TANAH DI PAPUA ITU MILIK KOMUNITAS
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM.........
Selamat berjumpa kembali setelah saya absen selama beberapa waktu untuk di blog ini. Kegiatan Musyawarah Pastoral tahunan, dan pertemuan dengan para petugas pastoral sesudah acara akbar itu, membuat saya tidak sempat untuk menuliskan pemikiran ini. Tulisan ini, ada kemiripan dengan tulisan terdahulu. Memang persoalan dasarnya adalah tanah masyarakat yang dibeli dengan harga amat tidak adil. Tulisan ini hendak memberikan penegasan lebih mendalam bahwa tanah itu punya arti penting bagi masyakat di Papua. Mari kita simak isinya.
Isu krisis energi dan pangan dunia didengungkan ke seluruh dunia, tahun 2008. Hal itu membuat para pemimpin bangsa dan raksasa ekonomi dunia berpikir keras “untuk memecahkan persoalan tersebut dengan mencari / menemukan bahan pangan dan energi yang bisa dibarui (ditanami lagi / dibudidayakan)”. Mereka berpendapat bahwa bahan pangan dan energi itu bisa dibaharui (dihasilkan kembali) asalkan tersedia lahan cadangan yang amat luas (jutaan ha). Mereka menamukan bahwa di Indonesia terdapat lahan yang luas itu yaitu di Kalimantan dan Papua. Khusus di Papua, lahan cadangan yang tersedia luasnya 12 juta ha. Dari jumlah itu, 2,5 juta ha ( 15 %) ada di wilayah Kabupaten Merauke.
Melalui program pembangunan food estate (lumbung pangan=LP) di Merauke, pemerintah berharap bisa memasok bahan pangan untuk kebutuhan nasional dan internasional. Dari lahan cadangan seluas 2,5 juta ha, pemerintah menargetkan lebih dari 1,2 juta ha untuk pengembangan LP. Pemerintah menargetkan dalam waktu 10 tahun (tahun 2020) LP akan memasuk 1,95 ton padi, 2.02 juta ton jagung, 167.000 ton keledai, 64.000 ekor sapi, 2,5 juta ton gula, dan 937.000 ton CPO (crude coconut oil) per tahun. Seluruh target produksi LP tersebut diraih melalui pembukaan 1,2 juta ha lahan yang pengelolaannya diserahkan kepada para investor.
Dengan topografi alam yang datar, luas dan subur serta dilalui empat sungai besar (Maro, Kumbe, Bian dan Digul), Merauke dinilai sesuai untuk investasi skala besar. Dapat dipahami bahwa pada 11 Agustus 2010, program MIFEE ( Merauke Integrated Food and Energy Estate = lumbung pangan dan energi) diluncurkan secara resmi oleh pemerintah. Pada bulan Agustus 2010 juga, Menteri Pertanian menetapkan luas lahan untuk tahap pertama MIFEE periode 2010-2014 adalah 570.000 ha. Itulah sebabnya ada 40 investor yang amat berminat masuk ke Merauke. Empat (4) di antara mereka telah beroperasi dengan lahan garapan seluas 214.300 ha, di bidang perkayuan, tebu dan kelapa sawit.
Sebuah realita
Pada tanggal 1 Juni 2012, satu perusahaan kelapa sawit, dengan areal konsesi seluas 33.540 hektar (ha), telah “resmi” memperoleh tanah dari warga masyarakat adat (9 marga) seluas 7.592 ha dengan perjanjian yang 1.105 ha akan dijadikan perkebunan plasma untuk masyarakat. Perusahaan memberikan harga tanah sebesar Rp. 350.000 / ha. Menurut perusahaan harga tersebut merupakan hasil kesepakatan dari kedua pihak.
Contoh di atas menggambarkan banyak hal, salah satunya adalah harga tanah. Masyarakat menerima uang tanah sebesar Rp. 350.000/ha dari perusahaan untuk jangka waktu 35 tahun. Harga tanah per ha (10.000 m2) per tahun Rp. 350.000: 35 = Rp. 10.000,- Harga tanah Rp. 1/m² per tahun. Ada satu pertanyaan yang patut diutarakan di sini: “Rp 1,- / m2 itu apakah harga penjualan tanah atau harga sewa tanah ?”. Tidak ada seorang warga masyarakat pun yang tahu, karena dokumen resmi yang sudah ditandatangi kedua pihak, salinannya tidak diberikan Ketua Adat, Kepala Kampung atau Kepala Distrik. Ada kekhawatiran bahwa isi dokumen itu dimanipulasi.
