MUKJIZAT TERJADI
Pembaca yang Budiman
Saya hadir kembali di hadapan anda,
untuk berbagi cerita tentang pengalaman saya, ketika mengunjungi daerah
pedalaman. Cerita ini terjadi belum lama ini. Maka, ketika saya tulis, saya
beri tanggal sesuai dengan terjadinya peristiwa itu. Itulah sebabnya, ketika anda
membaca cerita ini, saya mengajak anda untuk kembali dan menikmati kejadian
pada hari itu. Selamat menikmati.
MUKJIZAT KETERBUKAAN DAN KEMURAHAN HATI
Hari ini, tanggal 2 Agustus 2014 di Mindiptana – Kab. Boven
Digul telah terjadi suatu mukjizat besar ? Mukjizat apa ? Mukjizat kemurahan hati.
Hari ini, berkumpul di ruang tamu kevikepan Mindiptana,
wakil-wakil umat katolik, para pemilik tanah adat, para imam,
biarawan-biarawati, petugas pastoral, pastor vikep Mindiptana dan uskup.
Pertemuan itu membahas “tanah adat yang telah diserahkan oleh para leluhur
mereka untuk pelayanan pastoral kevikepan (keuskupan), namun dipertanyakan kembali
oleh anak cucu. Mereka meminta ganti rugi atas tanah itu”. Tanah seluas 16 hektar yang telah
bersertifikat
Pemilik Tanah dan Penyerahan Tanah
Tanah yang dimiliki keuskupan pada awalnya adalah tanah milik
Jurum (seorang perempuan) yang menikah dengan Jomop. Jomop adalah kepala
kampung pada saat itu. Sebagai balas jasa kepada Pater Petrus Hoeboer MSC yang
telah membuat mereka “turun dari
rumah-rumah yang dibangun di pohon-pohon, dan berhenti dari kegiatan pengayauan”,
sepetak tanah diserahkan oleh Jurum dan Jomop untuk pelayanan keagamaan dan
pendidikan anak cucu mereka. Pada waktu itu tidak ada surat penyerahan, tidak
ada gambar / denah tanah yang diserahkan, dan tidak ada saksi yang masih hidup.
Yang adalah adalah surat yang dibuat oleh Bp Marius Kelanit tentang sejarah
pemberian tanah dan ditandatangani oleh beberapa orang saksi.
Surat yang amat berharga itu, ditulis tahun 1966 dan
tersimpan dengan baik di Keuskupan dan di
pusat Kevikepan. Isi surat itu dengan amat jelas memberikan keterangan
tentang siapa pemilik, dan siapa-siapa yang menyerahkan tanah itu, serta siapa
yang menerima penyerahan itu, dan terjadi tahun berapa. Sayang bahwa batas
tanah yang diserahkan tidak ada di sana.
Diminta kembali / harus ada pembayaran
Pada tahun 1991, ada proyek pemerintah dalam rangka
per-sertifikatan tanah yang sering disebut “prona” (proyek nasional). Supaya
tanah yang telah diserahkan itu ada sertifikatnya, keuskupan mengajukan
permohonan juga ketika ada prona itu. Maka, diadakanlah pengukuran kembali, dan
salah seorang ahli waris ( sebuat saja A) juga ada dalam kegiatan pengukuran
tanah itu. Luas tanah yang dipakai keuskupan untuk bangunan gereja, pastoran,
pusat kevikepan, susteran, TK, SD, SMP, SMA, kompleks asrama putra, dan asrama
putri seluruhnya 16 hektar.
Sekitar tahun 2007, A menyatakan bahwa tanah yang diserahkan
oleh leluhurnya adalah tanah yang dipakai untuk TK, bangunan gereja, pastoran dan pusat kevikepan. Tanah
yang lain, pada waktu penyerahan awal masih berupa hutan, sehingga tidak
termasuk dalam penyerahan itu. Demikian pula, pada tahun 2009, 2011, dan 2013
ketika ada kegiatan renovasi asrama putra, beberapa orang yang masih 1 marga
dengan pemilik tanah menyatakan menuntut kembali tanah itu, atau pihak pemakai
(keuskupan) membayar semua tanah yang dipakai untuk mendirikan SD,SMP, SMA,
Asrama Putra, Asrama Putri dan susteran. Tanah yang diminta ganti rugi luasnya
14hektar.
Memiliki untuk melayani
Dalam pertemuan itu terjadi dialog. Pembacaan surat dari Bpk
Marius Kelanit menjadi dasar dari dialog itu. Para sesepuh dan keturunan dari
marga pemilik tanah pun kemudian mengenang kembali “sejarah peradaban yang
diterima oleh leluhur mereka” tahun 1927. Beberapa peserta yang pernah
mengenyam pendidikan pada jaman misionaris itu memberikan kesaksian di hadapan
para peserta rapat. Peradaban baru itu telah mengubah pola pikir dan pola hidup
mereka. Leluhur mereka dulu tinggal di rumah-rumah yang ada di pohon dan mengayau. Ketika itu di salah satu rumah
mereka, ditemukan paha manusia. Masyarakat pada waktu itu masih kanibal. Salah
seorang dari mereka menyatakan: “Karena jasa para misionaris itulah, dan karena
pendidikan di LOZO dan MOZO, kami menjadi manusia seperti sekarang ini. Jasa
besar mereka tidak pernah boleh dilupakan”.
