MENGHADIRKAN DAN MENGHIDUPKAN
Syaloom.....
Kali ini, saya akan menghadirkan sebuah cerita yang berasal dari luar negeri kepada pembaca. Melalui beberapa orang, akhirnya cerita itu sampai kepada diri saya. Mereka telah menghadirkan lebih dulu cerita itu kepada saya, dan kemudian saya meneruskan / me-masa-kini-kan / meng - ada - kan sekarang ini untuk anda.
Cerita yang sudah hadir / sudah ada di hadapan anda, ketika dibaca atau diceritakan kembali, akan hidup. Itu berarti para pembaca telah "menghidupankan cerita" itu. Terlebih lagi, ketika anda menceritakan itu dengan penuh semangat, "nafas / jiwa / daya dan magnit" cerita itu akan makin meluas dan memberikan kesan tersendiri kepada para pendengarnya.
Silakan anda membaca dan menghidupkan apa yang telah saya hadirkan di hadapan anda:
Dianugerahi jabatan – bersyukur atas anugerah iman
By TIMOTHY CARDINAL DOLAN (Posted: 1:21 AM, February 20, 2012)
Banyak orang yang mengenal saya mungkin akan berkata bahwa saya ini orangnya cerewet. Namun hari sabtu lalu, tanggal 18 Februari 2012, ketika saya berjalan di basilika St. Petrus bersama dengan lebih dari 120 Kardinal dari seluruh muka bumi, saya merasa tidak bisa berkata-kata.
Berada bersama Bapa Suci Paus Benedictus XVI membuat saya selalu merasa kecil, apalagi di dalam Basilikia St. Petrus yang dibangun persis di atas makam Paus pertama itu. Saya ingat pula akan ibu saya, saudari dan saudara saya, pasangan-pasangan mereka dan para ponakanku – bersama dengan begitu banyak orang dari New York, Milwaukee and St. Louis – yang telah datang ke Roma bersama saya untuk peristiwa yang istimewa ini membuat saya benar-benar bersyukur dan merasakan kasih dari keluarga dan para sahabat yang mendukung saya itu.
Sambil mempertanyakan kelayakan saya sendiri untuk jabatan ini yang mengutus saya untuk melayani Gereja Universal atas cara yang lebih mendalam, saya terbawa pada kenangan tahbisan imamat saya; yang sungguh merupakan moment penting lain ketika saya berdoa semoga saya menjadi imam yang baik dan bertanggungjawab yang selalu saya rindukan sejak usia muda saya
Bukanlah peristiwa-peristiwa tahbisan itulah yang mengharukan saya, melainkan, perasaan bersyukur itu sendiri karena anugerah iman ini, yang secara cuma-cuma Tuhan berikan kepadaku. Dan rasa syukur itu begitu menguasai diriku ketika mendekat pada Altar Santo Petrus untuk menerima “topi merah” ini dari Paus.
Warna merah bukan tanpa maksud. Itu melambangkan kenyataan bahwa sebagai Kardinal saya diharapkan rela sampai menumpahkan darah untuk membela iman. Kiranya bukanlah orang seperti saya ini, pun pula semua kardinal lainnya yang akan dipanggil oleh Paus untuk menerima anjurannya usque ad effusionem sanguinis – Berlakulah dengan iman yang kokoh, meskipun harus menumpahkan darahmu (walaupun menumpakan darah itu benar-benar kenyataan di banyak bagian dunia dialami oleh para pelayan Gereja) namun kami diharapkan untuk rela memberikan pelayanan yang lebih tulus tanpa ingat diri sendiri.
Kebanyakan kita sudah mengetahui kisah pembasuhan kaki para murid oleh Kristus Tuhan pada perjamuan akhir. Yesus berkata kepada ke-12 orang itu sebagai pengikutnya yang terdekat: ‘Jika Aku tuan dan gurumu, telah membasuh kakimu, maka kamupun harus membasuh kaki satu sama lain. Saya telah memberikan teladan kepadamu, apa yang telah kulakukan kepadamu, perbuatlah juga satu kepada yang lain (Yoh 13: 14-15)
Dengan bantuan rahmat Allah, itulah contoh cinta dan pelayanan yang saya usahakan dengan serba kekurangan dan serba tidak sempurna selama hampir 36 tahun sebagai imam, uskup dan uskup agung. Bantulah Tuhan supaya saya bisa melanjukan untuk bertumbuh dalam cinta dan pelayanan bagi umat di Keuskupan Agung New York.
Dalam Injil hari Minggu kita mendengarkan bacaan tentang Yesus menyembuhkan orang lumpuh berkat cinta dan pelayanan teman-temannya yang menggotong dia sampai membuka atap rumah. Iman dari orang lumpuh itu dan iman dari teman-temannya itu menyentuh hati Yesus dan berkenan menyembuhkannya.
Iman yang sama itulah yang saya lihat diusahakan setiap hari oleh umat saya di New York, baik melalui pembagian piring makanan kepada orang yang lapar, maupun di sekolah-skolah katolik kita yang hebat ketika menyampaikan formasi akademik dan iman terbaik bagi para generasi muda; atau ketika saya bertemu dengan orang-orang muda yang ingin melayani Tuhan dan umat-Nya sebagai imam, suster dan bruder; atau dengan kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah kasepuhan di Keuskupan kita.
