MUKJIZAT DI UPYETETKO

Upyetetko adalah sebuah kampung. jaraknya kira-kira 25 km dari Mindiptana. Itulah kampung yang kami lewati sebelum kami tiba di Waropko. Apa yang saya alami di kampung itu, saya sajikan untuk anda.  Selamat membaca dan menemukan mutiara iman di dalamnya. Inilah ceritanya: 



“Bapa Uskup, mari kita jalan-jalan (kunjungan) ke Waropko” demikian ajakan beberapa rekan pastor dan suster, hari Sabtu sore tanggal 2 Agustus 2014, ketika saya mengadakan kunjungan ke Mindiptana beberapa waktu yang lalu. “Boleh, yang penting kalian siapkan bekal” begitu jawaban saya. “Kami siap bapa uskup” sahut mereka dengan wajah cerah. Keputusan itu mendorong mereka segera bergerak untuk mempersiapkan segala sesuatu sebagai bekal perjalanan dan makan siang di sana. Jarak Mindiptana ke Waropko kira-kira 35 km, dan dalam keadaan normal ditempuh dalam waktu 1 jam.

Cuaca dalam beberapa hari terakhir agak bersahabat. Hujan tidak turun, hanya gerimis-gerimis kecil. Mereka memberikan kesaksian, setiap kali ada kunjungan uskup ke wilayah Mindiptana, cuaca selalu bagus. Perjalanan lancar dan semua kegiatan dapat terlaksana pada waktunya. Demikian pula pada hari itu, tidak ada hujan, meskipun pada hari-hari sebelumnya ada curah hujan yang cukup banyak.

Kami ber-14 berangkat dari Mindiptana jam 12 siang. 4 orang dari antara kami naik 3 sepeda motor, karena pastor Vikep memilih membonceng seorang anak muda yang sudah biasa melalui jalan itu. Cuaca bagus dan matahari bersinar. Kami belum makan siang, dengan harapan bahwa kami bisa tiba di tempat tujuan jam 13 atau jam 13.30 sehingga bisa makan siang di Waropko, sebuah paroki di luar pusat kecamatan Mindiptana. Jalan menuju ke sana, pada 10 km yang pertama baru saja diperbaiki sehingga amat mulus. Beberapa stasi dengan mudah dilewati, karena kami bisa melaju dengan mobil dengan kecepatan 60-70 km per jam.

Pada bagian berikutnya, jalan sedang  dikeraskan kembali dengan menimbun tanah liat dan kemudian diratakan dengan alat berat. Jalan tanah liat itu yang telah rata itu rusak lagi karena hujan dan dilalui oleh truk-truk dan mobil-mobil yang bermuatan berat. Di jalan yang agak basah dan berlumpur, sepeda motor agak berjuang untuk melintas, mereka memilih jalan yang dilalui truk karena lebih padat dan keras. Sedangkan mobil kami (dobel gardan) dengan mudah mengatasi jalan basah dan agak berlumpur.

Di kilometer 25, ada sebuah jembatan yang sedang dibangun dan semua kendaraan harus melalui jalan darurat. Letak jalan darurat itu lebih rendah dari ketinggian tanah pada umumnya, sehingga tempat itu basah dan berlumpur. Sopir setiap kendaraan roda 4 harus berjuang keras, agar bisa lolos di jebakan lumpur ini. Truk-truk besar sering melewati jalan ini, sehingga jeblokan itu makin dalam dan makin berlumpur. Ada banyak mobil yang terpaksa harus ditarik dengan bantuan alat berat. Begitu pula sopir kami, berjuang keras, beberapa kali mencoba melintas namun akhirnya gagal juga, karena jeblokannya terlalu dalam. Letak jembatan / jalan berlumpur tebal itu dekat kampung Upyetetko.