Keterbukaan pikiran
Kesaksian-kesaksian dari para bekas murid yang dididik di
lembaga pendidikan yang dikelola oleh para misionaris itu, telah memberikan
pencerahan, dan mengubah pikiran mereka tentang tanah yang diberikan kepada
para misionaris dan para penggantinya. Apalagi tanah itu dipakai untuk
keperluan mereka dan anak cucu mereka sendiri. Bangunan gereja, pastoran dan
kevikepan serta bangunan sekolah dan asrama dipakai oleh mereka baik untuk
peribadatan maupun untuk pendidikan dan pembinaan di asrama.
Para pastor, suster dan bruder yang saat ini bekerja di
wilayah itu pun memberikan diri dan seluruh tenaganya untuk pelayanan dan
pengembangan umat dan masyarakat di daerah itu. Ketika mereka pindah ke tempat
lain, bangunan dan seluruh aset yang dipercayakan kepadanya, tidak dijual ke
pihak lain melainkan diserahkan kepada penggantinya. Tanah yang diserahkan kepada para misionaris
itu merupakan tanda terima kasih para leluhur, dan tidak boleh ditarik kembali.
Semua itu merupakan tanda kebanggaan dan kebesaran kami serta anak cucu kami
sepanjang sejarah.
Atas penegasan-penegasan itu, mereka sampai pada kesimpulan
bahwa tanah seluas 16 hektar yang sudah sejak awal dipergunakan untuk
peribadatan, kemudian diperluas untuk pendidikan dan susteran serta asrama,
diserahkan sepenuhnya kepada kevikepan (keuskupan). Namun demikian, kepada ahli
waris dari marga yang telah menyerahkan tanah itu kepada kevikepan akan
diberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih. Pihak ahli waris pun
setuju bahwa kepada mereka akan diberikan uang ucapan terima kasih, bukan uang
jual beli tanah.
Kerelaan untuk mengambil tanggung jawab
Dalam rapat itu, setelah mendengarkan usulan dan pendapat
dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga itu, pendapat dari
kepala kampung (kepala desa) serta beberapa peserta rapat lainnya, diputuskan
bahwa yang bertanggung jawab dan akan memberikan uang ucapan terima kasih
adalah umat / masyarakat sendiri. Para kepala kampung siap untuk mengkoordinir
masyarakatnya dan mengumpulkan dana tersebut. Bpk Barnabas dengan senang hati
menerima tugas sebagai koordinator tim pengumpul dana. Para pastor, vikep, uskup dan para suster tidak perlu lagi
berpikir tentang uang ganti rugi atau uang ucapakan terima kasih. Mereka
silakan bekerja seperti biasa dengan tenang dan mengadakan kegiatan
persekolahan dan asrama, dengan dukungan penuh dari masyarakat dan umat
katolik.
Mukjizat terjadi
Permintaan pembayaran tanah yang sebelumnya ditujukan kepada
kevikepan / keuskupan, kini mereka ambil alih. Umat sendiri yang akan
menyelesaikannya. Semua sepakat bahwa uang yang akan diterima oleh ahli waris
bukan lagi sebagai uang pembayaran jual beli tanah, tetapi sebagai uang ucapan
terima kasih. Mereka dengan senang hati siap mengkoordinir dan bertanggungjawab
atas penyelesaian kewajiban itu secara
kekeluargaan. Pihak ahli waris pun menerima keputusan itu dengan hati lega.
Mukjizat keterbukaan hati dan siap sedia untuk bersama-sama
menanggung “kepentingan umat”, bukan lagi berada di pundak para misonaris dan
pengganti-pengganti mereka, tetapi di pundak mereka sendiri. Roh Kudus telah
memimpin rapat itu, dan membuka hati umat-Nya agar dengan sukacita
berpartisipati dalam pembangunan umat Allah di wilayah mereka. Pintu hati yang
telah terbuka ini, akan turut mempengaruhi partisipasi umat dan jalannya
pelayanan pada masa-masa mendatang.
Kita semua patut bersyukur atas mukjizat kemurahan hati ini. Tuhan telah
mengabulkan doa dari sebagian besar umat yang telah lama merindukan
ketenteraman dalam melaksanakan pelayanan dan kegiatan pembangunan di kevikepan
ini. Untuk itu, selama bulan Agustus akan dipersembahkan misa untuk para
leluhur mereka, untuk para ahli waris dan keturunannya agar berkat Tuhan turun
dan berlimpah bagi mereka.
Pertemuan hari itu ditutup dengan makan siang bersama.
Suasana kekeluargaan dan kesatuan hati begitu terasa. Kami semua pulang dengan
hati damai. Sepanjang hari dan hari-hari berikutnya rasa syukur kepada Tuhan
dan terima kasih kepada para juru damai
yang muncul dari tengah-tengah umat, mewarnai hati kami. Mukjizat telah terjadi
dan kami telah mengalaminya.
Komentar