang berbentuk kapsul obat), yang lain perusahaan perkebunan HTI
(Hutan Tanaman Industri) yang menyuplai kayu, sebagai bahan baku chipwood dan
pellet, dan yang lain lagi adalah perusahaan perkebunan sawit.
Setiap tahunnya
ditargetkan 1,8 juta ton chipwood dan 200 ribu ton pellet. Target
produksi itu bisa diraih minimal melalui suplai kayu 2,5 juta m³ per tahun.
Satu hektar hutan bisa menghasilkan kayu sebanyak 200 m³. Ini berarti, untuk
menghasilkan jutaan ton kayu cacah dan pellet, hutan dan keanekaragaman
hayatinya di Merauke seluas 12.500 hektar hilang setiap tahunnya, dan hutan itu
akan digantikan dengan dua jenis tanaman HTI, yaitu ekaliptus dan akasia.
Bila mengacu pada
Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2011, direncanakan akan dibabat hutan seluas
11.086,2 hektar. Pada tahun 2010 dan 2011, ditargetkan total produksi kayu
sebanyak lebih dari 3,4 juta m³. Itu berarti dalam waktu 2 tahun, hutan di
Merauke dibabat seluas ( 3,4 juta : 200 ) 17 ribu hektar. Dengan perhitungan
itu, hutan seluas 169.400 hektar akan habis dibabat dalam waktu 19,92 tahun
(baca 20 tahun). Maka, dalam waktu singkat, hutan tropis kita habis karena
pembabatan hutan jauh lebih cepat daripada tindakan untuk penanaman kembali.
Ada investor di bidang
perkebunan kelapa sawit. Sebelum melakukan penanaman, tentu saja ia harus lebih
dulu melakukan land clearing. Di lokasi itu perusahaan telah melakukan
pembukaan hutan kurang lebih 10.000 hektar. Mengacu pada statistik BPPHP XVII
Jayapura tahun 2010, dari 5.000 hektar hutan di lokasi itu terdapat 3.963 m³
kayu kelompok meranti dan 93,428 m³ kayu kelompok rimba campuran.
Mari kita perhatikan
kompensasi harga 1 m³ kayu yang diterima masyarakat pemilik hak ulayat dengan
harga pasar lokal. Berdasarkan data statistik BPHHP XVII Jayapura tahun 2010,
di pasar lokal, 1 m³ kayu kelompok meranti dihargai Rp. 2.500.000, kayu
kelompok merbau Rp. 3.500.000, kayu kelompok rimba campuran Rp. 1.500.000.
Harga ini sudah sangat umum berlaku di Merauke.
Sampai hari ini, tidak
ada aturan tentang kompensasi harga kayu pada jenis usaha HTI. Hal ini
memberikan celah bagi investor untuk menentukan harga kayu menurut penghitungan
mereka sendiri. Berdasarkan fakta di lapangan, perusahaan menentukan harga kayu
untuk segala ukuran dan semua jenis sebesar Rp. 2000/m³. Uang itu dibayarkan
setiap tiga bulan sekali.
Fakta lebih lanjut
menyebutkan bahwa, harga 1 m³ kayu dalam tumpukan gelondongan yang diterima
masyarakat bukanlah Rp. 2000 ,- tetapi Rp. 1.400. Mengapa demikian? Karena
perusahaan memberlakukan bilangan pembagi (pengurangan) sebesar 0,3 dalam
pengukuran per m3 kayu. Bilangan pembagi (pengurangan) itu diberlakukan karena
terdapat celah pada kayu gelondongan yang ditumpuk. Dengan demikian, masyarakat
memperoleh 1 – 0,3 = 0,7 per m³-nya. Besarnya uang yang mereka terima adalah
0,7 x Rp.2000 = Rp. 1400/m³.
Pada jenis usaha
perkebunan, seperti kelapa sawit atau tebu, harga kompensasi kayu telah diatur
pada SK Gubernur Papua No. 184/2004. SK tersebut menentukan harga kompensasi
untuk jenis kayu indah Rp. 100.000 per meter kubik, kayu merbau Rp. 50.000 per
meter kubik, kayu non-merbau Rp. 10.000 per meter kubik dan kayu bakar Rp.
1.000 per meter kubik. Tampak jelas bahwa harga yang ditentukan oleh SK
tersebut masih jauh di bawah harga kayu yang berlaku di pasar lokal. SK inilah
yang dijadikan acuan dalam menentukan harga kayu kepada masyarakat pemilik hak
ulayat. Data-data di atas memperlihatkan dengan jelas, baik berdasarkan
kesepakatan ataupun peraturan, betapa jauh selisih harga kayu yang diberikan perusahaan
kepada masyarakat pemilik hak ulayat dengan harga kayu di pasar lokal Papua.
Telah ditegaskan oleh
pihak investor bahwa jenis kayu yang ditebang termasuk dalam kelompok rimba
campuran. Harga kayu campuran yang berlaku di pasar lokal, adalah Rp. 1.500.000.
Maka dari jumlah 3,4 juta m³ kayu yang dibabat selama 2 tahun, masyarakat
seharusnya memperoleh kompensasi sebesar Rp. 51 triliun, bukan Rp. 4,76 milyar.
Dalam hal ini, nyata bahwa masyarakat benar-benar dirugikan.
Hasil penghitungan
Greenomics pada tahun 2010 menunjukkan bahwa ada sedemikian banyak kayu yang akan dieksploitasi
dari lahan seluas 2,5 juta hektar. Di pasar lokal harga kayu sebanyak 410,9
juta m³ tersebut diperkirakan mencapai Rp. 120,87 trilun, dan mencapai Rp.
375,52 triliun di pasaran internasional. Sementara itu, masyarakat lokal yang
memiliki hutan dan kayu hanya menerima Rp. 575,2 milyar.
Di satu pihak, amat
mencolok bahwa keuntungan yang luar biasa besar diperoleh para investor. Di
lain pihak, tingkat kesejahteraan masyarakat lokal tetap tidak berubah.
Sekolah-sekolah tetap dalam kondisi yang memprihatinkan. Kematian balita tetap
tinggi. Harga barang-barang di kampung-kampung mereka amat mahal. Bahkan ada
sekelompok masyarakat yang mengalami gizi buruk.
Pada awal tulisan ini telah disampaikan bahwa program pemerintah Kabupaten
Merauke adalah pengembangan lumbung pangan dan energi. Namun yang lebih dulu
bergerak adalah para investor kayu. Maka muncul pertanyaan: “mengapa mereka
tidak berinvestasi di bidang pangan tetapi di bidang kayu ?” Jawabannya jelas:
kayu memberikan keuntungan yang amat sangat besar bagi investor. Sedangkan
masyarakat pemilik kayu malah makin menderita di tanah mereka sendiri. Kalau
begitu, patut dipertanyakan investasi (MIFEE) tersebut masuk ke tanah
masyarakat ini membawa berkah (kesejahteraan) atau musibah ? Jawabannya juga
jelas: "Mereka membawa musibah" bagi masyarakat.
Komentar