Beberapa rekan kami sudah biasa melayani umat di kampung ini. Mereka saya minta untuk menghubungi beberapa orang di sana untuk membantu agar mobil kami bisa keluar dari jebakan lumpur. Mereka telah berusaha namun yang dihubungi sedang sakit, sehingga tidak dimungkinkan untuk pergi mencari bantuan tenaga. Waktu sudah menunjukkan jam 14.30, tetapi mobil masih terjebak di lumpur.  Kayu-kayu kecil dan  rerumputan dikumpulkan untuk memuluskan tempat pijakan ban mobil, saya mengambil alih tugas sebagai sopir namun tetap mobil tidak bergerak. Akhirnya, saya putuskan untuk mencari bantuan. Saya keluar dari mobil, dan mencari bantuan.

Saya menbonceng sepeda motor untuk mencari tenaga. Ketika mendekati pintu rumah seorang warga kampung, saya memberi salam terlebih dahulu: “selamat siang”. Dari dalam rumah itu, ada jawaban: “Selamat siang”. Lalu saya naik tangga rumah panggung itu. “Aduh, bapa uskup.....selamat siang. Saya berlibur di kampung ini, sudah 3 hari...untuk ketemu saudara-saudara yang sudah lama tidak saya kunjungi. Bapa uskup mau ke mana ?”.  “Saya mau ke Waropko, tetapi mobil saya terjebak di lumpur dekat jembatan. Saya mau minta bantuan  tenaga, supaya mendorong mobil sehingga bisa keluar dari lumpur”. “Baik bapa uskup” sahutnya. Kemudian orang itu (Yustus) keluar, dan mulai memanggil orang-orang muda dalam bahasa daerah di kampung itu.

Dalam waktu singkat, muncullah mereka, dan segera bergegas menuju ke tempat mobil. Ada 8 orang muda yang siap untuk membantu. Dengan tenaga yang cukup banyak itu, mereka segera mendorong mobil. Hanya dalam hitungan detik, setgelah didorong beramai-ramai, mobil keluar dari jebakan lumpur, dan dapat melanjutkan perjalanan.
Perjalanan melalui jalan yang berlumpur namun sudah mulai mengering karena panas matahari, memungkinkan mobil dan sepeda motor berjalan lebih cepat. Sekitar 10 – 15 km yang terakhir jalan memang cukup parah karena hujan pada hari-hari sebelumnya, dan karena sering dilalui oleh truk-truk pengangkut bahan bangunan dan logistik. Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 1 jam, hari itu ditempuh dalam waktu 4 jam dengan susah payah. Jam 4 sore kami semua baru makan siang. Untuk melepaskan lelah, namun gembira karena sudah  tiba di tempat tujuan, beberapa di antara kami berjoget dan memutar lagu-lagu gembira.

Tidak disangka-sangka, saya bertemu dengan seseorang (Yustus) yang saya kenal di Merauke. Dia sedang berlibur di kampung itu. Bagaimana dan mengapa bantuan itu muncul begitu cepat, bagaimana orang itu ada di sana sebelumnya dan dengan sigap mengerahkan kekuatan kaum muda untuk membantu, merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Seandainya dia tidak di sana, masih agak lama bantuan itu datang. Dan kalau bantuan terlambat datang, berarti kami terlambat pula untuk sampai di Waropko.


Dalam iman, saya mengatakan Tuhan telah menyiapkan orang-orangnya untuk menolong saya yang diutus untuk melayani umat-Nya. Peristiwa itu (ketidakberdayaan – keterbatasan diri – kebutuhan untuk mendapatkan pertolongan) merupakan cermin bahwa manusia itu adalah makhluk yang terbatas, dan membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya.  Banyak kali Tuhan telah menunjukkan kebesaran dan kasih-Nya kepada saya, ketika saya melayani umat Allah di pedalaman, misalnya: “tidak hujan selama masa pelayanan, padahal saat itu musim hujan”, “tiba dengan selamat melalui lumput-lumpur meski menggunakan mobil kijang Innova”. Karena itu, pantas dan layak kepada Allah yang penuh kasih itu, dipanjatkan syukur dan hormat dengan hati gembira. 

Komentar

Postingan Populer