Saya sungguh menyadari bahwa kehormatan dipilih menjadi kardinal ini bukan untuk saya sendiri, melainkan untuk umat katolik dan untuk seluruh umat komunitas keuskupan New York yang mengemban tugas untuk mengungkapkan iman itu setiap hari.
Selama di Roma, saya tinggal di North American College (penerjemah pernah masuk di situ dan ikut vesper di kapelnya yang besar; bangunannya serba besar karena untuk seluruh diosis Amerika Serikat; disebut North untuk membedakan dengan Amerika Latin di selatan) tempat di mana saya 40 tahun lalu tinggal sebagai seminaris katika masih berumur 22 tahun. Salah satu pegawai tua di rumah itu memeluk saya ketika saya kembali hari Minggu dan berkata, “Sorry, bagi saya kamu adalah selalu anak muda sederhana yang ketika tiba di sini dulu mengalami “homesick”, ingat-ingat pulang ke rumah; kamu adalah seorang teman dan pemuda yang baik”. Bagiku itu lebih baik daripada menjadi seorang kardinal!”.
Saya akan kembali ke New York esok hari, dan lusa adalah hari Rabu Abu (berarti Kardinal baru itu saat ini sedang dalam perjalanan pulang), saat Gereja memulai masa prapaska untuk lebih banyak berdoa, korban dan perbuat amal kasih.
Jadwal saya yang pertama pada hari Rabu pagi sebagai seorang Kardinal baru adalah memberikan makanan kepada orang-orang yang setiap pagi datang meminta makanan di depan gereja St. Fransiskus. Kulakukan ini sebagai tandan bahwa saya sadar masih sebagai seorang pendosa, yang hanya mencoba untuk mencintai sebagai mana Allah mencintai kita.
Diterjemahkan oleh Romo Sujoko MSC dari sumber Vatikan.
Banyak hal nampaknya "mati", namun ketika didekati, diraba, diperhatikan, terlebih dibaca, disuarakan, hal-hal itu akan menjadi hidup dan mempunyai pengaruh besar bagi dunia sekelilingnya. Kita makhluk biasa-biasa ini telah dapat "menghidupkan" yang mati, apalagi Allah pencipta, Dia tentu akan dapat lebih sempurna dalam "mengadakan dan menghidupkan" segala sesuatu baik di dunia maupun di akhirat.
Kali ini, saya akan menghadirkan sebuah cerita yang berasal dari luar negeri kepada pembaca. Melalui beberapa orang, akhirnya cerita itu sampai kepada diri saya. Mereka telah menghadirkan lebih dulu cerita itu kepada saya, dan kemudian saya meneruskan / me-masa-kini-kan / meng - ada - kan sekarang ini untuk anda.
Cerita yang sudah hadir / sudah ada di hadapan anda, ketika dibaca atau diceritakan kembali, akan hidup. Itu berarti para pembaca telah "menghidupankan cerita" itu. Terlebih lagi, ketika anda menceritakan itu dengan penuh semangat, "nafas / jiwa / daya dan magnit" cerita itu akan makin meluas dan memberikan kesan tersendiri kepada para pendengarnya.
Silakan anda membaca dan menghidupkan apa yang telah saya hadirkan di hadapan anda:
Dianugerahi jabatan – bersyukur atas anugerah iman
By TIMOTHY CARDINAL DOLAN (Posted: 1:21 AM, February 20, 2012)
Banyak orang yang mengenal saya mungkin akan berkata bahwa saya ini orangnya cerewet. Namun hari sabtu lalu, tanggal 18 Februari 2012, ketika saya berjalan di basilika St. Petrus bersama dengan lebih dari 120 Kardinal dari seluruh muka bumi, saya merasa tidak bisa berkata-kata.
Berada bersama Bapa Suci Paus Benedictus XVI membuat saya selalu merasa kecil, apalagi di dalam Basilikia St. Petrus yang dibangun persis di atas makam Paus pertama itu. Saya ingat pula akan ibu saya, saudari dan saudara saya, pasangan-pasangan mereka dan para ponakanku – bersama dengan begitu banyak orang dari New York, Milwaukee and St. Louis – yang telah datang ke Roma bersama saya untuk peristiwa yang istimewa ini membuat saya benar-benar bersyukur dan merasakan kasih dari keluarga dan para sahabat yang mendukung saya itu.
Sambil mempertanyakan kelayakan saya sendiri untuk jabatan ini yang mengutus saya untuk melayani Gereja Universal atas cara yang lebih mendalam, saya terbawa pada kenangan tahbisan imamat saya; yang sungguh merupakan moment penting lain ketika saya berdoa semoga saya menjadi imam yang baik dan bertanggungjawab yang selalu saya rindukan sejak usia muda saya
Bukanlah peristiwa-peristiwa tahbisan itulah yang mengharukan saya, melainkan, perasaan bersyukur itu sendiri karena anugerah iman ini, yang secara cuma-cuma Tuhan berikan kepadaku. Dan rasa syukur itu begitu menguasai diriku ketika mendekat pada Altar Santo Petrus untuk menerima “topi merah” ini dari Paus.
