TERIMA KASIH IBU
Banyak hal dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari muncul / terwujud berkat peran atau kerja keras dari (kaum ) perempuan. Dalam banyak hal dan banyak peristiwa kehidupan, mereka bukan hanya berperan sebagai per-empu-an (orang yang berperan sebagai empu / guru / pendidik), tetapi juga ibu / induk (orang yang melahirkan dan mengasuh). Dalam bahasa Inggris perempuan disebut "woman" karena mereka mempunyai "womb" (rahim) yaitu tempat yang aman dan damai bagi janin (makhluk hidup) yang amat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang.
Maka, ketika seseorang tampil di tengah-tengah dunia ini dan "membawakan sukacita dan rahmat bagi orang lain", perempuan / ibu yang telah menghadirkannya juga "turut terberkati" dan turut merasakan bahagia atas apa yang dialami oleh anak-anaknya atau oleh murid-muridnya. Demikian pula, yang diserukan oleh seorang perempuan kepada Yesus dalam Injil Lukas: 'Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya: "Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau"( Lk 11:27)'.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di tanah air, Romo Ageng Marwata SJ, bersharing tentang pengalamannya atas "peran ibu bagi anak murid, dan mereka yang pernah menjadi murid". Apa yang beliau tuliskan kepada rekan-rekan yang bekerja di dunia pendidikan saya tuturkan kembali seutuhnya untuk anda:
Pak Hidayat yang baik,
Sekitar bulan Agustus - September 2001, selama 5 minggu, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi 4 sekolah menengah Jesuit (Jesuit high schools) di Jepang dan 2 perguruan tinggi (Sophia University dan St. Elizabeth's University). Saya mendapat kesempatan mengikuti kelas-kelas di high schools, bertemu para murid, guru dan orang tua. Survey singkat saya lakukan:
1). "Kepada siapa, pertama-tama, kamu harus berterima kasih atas keberhasilan dalam belajar, berteman dan bekerja membersihkan sekolahmu?"
- ( Mereka itu) 85 - 90% menjawab "Ibuku".
2) "Mengapa?"
- Mereka menjawab: "Karena ibuku mengajari dan membiasakan aku untuk belajar, berteman, berbicara dengan baik dan membersihkan kamar serta semua yang aku gunakan. Kebersihan rumahku membuat kami semua (orangtua, kakak-adik) senang tinggal bersama. Ibuku juga mengajari aku berbicara dengan baik dst"
3) "Mengapa setiap sore, selesai jam pelajaran, kaliyan rela membersihkan kelas-kelas, halaman dan kamar mandi/wc kalian?
- Mereka menjawab: "Karena ini sekolahku, tempatku belajar. Para bapak-ibu guru juga bekerja membersihkan sekolah kita".
4) "Dari mana kaliyan belajar soal-soal lalulintas (menyeberang jalan, rambu-rambu dst)?"
- Mereka menjawab: "Sejak kecil ibuku mengajari aku soal-soal itu, demikian pula dalam hal bersopan santun di jalan. Juga pak Polisi".
Kata "Ibuku" mewakili "Orangtuaku" yang bersama para murid tadi membentuk keluarga, suatu unit kecil dan fundamental dari masyarakat dan bermasyarakat.
Pak Hidayat, bicara tentang pendidikan memang kompleks. Banyak pihak terlibat, berperan dan banyak unsur pantas kita cermati. Namun pada masyarakat Jepang yang diwakili para murid itu, peran ibu dalam hal ini juga bapak sebagai orangtua dalam hal ini SANGAT FUNDAMENTAL DAN TAK TERGANTIKAN.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, termasuk bila diasrama secara ketat, tak pernah akan menggantikan peran orangtua/keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Demikian pula masyarakat, seperti yang diwakili dalam peran "polisi".
Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan "Taman Siswa" menunjukkan kepada kita 3 pusat yang harus selalu bertalian dan saling mendukung dalam pendidik (= mendidik anak-anak masyarakat), yaitu: 1) KELUARGA, 2) MASYARAKAT dan 3) SEKOLAH.
Nah, yang pertama sangat jelas ialah "Keluarga kita sendiri": bagaimanakah mutu hidup berkeluarga kita sekarang?. Sekitar tahun 1985/90-an pernah terbit buku "Menjadi Orangtua Yang Efektif". Nah beranikah kita juga berapa prosen waktu per hari kita sediakan untuk anak-anak kita? Bagaimana persiapan hidup keluarga kita? Yang kedua: Siapa saja yang dimaksud "masyarakat"?: bisa saja kampung (RT/RW), kepemudaan, kepartaian, Gereja dll yang menjadi unsur-unsur penentu bermasyarakat. Saya khawatir masyarakat kita sekarang sedang sakit. Yang ketiga ialah "sekolah", lembaga pendidikan formal ini memang perlu pertanyakan efektivitasnya dalam pembelajaran dan proses pendidikan. Dst.
Pak Hidayat, saya setuju bahwa area "pendidikan sangat luas". Tidak semua dapat kita kerjakan sendiri. Dalam hal ini saya teringat pada pembimbing rohani saya "Age quod agis!" (Lakukanlah apa yang sedang (dapat) lakukan dengan baik).
YUPP telah memulai, dan yang kita mulai hendaknya terus menerus dikobarkan.
Salam dan doa,
Ageng
Peran ibu / perempuan dalam kehidupan ini memang tidak bisa digantikan oleh alat secanggih apa pun. Maka, tidak mengherankan bahwa ada pepatah yang menegaskan: "Surga terletak di kaki ibu". Pepatah itu hendak menyerukan dan menggarisbawahi bahwa betapa besar jasa, peran dan kehidupan seorang ibu bagi anak-anaknya. Karena itu pantaslah kita berterima kasih kepada kaum ibu, terlebih ibu yang telah melahirkan kita. Masih ada waktu untuk berterima kasih, saat ini.
Terima kasih ibu, atas jasa, kasih sayang dan kehidupan yang telah engkau berikan kepadaku. Mohon maaf juga atas kesalahan dan kekurangpahamanku kepadamu selama ini.
Maka, ketika seseorang tampil di tengah-tengah dunia ini dan "membawakan sukacita dan rahmat bagi orang lain", perempuan / ibu yang telah menghadirkannya juga "turut terberkati" dan turut merasakan bahagia atas apa yang dialami oleh anak-anaknya atau oleh murid-muridnya. Demikian pula, yang diserukan oleh seorang perempuan kepada Yesus dalam Injil Lukas: 'Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya: "Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau"( Lk 11:27)'.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di tanah air, Romo Ageng Marwata SJ, bersharing tentang pengalamannya atas "peran ibu bagi anak murid, dan mereka yang pernah menjadi murid". Apa yang beliau tuliskan kepada rekan-rekan yang bekerja di dunia pendidikan saya tuturkan kembali seutuhnya untuk anda:
Pak Hidayat yang baik,
Sekitar bulan Agustus - September 2001, selama 5 minggu, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi 4 sekolah menengah Jesuit (Jesuit high schools) di Jepang dan 2 perguruan tinggi (Sophia University dan St. Elizabeth's University). Saya mendapat kesempatan mengikuti kelas-kelas di high schools, bertemu para murid, guru dan orang tua. Survey singkat saya lakukan:
1). "Kepada siapa, pertama-tama, kamu harus berterima kasih atas keberhasilan dalam belajar, berteman dan bekerja membersihkan sekolahmu?"
- ( Mereka itu) 85 - 90% menjawab "Ibuku".
2) "Mengapa?"
