AFRAIDUS
PEMBACA
YANG BUDIMAN
Saya
hadir kembali untuk menyapa anda pada hari ini. Apa kabar ? Semoga anda dalam keadaan sehat sejahtera.
Namun, bila ada sedang dirundung duka atau sedang kecewa, sajian saya semoga
memberikan inspirasi bagi anda untuk melihat ke depan. Ada banyak kemurahan
Tuhan yang diberikan kepada anda dan semua orang, namun karena “kepahitan /
kesulitan hidup yang sedang dialami”, semuanya itu tidak dilihat / tidak
dialami. Silakan menikmati isinya. Semoga
pembaca mendapatkan pencerahan dan kekuatan dari Sang Pemberi yang menyatakan
diri-Nya sebagai Roti Hidup.
Konon ada
seorang bernama Afraidus. Dia tinggal
bersama 2 orang rekannya. Rumahnya berpagar seng dan halamannya cukup luas.
Jarak rumah-rumah tetangga pun cukup dekat. Aliran listrik sudah cukup mantap,
24 jam sehari. Jalan ke rumah-rumah
penduduk pun pada umumnya sudah disemen / diaspal sehingga mudah dijangkau
dengan kendaraan bermotor.
Malam itu,
kebetulan Afraidus sedang di rumah sendirian. Ketika mendengar ada suara pagar
seng yang digaruk-garuk, dia menjadi sangat ketakutan. Dia amat yakin bahwa ada
orang jahat / usil yang akan mengganggu dia. Badannya gemetar dan hampir tidak
bisa berjalan, karena ia begitu ketakutan.
Apalagi jarak antara seng yang digaruk itu dengan jendela kamarnya amat
dekat. Hp yang ada di tangannya
memungkinkan dia untuk mengontak kedua rekannya supaya mereka segera pulang ke
rumah. Ternyata yang menggaruk-garuk pagar adalah anjing tetangga yang
kelaparan dan mencium bau makanan yang ada di dapur – dekat pagar itu.
Rasa
takut / ketakutan membuat dia amat emosional, dan tidak mau tahu pada hal-hal
yang lain. Bagi Afriadus, kebutuhan yang amat mendesak dan harus segera
dipenuhi adalah perlindungan dan rasa aman.
Via hp dia minta kedua rekannya segera pulang. Meski mereka masih ada
kegiatan penting di tempat lain, hal ini tidak ia pertimbangkan lagi. Jelas
bahwa Afriadus mengalami “kehilangan / gangguan” pada kesadarannya, daya
nalarnya, daya kontrol dan keseimbangan emosinya.
Nabi
Elias mengalami ketakutan yang luar biasa karena diancam akan dibunuh ( 1 Raj
19: 4-8). Dia amat emosional sehingga memilih mati daripada mengalami siksaan /
kemalangan besar itu. Namun Tuhan
mengutus malaikat-Nya dan memberinya makanan dan minuman sehingga dia mampu
berjalan terus dan tiba di gunung Tuhan.
Umat Yahudi
yang berbondong mengikuti Yesus, terpikat kepada-Nya karena Dia memberi mereka
makan roti ( Yoh 6: 26 ). Mereka yang masih amat terpesona oleh roti,
kesembuhan, dan “terpaku” oleh tanda-tanda lahiriah (kodrati / fisik) lainnya
diajak Yesus untuk melangkah lebih jauh dan lebih dalam yaitu ke tanda-tanda
batiniah ( yang mengatasi kodrat / yang rohani ). Dengan bertitik tolak pada roti biasa Yesus
menghantar mereka pada pengertian “ROTI HIDUP” (ROTI LUAR BIASA /
ISTIMEWA) yaitu Diri-Nya sendiri yang
dikorbankan secara total, seperti roti biasa yang dimakan oleh banyak
orang.
Di titik
/ bagian ini mereka bingung, kecewa, marah, dan cemas (ayat 30), serta
bersungut-sungut (ayat 41) . Di sisi lain mereka diliputi “rasa takut / ketakutan” karena
Yesus adalah “Guru yang berkuasa, berwibawa,
jujur dan dengan tulus mengajar jalan Allah, yang disertai dengan tanda-tanda
(mukjizat). Bahkan ada banyak yang menyebut
Dia adalah Messias.
Dalam
keadaan emosional itulah mereka seperti Afraidus, terpaku pada kebutuhan
mendesak, dan minta kebutuhan itu dipenuhi pada saat itu juga. Kesadarannya,
daya nalarnya, daya kontrol dan keseimbangannya “terganggu” sehingga
menghalangi mereka untuk melihat dan mengalami Yesus sebagai Utusan Allah yang
amat mulia dan jauh melampaui para malaikat . Kehadiran Yesus, kata-kata dan sentuhan
tangan-Nya, tanda-tanda yang diberikan-Nya sebagai “Roti Hidup” tidak mereka
alami.
Kepahitan
hidup, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah dapat mengganggu emosi
seseorang, sehingga kemampuan-kemampuan istimewa yang diberikan Allah kepadanya
menjadi tidak seimbang / tidak terkontrol. Yesus yang mengutus Roh Kudus dan hadir dalam diri sesama yang
merelakan dirinya “menjadi roti hidup” dengan memberikan waktunya, tenaganya,
sapaannya, pemikirannya, teladan kesetiaan, ketulusan, kejujurannya, dan
pengorbanannya, tidak dialami sebagai tanda kehadiran Allah, tetapi dianggap
hal biasa saja atau malah disepelekan.
Sesungguhnya
orangtua, suami, para guru, petani, pegawai, pastor, biarawan-wati di mana pun
yang bekerja dengan tulus, jujur, setia dan penuh kasih telah menjadi “roti hidup” bagi anak, saudara/i, pasangan
dan sesamanya. Juga pembantu rumah tangga, para sopir, tukang ojek, pemulung,
TKW dan TKI atas cara dan semangat yang sama, telah menjadi “roti hidup” bagi
keluarga yang mereka layani. Mereka yang bekerja di pemerintahan, di pelbagai
bidang profesi / pekerjaan, yang menolak: korupsi, narkoba, perjudian,
perselingkuhan, kekerasan dan kejahatan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan,
martabat dan hak-hak azasi manusia, sesungguhnya telah menjadi roti hidup. Para dokter, perawat, bidan desa yang bekerja
di tempat terpencil dan dengan imbalan yang seadanya adalah “roti hidup atau
bahkan orang-orang kudus jaman ini”. Allah hadir, bekerja dan menyapa umat-Nya serta
memberikan mukjizat-Nya melalui mereka.
Mereka
telah mengatasi "rasa takut" / ketakutan, kecemasan, ketegangan,
kemarahan, ketidakberdayaan yang mengganggu mereka untuk menangkap kemurahan
dan kebesaran Allah. Mereka mengalami dan meyakini bahwa Allah lebih besar
daripada ketakutan dan kekhawatiran mereka.Bersama dan di dalam Allah, mereka
menjadi pemenang-pemenang yang mengagumkan bagi masyarakat, dan menjadi teladan
keimanan sepanjang jaman.
Komentar