Yang terjadi
1. Bukan pengembangan pangan
Para investor datang, bukan untuk mengembangkan Merauke sebagai lumbung pangan, sebagaimana diprogramkan oleh Pemda Merauke. Sampai hari ini Merauke sebagai “food estate” hanyalah slogan dan harapan. Mereka ternyata tertarik pada kekayaan sumber alam yang demikian luas, banyak dan bisa segera dipanen. Ketika membuka hutan dan belum menanan apa pun, pelbagai jenis pohon kayu di hutan-hutan yang begitu luas dapat segera menghasikan uang jutaan dolar setelah diolah menjadi chips (kayu cacah), pelet (serbuk kayu berbentuk kapsul), dan kayu gergajian.
2. Hutan habis
Ada 1 perusahaan kayu yang membutuhkan 32.000 m3 kayu mentah per bulan (30 hari). Itu berarti per hari dia membutuhkan 1.066 m3 kayu mentah. Bila dibabat habis, hutan menghasilkan 40 m3 kayu / ha. Dari perhitungan itu, per hari luas hutan yang dibabat (1.066 : 40 ) = 26,5 ha. Hutan yang dibabat setiap bulan 30 x 26,5 = 795 ha. Kita kehilangan hutan 12 x 795 ha = 9.540 ha / tahun.
3. Lingkungan rusak dan binatang punah.
Pembukaan hutan dilaksanakan pada umumnya pada musim panas. Ketika hutan dibuka, keadaan di sekitarnya berubah. Alat-alat berat mulai kerja, truk=truk hilir mudik mengangkut kayu dan tanah. Jalan-jalan baru dibuka dan dikeraskan. Daerah yang dulu berhutan lebat, saat itu berubah menjadi dataran yang luas, gersang dan panas. Debu di mana-mana. Para pekerja yang datang dari mana-mana dibuatkan barak / tempat penginapan. Sampah (sisa-sia makanan, terlebih plastik-platik) juga mulai berserakan di mana-mana. Lalat muncul di mana-mana dan bau busuk juga tidak ketinggalan. Lingkungan hidup telah tercemar dan rusak oleh limbah. Pembakaran hutan telah turut menyumbang bagi bertambahnya panas bumi. Bukan hanya kangguru dan rusa yang punah, tetapi juga babi hutan, burung cendrawasih, ayam hutan, dan masih banyak binatang hutan lainnya yang menghilang, karena lingkungan hidup mereka rusak.
4. Penduduk lokal mau ke mana ?
Yang lebih memprihatinkan lagi, penduduk setempat kehilangan kehidupan. Hutan yang menghidupi mereka, binatang buruan, lingkungan hidup dan sumber air telah dikuasai oleh investor dan mereka dilarang masuk ke hutan itu “tanpa perundingan yang adil”. Mereka menjadi buruh dan kekurangan gizi di kampung halaman mereka sendiri. Bahkan mereka dipandang sebagai penggangu terhadap investor, sehingga harus disingkirkan. Investor datang justru membawa bencana dan penderitaan seumur hidup bagi penduduk lokal.
Bukan hanya pertobatan atau teori “sayang lingkungan” yang perlu dikobarkan, tetapi tindakan nyata untuk menyelamatkan penduduk lokal, lingkungan yang telah tercemar, menghentikan pembabatan hutan, perlu segera diambil. Amdal harus dibuat bukan untuk kepentingan investor, tetapi demi “kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang. Reboisasi harus dilaksanakan oleh pihak investor. Pembayaran sewa tanah, ganti rugi pohon, kompensasi kerusakan lingkungan, “ribuan nyawa manusia yang menjadi korban” harus dihitung dengan adil, dan segera diselesaikan.
Tanah bagi manusia di seluruh muka bumi ini, bukanlah komoditas sebagaimana dilihat dari kacamata bisnis. Tanah bukanlah benda yang diperdagangkan atau diperjualbelikan dengan sewenang-wenang, karena tanah merupakan ruang hidup banyak orang. Tanah adalah ibu yang murah hati yang memberikan jaminan hidup kepada anak-anaknya. Tanah Papua adalah tanah milik komunitas. Pengambilalihan tanah dalam jumlah mahaluas, berarti menyengsarakan komunitas. Di atas tanah itulah setiap manusia menyandarkan seluruh kehidupannya. Di bumi ini nilai-nilai dan relasi-relasi antar manusia dan leluhur di mana pun dan kapanpun, dibutuhkan dan mau tidak mau harus diwujudkan, agar manusia itu semakin menjadi manusia.
Hukum / perintah Tuhan sebagai dasar kehidupan bagi umat manusia yang diberikan melalui Musa dan ditegaskan kembali oleh Yesus sudah amat jelas: "Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap tenagamu, dan segenap akal budimu; dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Bila hal ini, dihidupi dan diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari kepada sesama, sesungguhnya dunia ini akan penuh dengan kedamaian sukacita, ketenteraman dan kebahagiaan.
Komentar