MENDOAKAN PARA ROMO
PARA PEMERHATI BLOG YANG TERKASIH
Syaloom.....
Beberapa waktu yanglalu, saya mendapatkan sharing seorang rekan tentang mendoakan para romo. Artikel yang berisi sharing itu memang diberi judul dengan sebuah pertanyaan: " Perlukah kita mendoakan para romo ". Sharing itu muncul / lahir dari sebuah pengalaman nyata atas relasinya dengan sang kakak kandung yang telah menjadi romo dan baru saja meninggal dunia.
Sharing yang baik dan amat berharga itu, saya teruskan untuk anda, agar anda pun tergerak hati untuk mendoakan para romo. Dan anda yang non katolik pun, moga-moga tergugah untuk mendoakan para romo kami, dan mendoakan mereka "yang punya peran penting" di masyarakat. Semoga mereka semua tetap tegar, tabah dan makin bertumbuh dalam iman dan kebijaksanaan. Nama penulisnya, sengaja tulis dengan inisial FG. Inilah sharing itu:
Saya terinspirasi untuk menulis email ini setelah menerima sebuah email sahabat seorang Romo yang mohon untuk dibantu dalam doa. Banyak awam yang mengira bahwa godaan paling berat hidup seorang Romo adalah wanita. Banyak pula kaum pria, khususnya para bapak2, yang beranggapan bahwa kalau saja Vatikan mengijinkan Romo menikah maka selesai sudah berbagai permasalahan kehidupan Romo.
Benarkah demikian? Benarkah masalah wanita merupakan akar masalah dari semua persoalan yang harus dihadapi para Romo? Saya tidak pernah mengerti persoalan hidup seorang Romo kalau saja saya tidak mempunyai kakak kandung yang menjadi Romo. Awalnya, saya berpikir apa sulitnya menjadi Romo atau biarawan-biarawati? Seluruh kebutuhan dipenuhi. Mereka tidak harus menanggung hidup keluarga. Mereka tidak harus terlibat dalam hiruk pikuknya dunia kerja, dll. Mungkin tidak terbayangkan oleh awam pergolakan yang harus dihadapi para Romo mulai dari masalah ketidakserasian dengan umat, dengan rekan pastor, dengan komunitas bahkan dengan keuskupan. Semuanya ini harus mereka telan dan pendam sendiri di dalam hati.
Kalau kita sebagai awam mudah curhat dengan pasangan hidup atau teman dekat, tidak demikian halnya dengan para Romo. Kakak (Romo) hanya bisa curhat kepada saya sebagai adik, itupun kalau hatinya sudah benar2 ‘sumpek” (bahasa Jawa untuk kata ‘galau’). Awalnya, saya selalu menyalahkan beliau yang memang punya temperamen keras. Justeru di saat2 terakhir beberapa bulan sebelum beliau meninggal saya baru mulai merasakan bahwa Romo jugalah manusia biasa. Artinya, Romo juga manusia sosial yang perlu teman dalam kehidupan, teman untuk berbagi rasa, teman untuk mendengar serta sahabat2 yang secara ikhlas mau mengerti persoalan mereka!
Air mata tak terbendung ketika saya menggantikan rosario yang ada di tangan jenasah kakak Romo dengan rosario kesayangannya. Beliau sangat bangga ketika saya memberi oleh2 rosario terbuat dari ranting mawar asli buatan biarawan-biarawati Itali. Rosario itulah yang ia genggam dalam perjalanan menghadap Sang Penciptanya. Tangannya dingin dan kaku mengingatkan saya bahwa semuanya sudah berlalu. Mulutnya tertutup rapat dan kelu mengingatkan saya bahwa sebagai seorang Romo beliau harus banyak menutup mulut walau hati sedang kalut. Hidung ditutup kapas mengingatkan saya bahwa ziarah kehidupannya selesai sudah.
Saya menyesal semasa hidupnya tidak banyak memberikan ruang, waktu dan hati yang tulus untuknya berbagi rasa. Saya menyesal ketika mengingat apa susahnya membuka telinga dan mendengar dengan jernih keresahan hatinya. Dalam hidup ini, keresahan dan kegalaun terasa kian menghimpit ketika tidak ada lagi tempat untuk berbagi rasa, tidak ada lagi telinga yang bersedia mendengar!
Kita acapkali datang mengeluh dan mohon doa Romo. Kita sering berdoa bagi ayah dan ibu, bagi bagi suami dan isteri, bagi anak, bagi menantu dan cucu, minta rejeki, minta kesehatan … dst … dst … doa yang orientasinya ego sentris. Beberapa kali kita secara khusus berdoa dan bermatiraga bagi para Romo dan para biarawan-biarawati kita? Mampukah dan maukah kita menyediakan waktu, pikiran dan hati yang terbuka serta telinga yang mendengar bagi keluhan mereka?
