KOLESE PENDIDIKAN GURU MERAUKE
Pembaca yang budiman
Memahami keadaan dari suatu realita itu lebih baik
daripada berprasangka atau malah sudah menjatuhkan vonis / memberi nilai negatif. Papua menyimpan rupa-rupa hal: kekayaan alam,
multi etnis, multi budaya, beragam bahasa, ukiran, tifa dan tentu saja
cerita-cerita rakyat dll. Masih ada banyak lagi pengalaman-pengalaman akan
kehidupan yang berbeda-beda karena keadaan alam, tantangan untuk hidup dan masa
depan, termasuk di dalamnya tantangan dan pergulatan untuk menyesuaikan dan
mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan jaman dan peradaban baru.
Pada kesempatan ini, disajikan kepada pembaca satu
pokok tentang pendidikan formal dan tawaran solusinya yang dilaksanakan di
Kolese Pendidikan Guru (KPG) Merauke. Mari kita simak isinya. Semoga anda
menjadi lebih kenal dan simpati kepada saudara-saudari kita di tanah Papua. Moga-moga dengan membaca tulisan ini, akan
banyak yang terpanggil untuk mengabdi di tanah Papua, karena tergerak oleh
sabda Yesus ini: “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya
dalam segala kelimpahan” (Yoh 10: 10b).
Persoalan Pendidikan di Papua
dan Peran Strategis Kolese Pendidikan
Guru
Oleh: Albertus Fiharsono, S.Pd., M.Hum.*
Caldwel (2007) menekankan bahwa tujuan
utama pendidikan adalah mendorong potensi anak didik ke tingkat yang paling
optimal. Tujuan pendidikan
ini
didasarkan pada sebuah keyakinan
bahwa
setiap manusia pada hakekatnya unik,
berbeda,
dan memiliki potensi yang
berbeda pula. Inilah paradigma yang seharusnya mengerangkai segala aktivitas
pendidikan kita.
Selaras dengan itu, Thoday (1972)
mengemukakan bahwa semua orang bisa diajar dan dilatih, walaupun pencapain hasil belajarnya bisa saja
berbeda-beda. Perbedaan
tersebut dijelaskan oleh Johnson (2008), yakni karena otak anak dalam perkembangannya selalu beradaptasi
dengan rangsangan dari luar (lingkungan), sehingga,
seperti dijelaskan Grantham-McGregor et
al. (2007),
perkembangannya akan dimodifikasi oleh kualitas lingkungan. Dalam masyarakat multi-kultur seperti Indonesia,
faktor sosial, budaya, dan lingkungan,
mempengaruhi perkembangan anak secara berbeda. Maka setiap anak memiliki potensi
yang berbeda pula.
Masih senada, Gardner (1993, 2000) mengemukakan
bahwa terdapat minimal delapan jenis kecerdasan: (1) visual/spatial, (2) linguistic, (3) logical-mathematical,
(4) bodily-kinesthetic, (5) musical, (6) interpersonal, (7) intrapersonal,
dan (8) naturalistic. Berdasarkan
teori ini, sangatlah jelas bahwa pada dasarnya semua anak cerdas; tak ada anak bodoh. Dalam hal ini, guru
harus mengenali jenis kecerdasan yang paling dominan dimiliki oleh masing-masing anak
didiknya sehingga model pembelajaran yang diterapkan dapat secara tepat
menyentuh aspek kecerdasan tersebut.
Anak-anak
Papua, sekadar pengamatan sekilas, tampaknya memiliki kecerdasan bodily-kinesthetic yang tinggi. Hal ini
tampak dari kelincahan mereka ketika bermain sepak bola, bola voli, atau menari. Boaz Soloasa, Oktovianus
Maniani, dan Titus Bonai hanyalah beberapa nama dari ribuan anak Papua lainnya
yang sudah menunjukkan kecerdasan bodily-kinesthetic
di lapangan sepak bola. Jika asumsi ini benar, maka model pembelajaran yang
banyak melibatkan aktivitas fisik akan sangat tepat dan efektif menyentuh inti
kecerdasan mereka untuk kemudian berkembang dengan sangat pesat.
