MELIHAT YANG DI DEPAN MATA

Manusia yang normal sejak dilahirkan di dunia ini, dari "sono"nya sudah mempunyai panca indra. Panca indra itu, merupakan alat bantu untuk mengenal, mengerti, menganalisa dan memberi arti, dan mengambil keputusan yang baik dan penting bagi kehidupannya pribadi, kelompoknya dan kehidupan selanjutnya. Apa yang dikenal dan dimengerti melalui (panca)indranya itu, merupakan alat bantu untuk mengembangkan hidupnya.

Melalui apa yang didengar, yang dilihat, yang dirasa, dicium, dan diraba, menusia dibantu untuk mengenali / memikirkan hal-hal yang melampaui panca indranya itu. Mengenali / memikirkan apa yang melampaui panca indra itu, bisa didapatkan setelah berlatih, merenungkan, berlatih lagi dan merenungkan lagi serta memikirnya berkali-kali, dan melalui kebingungan dan keraguan yang panjang. Maka, ketika mengalami kesulitan / kekecewaan atau kebingungan, banyak yang memutuskan untuk berhenti. Syukurlah, ada banyak orang yang berhasil menemukan dan menuliskan pengalamannya atas "perjalanan mengarungi dunia yang melampaui panca indra manusia itu". Banyak tulisan dan pengalaman tak tertulis tentang hal itu.

Kitab Suci menuliskan pengalaman manusia akan hal-hal yang melampui panca indra bahkan akal budi manusia. Pengalaman akan Yang Ilahi, pergumulan manusia untuk menemukan dan berdialog dengan Yang Ilahi itu pun, tugas perutusan yang diserahkan Yang Ilahi itu kepada manusia, ditulis di sana, agar manusia sepanjang jaman, dapat belajar, mengambil makna untuk kehidupannya, dan meneruskannya bagi generasi berikutnya.

Firman Tuhan yang ditulis di dalam Kitab Samuel yang dibaca pada hari Minggu tanggal 3 April 2011 berbunyi sbb: "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah. Manusia melihat yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" ( 1 Samuel 16: 7 ).

Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari ada pengalaman seseorang yang amat dekat dengan apa yang dikatakan dalam Kitab Samuel itu. Beginilah cerita itu:

Ada seseorang yang ketika berpakaian bagus, ia dihormati, dan, anehnya ketika ia berpakaian compang-camping maka ia diusir dan dicemooh... Lantas dengan pembelajaran tersebut ia menjadi lebih sadar serta kritis, kemudian ia menyimpulkan:

"Kalau ternyata bukan diriku, melainkan pakaianku yang dihormati, mengapa aku mesti senang...? Dan, kalau ternyata bukan diriku, melainkan apa yang kupakai yang dibenci, mengapa aku harus sedih?"

Demikian dan itulah yang terjadi dalam diri dan kehidupan kita, lebih sering menghormati yang melekat pada diri orang, bukan menghargai keberadaan orang itu sendiri.

Maka jika Anda dihormati orang, jangan bangga diri, berikanlah pelayanan yang terbaik. Dan apabila kita tetap tidak dihormati, jangan kecewa dan bersedih. Kita harus bangga, karna kita melayani dan memberikan dengan TULUS serta yang terbaik... "Merendah bukan berarti hina, mengalah bukan berarti kalah..." Dengan mau belajar sadar dan mengalah dari sebuah keegoisan semua akan bahagia...

Saya mengucapkan terima kasih kepada "rekan yang menemukan makna hidup di dalam peristiwa itu" dan telah rela menuliskannya untuk saya. Karena saya merasa bahwa makna hidup itu baik juga bila diteruskan kepada para pembaca, saya menuliskannya kembali untuk anda.

Dunia dan manusia memang lebih cenderung "melihat yang di depan mata", namun "Tuhan melihat hati". Menurut Injil, kita adalah anak-anak Allah. Maka, kita setiap hari berjuang untuk makin menjadi anak-anak Allah, dengan melakukan kejujuran, keadilan, kedamaian, ketenteraman, kemurahan hati, kerendahan hati,pengampunan, pengertian, kesabaran dll. Kita juga berusaha setiap hari agar kita bukan hanya terikat dan terpaku pada penampilan lahiriah (yang sering kali menipu dan mengecewakan kita), tetapi terlebih melihat hati dan kehidupan nyata sesama kita yang membuahkan kebahagiaan dan ketenteraman.

Komentar

Postingan Populer