Di sebuah Paroki, ada kumpulan para bapak yang menyediakan diri dan waktu untuk secara berkala menemani para Romo. Kumpulan para bapak itu juga secara periodik berkumpul untuk mendokan para Romo. Saya tidak tahu apakah kumpulan para bapak itu tetap eksis. Saya berpikir, walaupun anggota milis ini tersebar luas di seluruh nusantara, namun dengan kemajuan teknologi email kita tetap dapat berkomunikasi dan secara khusus mendoakan para Romo dan biarawan-biarawati kita. Bukankah kita tidak harus berkumpul secara fisik untuk berjamaah mendoakan mereka? Apakah ada tanggapan, pendapat atau gagasan dari anggota milis dalam hal ini?
Salam
F G
Atas sharing tersebut, ada tangapan dari seorang rekan yang lain. Kiranya baik, saya kutip seluruhnya. Anda dapat merasakan simpati yang diungkapkan di sana. Moga-moga hal itu pun akan menggugah simpati kita. Kita menjadi berkat bagi sesama, khususnya bagi para romo kita.
Pak FG ,
Saya sangat setuju bahwa sangat penting untuk mendoakan para pimpinan dan pelayan gereja. Gereja sendiri tahu itu dan dalam setiap misa di seluruh dunia dipanjatkan doa untuk Bapak Paus, para Uskup dan sebetulnya untuk semua pastor dan biarawan-biarawati. Namun karena kita sering asal ikut teks doa maka tidak cukup dirasakan sebagai mendoakan mereka. Tentu saja juga sangat perlu mendoakan pastor, biarawan dan biarawati secara pribadi dengan tantangan mereka yang sangat unik bagi tiap pribadi. Tantangan selalu berakar dalam keakuan masing-masing, seperti juga pada diri setiap kaum awam.
Serangan lawan selalu dipusatkan pada pribadi-pribadi yang berpengaruh, yaitu para Uskup, para pastor, biarawan dan biarawati karena mereka berperan sebagai panutan.
Tuhan akan menyertai gerejaNya dan pengikutNya sampai akhir jaman.
Tuhan memberkati,
PT
Kepada anda berdua yang telah bersharing dalam milis pendidikan, saya ucapkan banyak terima kasih. Anda telah menularkan / menyebarluaskan simpati dan ungkapan kasih anda kepada mereka yang telah dipanggil menjadi romo. Semakin anda memberkati, semakin anda akan menerima berkat Allah yang mahasetia.
Syaloom.....
Beberapa waktu yanglalu, saya mendapatkan sharing seorang rekan tentang mendoakan para romo. Artikel yang berisi sharing itu memang diberi judul dengan sebuah pertanyaan: " Perlukah kita mendoakan para romo ". Sharing itu muncul / lahir dari sebuah pengalaman nyata atas relasinya dengan sang kakak kandung yang telah menjadi romo dan baru saja meninggal dunia.
Sharing yang baik dan amat berharga itu, saya teruskan untuk anda, agar anda pun tergerak hati untuk mendoakan para romo. Dan anda yang non katolik pun, moga-moga tergugah untuk mendoakan para romo kami, dan mendoakan mereka "yang punya peran penting" di masyarakat. Semoga mereka semua tetap tegar, tabah dan makin bertumbuh dalam iman dan kebijaksanaan. Nama penulisnya, sengaja tulis dengan inisial FG. Inilah sharing itu:
Saya terinspirasi untuk menulis email ini setelah menerima sebuah email sahabat seorang Romo yang mohon untuk dibantu dalam doa. Banyak awam yang mengira bahwa godaan paling berat hidup seorang Romo adalah wanita. Banyak pula kaum pria, khususnya para bapak2, yang beranggapan bahwa kalau saja Vatikan mengijinkan Romo menikah maka selesai sudah berbagai permasalahan kehidupan Romo.
Benarkah demikian? Benarkah masalah wanita merupakan akar masalah dari semua persoalan yang harus dihadapi para Romo? Saya tidak pernah mengerti persoalan hidup seorang Romo kalau saja saya tidak mempunyai kakak kandung yang menjadi Romo. Awalnya, saya berpikir apa sulitnya menjadi Romo atau biarawan-biarawati? Seluruh kebutuhan dipenuhi. Mereka tidak harus menanggung hidup keluarga. Mereka tidak harus terlibat dalam hiruk pikuknya dunia kerja, dll. Mungkin tidak terbayangkan oleh awam pergolakan yang harus dihadapi para Romo mulai dari masalah ketidakserasian dengan umat, dengan rekan pastor, dengan komunitas bahkan dengan keuskupan. Semuanya ini harus mereka telan dan pendam sendiri di dalam hati.