Sayangnya,
guru seringkali belum memahami potensi kecerdasan anak Papua ini. Ketika murid tidak bisa menangkap materi dengan baik, atau
bahkan ‘tidak nyambung’, seolah-olah ini menegaskan bahwa anak Papua memang memiliki
kecerdasan yang rendah.
Tentu saja angggapan ini keliru. Yang sesungguhnya terjadi adalah model pembelajaran yang
diterapkan belum
menyentuh aspek kecerdasan anak Papua. Metode pembelajarannya kurang tepat.
Dalam konteks ini, pendekatan
pendidikan yang menganggap semua anak Indonesia sama dan harus mencapai tingkat
perkembangan yang sama pula adalah keliru. Paradigma pendidikan semacam ini
akhirnya hanya melahirkan
‘pemaksaan’ kurikulum dan penyeragaman
model pembelajaran dan evaluasi.
Potensi dan latar belakang
sosial-budaya-lingkungan anak yang beragam di setiap daerah menuntut adanya
perangkat kurikulum yang beragam dengan metode pembelajaran yang beragam pula.
Pendekatan yang disesuaikan dengan potensi masing-masing individu dan latar
belakang sosial-budaya-lingkungan, dipercaya akan mampu mendorong kapasitas
belajar anak ke tingkat yang optimal dan memenuhi standar kualitas yang
universal.
Kurikulum pendidikan seharusnya
mengakomodir kekhasan dan kearifan lokal, dan hal ini membutuhkan kajian
serius-mendalam. Dalam konteks Papua, pengembangan kurikulum memerlukan
pemahaman tentang potensi anak-anak Papua dan latar belakang sosial-budayanya.
Dengan demikian, praktek pendidikan yang terjadi tidak lagi seragam, baik
dengan daerah lain di luar Papua, maupun dengan daerah lain di Papua sendiri.
Masing-masing daerah dan masing-masing individu memerlukan pendekatan pendidikan
yang khas dan khusus.
Persoalan
Pendidikan di Papua
Hasil
penelitian WTA (2010) menunjukkan bahwa 77,7%
anak Papua di daerah pinggiran, terpencil, terisolir, dan
pegunungan kurang siap untuk
mengikuti pendidikan formal yang diidealkan. Mereka disinyalir
mengalami keterhambatan perkembangan, terutama pada sektor bahasa, adaptif motorik halus,
dan personal-sosial, yang juga terlihat pada kemampuan kognisi dan mood positif
yang rendah, serta mood negatif yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
adanya gap antara kesiapan anak untuk mengikuti
pendidikan formal dan kondisi ideal yang
disyaratkan sekolah.
Minimal ada dua faktor yang menyebabkan kondisi tersebut,
yaitu: faktor dari luar
pendidikan (non-educational factors) dan
dari dalam pendidikan (educational
factors). Faktor-faktor dari luar pendidikan antara lain kualitas gizi dan
pola asuh. Penelitian
WTA tersebut menunjukkan bahwa
hampir 85% anak usia dini di daerah-daerah sulit tersebut bermasalah
dengan asupan gizi. Sementara itu, para orang tua kurang mempersiapkan dan memotivasi anak untuk bersekolah. Faktor
dari dalam pendidikan sendiri antara lain kurangnya jumlah guru, rendahnya
kualitas, profesionalitas dan dedikasi guru, dan kurangnya
fasilitas pembelajaran. Semua persoalan itu akhirnya bermuara pada proses
pembelajaran yang kurang memadai. Seperti yang diungkapkan lebih lanjut dalam penelitian tersebut, hampir 80% KBM di SD dan SMP di daerah pinggiran,
terpencil dan terisolir, tidak berjalan dengan baik.
Seluruh persoalan pendidikan tersebut,
pada gilrannya berakibat pada rendahnya kualitas lulusan SD di daerah pinggiran, terpencil, dan terisolir.