Warna merah bukan tanpa maksud. Itu melambangkan kenyataan bahwa sebagai Kardinal saya diharapkan rela sampai menumpahkan darah untuk membela iman. Kiranya bukanlah orang seperti saya ini, pun pula semua kardinal lainnya yang akan dipanggil oleh Paus untuk menerima anjurannya usque ad effusionem sanguinis – Berlakulah dengan iman yang kokoh, meskipun harus menumpahkan darahmu (walaupun menumpakan darah itu benar-benar kenyataan di banyak bagian dunia dialami oleh para pelayan Gereja) namun kami diharapkan untuk rela memberikan pelayanan yang lebih tulus tanpa ingat diri sendiri.
Kebanyakan kita sudah mengetahui kisah pembasuhan kaki para murid oleh Kristus Tuhan pada perjamuan akhir. Yesus berkata kepada ke-12 orang itu sebagai pengikutnya yang terdekat: ‘Jika Aku tuan dan gurumu, telah membasuh kakimu, maka kamupun harus membasuh kaki satu sama lain. Saya telah memberikan teladan kepadamu, apa yang telah kulakukan kepadamu, perbuatlah juga satu kepada yang lain (Yoh 13: 14-15)
Dengan bantuan rahmat Allah, itulah contoh cinta dan pelayanan yang saya usahakan dengan serba kekurangan dan serba tidak sempurna selama hampir 36 tahun sebagai imam, uskup dan uskup agung. Bantulah Tuhan supaya saya bisa melanjukan untuk bertumbuh dalam cinta dan pelayanan bagi umat di Keuskupan Agung New York.
Dalam Injil hari Minggu kita mendengarkan bacaan tentang Yesus menyembuhkan orang lumpuh berkat cinta dan pelayanan teman-temannya yang menggotong dia sampai membuka atap rumah. Iman dari orang lumpuh itu dan iman dari teman-temannya itu menyentuh hati Yesus dan berkenan menyembuhkannya.
Iman yang sama itulah yang saya lihat diusahakan setiap hari oleh umat saya di New York, baik melalui pembagian piring makanan kepada orang yang lapar, maupun di sekolah-skolah katolik kita yang hebat ketika menyampaikan formasi akademik dan iman terbaik bagi para generasi muda; atau ketika saya bertemu dengan orang-orang muda yang ingin melayani Tuhan dan umat-Nya sebagai imam, suster dan bruder; atau dengan kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah kasepuhan di Keuskupan kita.
Saya sungguh menyadari bahwa kehormatan dipilih menjadi kardinal ini bukan untuk saya sendiri, melainkan untuk umat katolik dan untuk seluruh umat komunitas keuskupan New York yang mengemban tugas untuk mengungkapkan iman itu setiap hari.
Selama di Roma, saya tinggal di North American College (penerjemah pernah masuk di situ dan ikut vesper di kapelnya yang besar; bangunannya serba besar karena untuk seluruh diosis Amerika Serikat; disebut North untuk membedakan dengan Amerika Latin di selatan) tempat di mana saya 40 tahun lalu tinggal sebagai seminaris katika masih berumur 22 tahun. Salah satu pegawai tua di rumah itu memeluk saya ketika saya kembali hari Minggu dan berkata, “Sorry, bagi saya kamu adalah selalu anak muda sederhana yang ketika tiba di sini dulu mengalami “homesick”, ingat-ingat pulang ke rumah; kamu adalah seorang teman dan pemuda yang baik”. Bagiku itu lebih baik daripada menjadi seorang kardinal!”.
Saya akan kembali ke New York esok hari, dan lusa adalah hari Rabu Abu (berarti Kardinal baru itu saat ini sedang dalam perjalanan pulang), saat Gereja memulai masa prapaska untuk lebih banyak berdoa, korban dan perbuat amal kasih.
Jadwal saya yang pertama pada hari Rabu pagi sebagai seorang Kardinal baru adalah memberikan makanan kepada orang-orang yang setiap pagi datang meminta makanan di depan gereja St. Fransiskus. Kulakukan ini sebagai tandan bahwa saya sadar masih sebagai seorang pendosa, yang hanya mencoba untuk mencintai sebagai mana Allah mencintai kita.
Diterjemahkan oleh Romo Sujoko MSC dari sumber Vatikan.
Banyak hal nampaknya "mati", namun ketika didekati, diraba, diperhatikan, terlebih dibaca, disuarakan, hal-hal itu akan menjadi hidup dan mempunyai pengaruh besar bagi dunia sekelilingnya. Kita makhluk biasa-biasa ini telah dapat "menghidupkan" yang mati, apalagi Allah pencipta, Dia tentu akan dapat lebih sempurna dalam "mengadakan dan menghidupkan" segala sesuatu baik di dunia maupun di akhirat.
Komentar