- Mereka menjawab: "Karena ibuku mengajari dan membiasakan aku untuk belajar, berteman, berbicara dengan baik dan membersihkan kamar serta semua yang aku gunakan. Kebersihan rumahku membuat kami semua (orangtua, kakak-adik) senang tinggal bersama. Ibuku juga mengajari aku berbicara dengan baik dst"
3) "Mengapa setiap sore, selesai jam pelajaran, kaliyan rela membersihkan kelas-kelas, halaman dan kamar mandi/wc kalian?
- Mereka menjawab: "Karena ini sekolahku, tempatku belajar. Para bapak-ibu guru juga bekerja membersihkan sekolah kita".
4) "Dari mana kaliyan belajar soal-soal lalulintas (menyeberang jalan, rambu-rambu dst)?"
- Mereka menjawab: "Sejak kecil ibuku mengajari aku soal-soal itu, demikian pula dalam hal bersopan santun di jalan. Juga pak Polisi".
Kata "Ibuku" mewakili "Orangtuaku" yang bersama para murid tadi membentuk keluarga, suatu unit kecil dan fundamental dari masyarakat dan bermasyarakat.
Pak Hidayat, bicara tentang pendidikan memang kompleks. Banyak pihak terlibat, berperan dan banyak unsur pantas kita cermati. Namun pada masyarakat Jepang yang diwakili para murid itu, peran ibu dalam hal ini juga bapak sebagai orangtua dalam hal ini SANGAT FUNDAMENTAL DAN TAK TERGANTIKAN.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, termasuk bila diasrama secara ketat, tak pernah akan menggantikan peran orangtua/keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Demikian pula masyarakat, seperti yang diwakili dalam peran "polisi".
Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan "Taman Siswa" menunjukkan kepada kita 3 pusat yang harus selalu bertalian dan saling mendukung dalam pendidik (= mendidik anak-anak masyarakat), yaitu: 1) KELUARGA, 2) MASYARAKAT dan 3) SEKOLAH.
Nah, yang pertama sangat jelas ialah "Keluarga kita sendiri": bagaimanakah mutu hidup berkeluarga kita sekarang?. Sekitar tahun 1985/90-an pernah terbit buku "Menjadi Orangtua Yang Efektif". Nah beranikah kita juga berapa prosen waktu per hari kita sediakan untuk anak-anak kita? Bagaimana persiapan hidup keluarga kita? Yang kedua: Siapa saja yang dimaksud "masyarakat"?: bisa saja kampung (RT/RW), kepemudaan, kepartaian, Gereja dll yang menjadi unsur-unsur penentu bermasyarakat. Saya khawatir masyarakat kita sekarang sedang sakit. Yang ketiga ialah "sekolah", lembaga pendidikan formal ini memang perlu pertanyakan efektivitasnya dalam pembelajaran dan proses pendidikan. Dst.
Pak Hidayat, saya setuju bahwa area "pendidikan sangat luas". Tidak semua dapat kita kerjakan sendiri. Dalam hal ini saya teringat pada pembimbing rohani saya "Age quod agis!" (Lakukanlah apa yang sedang (dapat) lakukan dengan baik).
YUPP telah memulai, dan yang kita mulai hendaknya terus menerus dikobarkan.
Salam dan doa,
Ageng
Peran ibu / perempuan dalam kehidupan ini memang tidak bisa digantikan oleh alat secanggih apa pun. Maka, tidak mengherankan bahwa ada pepatah yang menegaskan: "Surga terletak di kaki ibu". Pepatah itu hendak menyerukan dan menggarisbawahi bahwa betapa besar jasa, peran dan kehidupan seorang ibu bagi anak-anaknya. Karena itu pantaslah kita berterima kasih kepada kaum ibu, terlebih ibu yang telah melahirkan kita. Masih ada waktu untuk berterima kasih, saat ini.
Terima kasih ibu, atas jasa, kasih sayang dan kehidupan yang telah engkau berikan kepadaku. Mohon maaf juga atas kesalahan dan kekurangpahamanku kepadamu selama ini.
Komentar