Celakanya, hal ini menimbulkan persoalan lanjutan, yakni ketika para siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Dengan background
knowledge yang kurang memadai, anak-anak dari daerah sulit tersebut
mengalami kesulitan untuk menerima dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang
diberikan di
jenjang berikutnya. Ada gap yang besar antara pengetahuan yang mereka miliki dengan pengetahuan baru yang
diajarkan.
Persoalan ini terus berlanjut ke jenjang-jenjang pendidikan berikutnya, menjadi
rangkaian rantai persoalan.
Jadi,
sangatlah keliru jika kita beranggapan bahwa anak Papua tidak cerdas. Yang
tepat adalah anak Papua, terutama yang berasal dari daerah-daerah sulit, pada umumnya memiliki background knowledge yang kurang memadai. Ini karena mereka kurang
mendapatkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, bukan karena tingkat
kecerdasan yang rendah.
Inilah
persoalan-persoalan pendidikan di Papua yang terus membelit, saling mengait,
dan menjadi semakin rumit. Inilah rantai persoalan yang harus segera diputus
jika kita memang serius.
Peran Strategis KPG
Kolese
Pendidikan Guru (KPG) yang lahir dari keprihatinan akan kondisi pendidikan di
Papua memiliki peran yang sangat strategis, terutama dalam upaya memutus rantai
persoalan pendidikan tersebut. Dengan menghasilkan guru-guru SD yang
dipersiapkan secara khusus untuk bertempur di daerah-daerah sulit, KPG bisa berperan
sebagai pemutus rantai persoalan. Guru-guru SD yang dihasilkan oleh KPG bisa
menjadi barisan terdepan untuk menuntaskan persoalan-persoalan pendidikan di daerah pinggiran, terpencil, dan terisolir.
Sejak
awal berdirinya pada tahun 2002, KPG (yang terdiri atas KPG Merauke, KPG
Timika, KPG Nabire dan KPG Sorong) dirancang secara khusus oleh Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga Provinsi Papua untuk menyelenggarakan
pendidikan bagi calon guru SD yang dimulai dari jenjang SMA hingga PGSD dalam
satu atap dengan sistem kurikulum berkelanjutan dan berasrama. Pada jenjang SMA, kurikulum yang diterapkan adalah
kurikulum SMA secara nasional dengan muatan lokal yang berisi rumpun mata pelajaran kependidikan, rumpun keterampilan hidup (pertukangan, pertanian, peternakan,
tata boga, tata busana) dan seni budaya Papua. Pada jenjang PGSD, kurikulum
yang diterapkan adalah kurikulum PGSD secara nasional yang juga tetap
mengakomodir kebutuhan lokal, terutama seni budaya Papua yang terwujud dalam
mata kuliah Etnografi Papua dan Seni Budaya Lokal.
Dengan
sistem kurikulum berkelanjutan ini, jiwa dan kompetensi keguruan para siswa
sudah mulai dibentuk sejak di jenjang SMA,
terutama melalui sejumlah mata pelajaran keguruan. Inilah yang membedakan SMA
KPG dari SMA-SMA lain pada umumnya. Jiwa dan kompetensi keguruan para siswa
tersebut semakin diperdalam ketika mereka mamasuki jenjang PGSD. Dengan
demikian, calon
mahasiswa PGSD KPG pada
dasarnya sudah memiliki bekal jiwa dan kompetensi keguruan yang terbentuk pada jenjang SMA KPG. Ini pulalah yang membedakan PGSD
KPG dibandingkan PGSD lain di perguruan tinggi reguler pada umumnya.
Beban kurikulum KPG yang
tampak “berat” ini menjadi mungkin untuk dilaksanakan dengan system pendidikan
berasrama. Maka KPG pun dirancang dengan system pendidikan berasrama. Asrama
menjadi institusi pendidikan yang terintegrasi dengan system pendidikan di
jenjang SMA dan PGSD. Pelajaran-pelajaran muatan lokal keguruan, keterampilan
hidup dan sosial-budaya Papua, yang menjadi kekhasan dan sekaligus keunggulan
KPG, dapat ditambahkan pada sore atau malam hari karena siswa dan mahasiswa,
sesuai dengan konsep awal, tinggal di asrama KPG. Selain itu, asrama KPG juga
berperan penting sebagai kawah candradimuka yang membentuk kepribadian, kedisiplinan,
religiositas, serta jiwa dan kompetensi keguruan para siswa dan mahasiswa.
