ARARE 13 JULI 2017

PEMBACA YANG BUDIMAN

TELAH LAMA SAYA TIDAK MENJUMPAI ANDA. ADA GANGGUAN TEKNIS SEHUBUNGAN DENGAN SALURAN INTERNET, DAN KATA SANDI YANG TIDAK SAYA KENALI LAGI ( JUGA TIDAK DIKENAL OLEH YAHOO ATAU PUN GMAIL).  ITULAH SEBABNYA,  KERINDUAN UNTUK MENULIS MENJADI TERHENTI.

Syukurlah, beberapa waktu yang lalu, ada seorang rekan yang bisa menolong saya. Semua kata sandi diperbaharui. Semuanya beres, dan saya bisa membuka blog ini dengan lebih mudah.  Kepada rekan Andre, saya ucapkan  banyak terima kasih. Karena dia, saya dimungkinkan untuk menjumpai anda melalui tulisan ini.  Selamat menikmati isinya, semoga anda menemukan inspirasi di dalamnya.

Pelayanan di Arare.......

Hari itu,  13 Juli 2017, rombongan kami dijemput oleh 2 orang yang naik perahu ketinting.  Mereka memberitahukan bahwa perahu kami hendaknya bergerak pelan-pelan supaya masyarakat siap untuk menyambut kedatangan kami di pelabuhan.  Mereka kemudian meninggalkan kami, melaju dengan perahu ketinting menuju ke kampun Arare.  Kemudian, setelah melewati beberapa belokan ketika menyusuri sungai, kami bertemu dengan 2 orang yang lain yang juga menantikan kedatangan kami. Mereka kemudian mendahului kami untuk mengabarkan bahwa rombognan kami sudah dekat dengan kampong.  Perahu kami diminta untuk bergerak lebih lambat.

Kami akhirnya tiba di Kampung Arare. Ratusan masyarakat sudah ada di pelabuhan, mereka siap menyambut uskup dan rombongan yang tiba dengan perahu.  Saking gembiranya, puluhan orang mendekati kami dan mengelilingi kami. Lalu, dengan penuh semangat perahu kami yang masih berada di air, didorong terus hingga kami sampai di darat. Syukurlah daratan itu adalah tanah berpasir sehingga amat dimungkinkan untuk merapatkan perahu hingga ke darat. Jarak antara air dan tempat kami turun kira-kira 150 meter.

Dengan pakaian adat, puluhan orang dan sebagian lagi menggosok badan mereka dengan lumpur, beramai-ramai mendorong perahu. Sementara yang lain di pelabuhan bersorak-sorai dan menari-nari dengan iringan pukulan tifa. Ketika kami tiba di pintu gerbang, kami berhenti sejenak, karena ada upacara penjemputan secara adat. Kami semua menerima pengalungan bunga.

Kemudian saya memotong pita (tali yang dianyam dari kulit pohon) yang dipasang membentang di kiri-kanan pintu gerbang. Pemotongan tali merupakan lambang / tanda bahwa tidak ada lagi halangan / hambatan sehingga berkat Allah secara penuh masuk (tercurah) bagi umat Allah dan masyarakat seluruhnya. Dengan tercurahnya berkat Tuhan, moga-moga tidak ada penyakit, kekuatan jahat dan halangan apa pun yang mengganggu masyarakat. Juga semoga seluruh kegiatan masyarakat dalam rangka penerimaan sakramen-sakramen dapat berjalan lancar dan aman.

Arare adalah pusat paroki. Jaraknya kira-kira 30 km dari Kepi – ibukota kabupaten Mappi. Bagaimana kita bisa sampai ke Arare ?  Kepi berjarak 410 km dari Merauke, dan dapat ditempuh dari Merauke dengan pesawat kecil selama 1 jam. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan naik speedboat dari Kepi selama 1 jam, dan jalan kaki kira-kira 2 jam, dan naik ketinting atau naik speed boat. Bila musim panas, masyarakat bisa jalan naik motor dari Kepi sampai ke kampong Pagai, kemudian dilanjutkan dengan naik ketinting selama 30 menit, naik speedboat sekitar 20 menit.

Manusia lumpur

Di antara sekian ratus orang yang menjemput uskup dan rombongan, ada begitu banyak manusia lumpur. Mereka adalah anak-anak muda yang karena girangnya dengan sukarela melumuri dirinya dengan lumpur basah di sekujur tubuhnya. Caranya, dengan memakai celana pendek, mereka pergi ke pinggir rawa lalu mengambil, mencebur di air, kemudian saling membantu melumuri badan sesamanya dengan lumpur basah. Rambutnya pun penuh lumpur. Hanya matanya saja yang kelihatan.  Dengan keadaan basah-basah seperti itu, mereka menyambut para tamu.

Manusia lumpur menandakan sukacita yang meluap-luap, kepolosan, dan apa adanya.  Mereka menghiasi diri dengan apa yang ada di alam. Itu artinya manusia dan alam adalah satu. Mereka berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Lumpur/ tanah bukanlah sesuatu yang kotor, tetapi bagian dari kegembiraan.  Tanah dan lumpur telah memberikan kehidupan kepada mereka. Mereka tinggal di rawa-rawa dan di tanah yang berlumpur. Di sana ada hutan pohon sagu yang amat luas, ada banyak udang rawa, ikan, rusa, ayam hutan, kangguru, binatang buruan lainnya dan hutan tropis.


Dengan disambut oleh manusia lumpur, para tamu masuk ke dalam suasana sukacita yang berdamai dengan alam, dan dijamin aman.  Suasana yang demikian ini, didambakan oleh setiap orang.  Masyarakat Arare mengungkapkannya dengan cara yang amat sederhana. Semua bahan untuk merias dirinya, tidak dibeli di toko atau di supermarket, tetapi diambil dari alam. Alam menyediakan semua yang mereka butuhkan.  Dalam suasana seperti ini,  hubungan manusia dengan alam sungguh amat terasa, begitu pula hubungan manusia dengan sesamanya. Inilah modal dasar bagi manusia untuk mengucap syukur kepada Allah sang Pencipta, yang telah menganugerahkan alam dan ciptaan-Nya kepada manusia. Suasana seperti ini diungkapkan dalam Kitab Kejadian tentang manusia yang ditempatkan Tuhan di Taman Eden.  Maka, di mana pun suasana itu dihadirkan, di situ suasana surga dialami. 

Komentar

Postingan Populer