SOPAN SANTUN

Pembaca yang budiman,

Saya menemukan lagi sebuah sharing (ungkapan pengalaman) dari senior saya (Pater Prof Dr Jan van Passen MSC), dosen emeritus yang kini tinggal di sebuah desa kecil, Lotta - Manado. Beliau mencatat dan mengomentari dan merenungkan apa yang beliau tuangkan dalam tulisan di bawah ini:

KESOPANAN LUAR BIASA DALAM KEBUDAYAAN JEPANG

Konfrater yang baik,

Ketika bertemu dengan konfrater Bern Tethool pada akhir kapitel di Ambon, saya
mulai pembicaraanku dengan teman yang sangat baik dari 20 tahun lalu:

"Bern, maaf, saya punya kesan bahwa kau memboroskan tenagamu dan talentamu di Jepang dengan menghadap orang yang begitu kurang peka terhadap agama. Kau seorang nabi yang berteriak di padang gurun, tiada auditorium disana.Bern mengoreksi secara fondamental visi saya tentang orang Jepang yang tadi saya pandang sangat materialis dan kurang peka terhadap dunia rohani, katany: pater Jan, orang Jepang suatu bangsa yang paling religius , jauh lebih dari bangsa Indonesia. Bern membedakan antara religio dan religiositas.

Memang benar mereka kurang peduli akan suatu penggabungan resmi pada suatu religio dengan liturgi dan credo agak fixed namun mereka dalam jiwa sangat mengalami Sesuatu yang lebih Tinggi yang mengatasi mereka dan memperlakukan Yang Mahatinggi dan Mysterieus dengan amat sopan. Lain sekali dari banyak orang katolik di sini yang sesudah ibadat dan khususnya sesudah suatu novena berpendapat bahwa sekarang giliran Allah untuk membalas kebaikanku.Orang Jepang berdoa pula tetapi sama sekali tidak menuntut satupun balasan dari Yang Mahatinggi.

Dalam suatu surat kabar Belanda saya membaca impresi seorang wanita Belanda tentang kesopanan orang Jepang yang mula-mula ia anggap aneh sekali. Sebagai contoh, ia menyebut kata yang diucapkan yubilaris pada saat ia terima suatu kado.Ia dengan cukup kuat akan berkata: "Sorry", "Maafkanlah aku". Bukan dengan maksud untuk menolak kado terlalu kecil, yang tidak mau diterima melainkan dalam arti:" minta maaf bahwa HUTku telah merepotkan anda dan mengakibatkan kau mesti keluar mencari kado sebagus ini bagiku". Dengan demikian sang yubilaris memindahkan perhatian dari diri sendiri kepada si pemberi kado yang kasihan harus repot karena pestaku ini. Wanita Belanda itu menyebut gejala di Jepang ini: menomoduakan diri, bahkan suatu pengosongan diri dan men-nol-kan diri dari yubilaris yang sudah maju jauh dalam pemanusiaannya, dalam kebudayaannya..

Contoh yang kedua: pun pada gempah bumi dan tsunami ia tidak pernah melihat
orang yang secara histeris mulai berteriak, hendak menarik perhatian kepada
dirinya sendiri, seperti di Belanda dan di Indonesia, khususnya para wanita yang
mau kasih tahu kepada seluruh dunia bahwa mereka sangat menderita dan perlu dibantu. Ingatlah akan (cerita) histeris wanita di film SCTV dan RCTI yang menurut
penilaianku sungguh merendahkan martabat para wanita Indonesia dengan kesimpulan:
"Oh, baru pada tingkat rendah ini kaum wanita Indonesia: berteriak, menangis,
karena terkurung dan tertutup dalam dirinya sendiri, maaf , seperti seekor anjing kecil yang menangis.."

Lain contoh dari Jepang:
Kalau di meja makan si A mau makan sate yang terletak agak jauh, ia di Indonesia
dan Belanda akan minta dengan sopan kepada orang yang duduk dekat padanya:
please, anda boleh ambil sate di sana bagiku?
Di Jepang harus bilang: Maaf, anda kiranya tidak mau memberikan sate itu kepadaku.

Kalimat itu rupanya amat kasar seolah-olah diandaikan teman semeja itu tidak mau
memberikan sate kepadaku. Tetapi maksudnya justru sangat sopan: orang yang disapa punya kekebasan penuh untuk tidak memberikan sate itu. Kalimat dalam bahasa Indonesia dan Eropa: "please, will you give me..." cukup mempengaruhi orang yang disapa. Hampir tidak mungkin ia tidak memberikan apa yang diminta. Kalimat Jepang meredusir pengaruh dari pihak pemohon itu seminimal mungkin.

Ya, boleh belajar dari setiap sesama.

Jan van Paassen msc

Sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami, dan diungkapkan secara tertulis, dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk membangun kiat-kiat kehidupan. Inspirasi itu akan bersifat abadi, dan dapat sungguh-sungguh merupakan anugerah turun-temurun. Inspirasi itu bagaikan air kehidupan yang menyejukan kehidupan. Dan siapa saja yang membawa kesejukan (ketenteraman) bagi sesamanya, dia sesungguhnya adalah tanda nyata dari kasih Allah kepada manusia.

Komentar

Postingan Populer