Puncak dari keseluruhan proses penempaan jiwa dan
kompetensi keguruan tersebut adalah
ketika mahasiswa diterjunkan di daerah-daerah terpencil, pinggiran, dan
terisolir untuk melaksanakan PPL selama 3-4 bulan. Tak sedikit sekolah yang
sebelumnya mati suri menjadi hidup kembali berkat kehadiran mahasiswa PGSD KPG
yang melaksanakan PPL tersebut. Selain diharapkan mampu menerapkan kompetensi
keguruan yang mereka miliki, mahasiswa juga diharapkan semakin mengenal dan
memahami kondisi
sosial-budaya masyarakat Papua dan sekaligus menempa
daya juang dan pengabdian mereka di daerah-daerah sulit tersebut.
Profil guru yang hendak dihasilkan oleh KPG adalah
guru sekolah (school teacher) yang
sekaligus mampu berperan sebagai guru masyarakat (community teacher). Yang dimaksud dengan guru sekolah adalah guru
yang mampu berperan dan berkontribusi nyata bagi peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah. Sedangkan guru masyarakat (community teacher) adalah guru yang mampu berperan dan
berkontribusi nyata bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Untuk mencapai
profil guru masyarakat tersebut, siswa/mahasiswa KPG dibekali dengan berbagai
keterampilan hidup, misalnya: pertukangan, pertanian, peternakan, tata boga,
dan tata busana. Dengan keterampilan-keterampilan tersebut, lulusan KPG
diharapkan mampu survive di
daerah-daerah sulit. Mereka diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka secara mandiri, mulai dari menanam sayur, membuat meja-kursi, beternak
babi, mengolah makanan berbahan dasar lokal, hingga menjahit pakaian sendiri.
Keterampilan-keterampilan tersebut diharapkan bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan pribadi, tetapi juga ditularkan kepada masyarakat
sekitar sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Bahkan, sebagai kegiatan
tambahan, siswa/mahasiswa KPG juga dibekali dengan kemampuan katekese,
pemahaman tentang kesehatan dasar, dan kompetensi perwasitan (bola volley dan
sepak bola). Keterampilan-keterampilan tambahan ini diyakini akan sangat
berguna ketika mereka terjun menjadi guru di daerah-daerah sulit di wilayah
Papua. Di daerah-daerah
terpencil, pinggiran, dan terisolir, guru seringkali menjadi rujukan bagi masyarakat
dalam berbagai bidang. Dalam hal ini, guru harus memiliki berbagai keterampilan
yang dibutuhkan untuk membantu masyarakat. “Guru yang serba bisa”, begitulah
kira-kira profil guru yang hendak dihasilkan oleh KPG.
Papua
membutuhkan guru yang benar-benar (mau) mengenal dan memahami anak Papua dengan seluruh latar belakang sosial, budaya, dan
lingkungannya. Dalam hal ini, mendidik putra-putri lokal untuk dijadikan guru
dan dikembalikan ke daerah asal, yang selama ini diupayakan melalui KPG, adalah
solusi yang brilian. Tanpa bermaksud mengurangi peran guru dari daerah
lain, guru-guru lokal memiliki potensi yang sangat besar untuk mampu mengembangkan potensi murid secara optimal
karena mereka memiliki modal pemahaman dan ikatan emosional yang mendalam
dengan anak didik, baik secara sosial, budaya, maupun lingkungan.
Semoga anda sekalian yang telah membaca tulisan ini, tergugah dan bertekad untuk turut serta membagikan talenta dan bakat anda demi perkembangan dan kemajuan anak-anak bangsa yang tinggal di Papua.
Komentar