Kalau kita sebagai awam mudah curhat dengan pasangan hidup atau teman dekat, tidak demikian halnya dengan para Romo. Kakak (Romo) hanya bisa curhat kepada saya sebagai adik, itupun kalau hatinya sudah benar2 ‘sumpek” (bahasa Jawa untuk kata ‘galau’). Awalnya, saya selalu menyalahkan beliau yang memang punya temperamen keras. Justeru di saat2 terakhir beberapa bulan sebelum beliau meninggal saya baru mulai merasakan bahwa Romo jugalah manusia biasa. Artinya, Romo juga manusia sosial yang perlu teman dalam kehidupan, teman untuk berbagi rasa, teman untuk mendengar serta sahabat2 yang secara ikhlas mau mengerti persoalan mereka!
Air mata tak terbendung ketika saya menggantikan rosario yang ada di tangan jenasah kakak Romo dengan rosario kesayangannya. Beliau sangat bangga ketika saya memberi oleh2 rosario terbuat dari ranting mawar asli buatan biarawan-biarawati Itali. Rosario itulah yang ia genggam dalam perjalanan menghadap Sang Penciptanya. Tangannya dingin dan kaku mengingatkan saya bahwa semuanya sudah berlalu. Mulutnya tertutup rapat dan kelu mengingatkan saya bahwa sebagai seorang Romo beliau harus banyak menutup mulut walau hati sedang kalut. Hidung ditutup kapas mengingatkan saya bahwa ziarah kehidupannya selesai sudah.
Saya menyesal semasa hidupnya tidak banyak memberikan ruang, waktu dan hati yang tulus untuknya berbagi rasa. Saya menyesal ketika mengingat apa susahnya membuka telinga dan mendengar dengan jernih keresahan hatinya. Dalam hidup ini, keresahan dan kegalaun terasa kian menghimpit ketika tidak ada lagi tempat untuk berbagi rasa, tidak ada lagi telinga yang bersedia mendengar!
Kita acapkali datang mengeluh dan mohon doa Romo. Kita sering berdoa bagi ayah dan ibu, bagi bagi suami dan isteri, bagi anak, bagi menantu dan cucu, minta rejeki, minta kesehatan … dst … dst … doa yang orientasinya ego sentris. Beberapa kali kita secara khusus berdoa dan bermatiraga bagi para Romo dan para biarawan-biarawati kita? Mampukah dan maukah kita menyediakan waktu, pikiran dan hati yang terbuka serta telinga yang mendengar bagi keluhan mereka?
Di sebuah Paroki, ada kumpulan para bapak yang menyediakan diri dan waktu untuk secara berkala menemani para Romo. Kumpulan para bapak itu juga secara periodik berkumpul untuk mendokan para Romo. Saya tidak tahu apakah kumpulan para bapak itu tetap eksis. Saya berpikir, walaupun anggota milis ini tersebar luas di seluruh nusantara, namun dengan kemajuan teknologi email kita tetap dapat berkomunikasi dan secara khusus mendoakan para Romo dan biarawan-biarawati kita. Bukankah kita tidak harus berkumpul secara fisik untuk berjamaah mendoakan mereka? Apakah ada tanggapan, pendapat atau gagasan dari anggota milis dalam hal ini?
Salam
F G
Atas sharing tersebut, ada tangapan dari seorang rekan yang lain. Kiranya baik, saya kutip seluruhnya. Anda dapat merasakan simpati yang diungkapkan di sana. Moga-moga hal itu pun akan menggugah simpati kita. Kita menjadi berkat bagi sesama, khususnya bagi para romo kita.
Pak FG ,
Saya sangat setuju bahwa sangat penting untuk mendoakan para pimpinan dan pelayan gereja. Gereja sendiri tahu itu dan dalam setiap misa di seluruh dunia dipanjatkan doa untuk Bapak Paus, para Uskup dan sebetulnya untuk semua pastor dan biarawan-biarawati. Namun karena kita sering asal ikut teks doa maka tidak cukup dirasakan sebagai mendoakan mereka. Tentu saja juga sangat perlu mendoakan pastor, biarawan dan biarawati secara pribadi dengan tantangan mereka yang sangat unik bagi tiap pribadi. Tantangan selalu berakar dalam keakuan masing-masing, seperti juga pada diri setiap kaum awam.
Serangan lawan selalu dipusatkan pada pribadi-pribadi yang berpengaruh, yaitu para Uskup, para pastor, biarawan dan biarawati karena mereka berperan sebagai panutan.
Tuhan akan menyertai gerejaNya dan pengikutNya sampai akhir jaman.
Tuhan memberkati,
PT
Kepada anda berdua yang telah bersharing dalam milis pendidikan, saya ucapkan banyak terima kasih. Anda telah menularkan / menyebarluaskan simpati dan ungkapan kasih anda kepada mereka yang telah dipanggil menjadi romo. Semakin anda memberkati, semakin anda akan menerima berkat Allah yang mahasetia.
Komentar