TERI
TERI
Teri adalah nama sebuah kampung di pulau Kimaam- Kabupaten Merauke. Pada umumnya di wilayah Papua, karena belum memenuhi persyaratan administratif, desa disebut kampung, namun secara yuridis, tugas dan kewenangan antara kepala kampung dan kepala desa itu sama. Baju dan lambang-lambang jabatan yang dikenakan kepada kepala kampung dan kepala desa, sama. Secara gerejawi, kampung Teri disebut stasi. Jadi, di Teri ada kepala kampung dan ketua stasi. Beberapa kali terjadi, ketua stasi diangkat oleh pemerintah menjadi kepala kampung. Di stasi ini, mantan kepala kampung ( Bpk Adrianus Dewi ) saat ini menjabat sebagai ketua seksi liturgi.
Stasi Teri jaraknya sebetulnya tidak jauh dari pusat kecamatan ( di Papua disebut Distrik ) Kimaam. Jarak itu bisa ditempuh dengan mobil atau sepeda motor kira-kira 1 jam pada saat musim panas, karena jalan tanah yang menuju ke sana dalam keadaan kering. Bila pada musim hujan perjalanan bisa lebih lama sekitar 3 – 4 jam, atau bahkan tidak bisa dilalui karena begitu becek. Tempat ini, bisa juga dicapai dengan naik perahu (speedboat 40 PK) juga kira-kira 1 jam. Dari pelabuhan ke kampung jaraknya kira-kira 50 menit jalan kaki. Umumnya, orang baru berangkat menuju atau keluar dari Teri bila air pasang, sehingga perahu mereka meluncur dengan aman di sungai. Bila air sudah surut, orang tidak berani lagi berperahu karena di sungai itu, ada banyak akar-akar kayu. Bila tidak hati-hati dan nekad saja, bisa-bisa akar-akar kayu itu ditabrak dan merobek / melubangi dinding perahu di bagian bawah. Akibatnya perahu menjadi bocor, air sungai masuk ke dalam perahu dan perjalanan tidak bisa dilanjutkan.
Penduduknya kira-kira 400 jiwa. Suatu jumlah yang cukup besar. Mereka sudah pindah dari lokasi lama ke lokasi yang baru yang dipandang lebih subur. Mereka sudah menanam ubi-ubian, pisang, dan juga padi. Ada banyak penduduk yang mem;punyai sawah lebih dari 5 ha. Hasil panen tahun 2015 masih ada di lumbung-lumbung mereka, karena belum digiling. Mesin giling yang hanya 1 telah rusak dan sudah lama tidak berfungsi. Untuk mendapatkan beras, mereka menumbuk padi dengan menggunakan lesung.
Di sana ada gedung SD yang cukup bagus, ada 3 ruang belajar. Bangunan itu adalah bangunan semi permanen. Juga ada 4 rumah guru. Semuanya terbuat dari bahan kayu. Kondisinya cukup bagus. Namun, amat disayangkan, sejak dibangun sampai saat ini tidak ada guru yang menempati rumah itu. Tidak ada guru PNS seorang pun yang ada di kampung itu. Anak-anak tiap hari masuk sekolah dan diajar oleh 2 orang relawan. Keduanya bukan guru dan tidak punya ijazah keguruan. Situasi semacam ini sudah berjalan bertahun-tahun.
Dana-dana besar yang dikucurkan oleh pemerintah ke kampung-kampung umumnya habis untuk membangun infrastruktur, dan bangunan fisik lainnya. Kepala kampung dan masyarakat yang tahu bahwa mereka sungguh-sungguh butuh guru bagi anak-anak mereka, tidak mengalokasikan dana untuk membayar gaji guru. Pencerahan dan dialog bersama mereka sudah banyak kali dilakukan, namun keberanian untuk “menyisihkan uang untuk pembangunan SDM” demi masa depan mereka sendiri, belum menjadi keputusan bersama.
Saya mengunjungi stasi Teri dalam rangka pelayanan krisma, tanggal 16-17 September 2016. Di sana ada 84 orang yang menerima sakramen krisma. Suatu jumlah yang amat besar. Tanggal 16 September mereka menjemput uskup dan rombongan di pelabuhan. Uskup dan rombongan disambut dengan meriah dan dihias dengan pakaian adat. Sebagai bagian dari acara penjempuatan dan penerimaan secara adat, dari pelabuhan ke tempat pemasangan hiasan, uskup tidak boleh menginjak tanah. Serombongan laki-laki muda yang telah disiapkan beramai-ramai menggotong uskup dan 2 pastor. Jaraknya kira-kira 20 meter. Uskup diturunkan di tikar besar yang telah mereka siapkan juga. Kemudian, uskup dan 2 pastor dihias dan diberi mahkota. Sesudah itu, uskup diminta untuk duduk di kursi yang telah mereka hias. Apa yang terjadi, kemudian ? Uskup ditandu diiringi tarian dan nyanyian adat yang penuh dengan sukacita dari pelabuhan sampai di kampung. Arak-arakan itu bagaikan perjalanan kelompok besar orang yang mengalami kemenangan.
Meskipun hujan gerimis turun selama perjalanan itu, mereka tetap berjalan terus. Jalan tanah setapak demi setapak kami lewati. Saya ingat kembali perjalanan pelayanan saya tahun 1991 – 1997 di Kimaam dan sekitarnya. Waktu itu saya dijemput di pelabuhan. Namun, kali ini lain, saya dijemput dengan cara istimewa. Tidak sembangan orang boleh mengenakan mahkota. Mahkota adalah sebuah kehormatan. Mengapa mereka lakukan kepada saya ? karena saya adalah uskup, wakil Kristus yang membawa sukacita dan berkat bagi umat. Itulah keyakinan mereka yang tidak akan pernah pudar. Pastor-pastor juga diterima sebagai wakil Kristus, pembawa sukacita dan keselamatan bagi domba-domba yang haus dan rindu kepada gembalanya.
Komentar