YOSELIN

 PEMBACA YANG BUDIMAN

Sudah tak terhitung permohonan maaf saya, atas keterlambatan atau absensi saya dari hadapan anda. Memang ada pelbagai hal yang membuat saya tidak punya waktu lagi untuk menulis. Padahal, menulis merupakan salah satu talenta yang saya miliki.  Saya yakin pintu maaf tetap terbuka lebar untuk saya.  Karena itu, pada kesempatan ini, saya hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada anda...para pembaca blog ini, atas kesabaran, pengertian dan pemberian maaf kepada saya.

Kali ini, saya hadirkan sebuah pengalaman kecil, sehubungan dengan pengorbanan. Moga-moga anda sekalian dapat memperoleh inspirasi melalui cerita yang saya tuturkan ini. Selamat membaca..

Seorang anak perempuan duduk di karpet, ditemani seorang perempuan tengah baya. Anak itu bernama Yoselin, dan perempuan tengah baya itu adalah ibu kandungnya.  Yoselin rambutnya tipis, karena baru saja dipotong pendek, supaya lebih mudah perawatannya. Maklum, dia sudah berumur 5 tahun amat tergantung pada orang lain ( orangtuanya ).  Dia belum bisa berjalan.  Berbicara pun belum / tidak bisa. Untuk makan dan keperluan lainnya       dia membutuhkan bantuan orang lain. Maklum kakinya bisa digerakkan namun tidak mampu untuk menopang badannya. Dia tidak bisa berdiri, apalagi berjalan.  Dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali melihat dan mendengar....tentu juga merasakan apa yang dialaminya.

Menurut ibunya, (sebut saja: Vivi) ketika berumur 1 tahun 4 bulan, Yoselin terkena “step” (panas tinggi dan kejang-kejang, sehingga tidak berdaya). Gangguan “step” ini terjadi beberapa kali, sehingga membuat dia lumpuh, kemampuan bicaranya terlambat, dan betul-betul tidak berdaya. Dia tidak bisa menolong dirinya sendiri.  Dia perlu mendapatkan perawatan dan perhatian penuh dari orang lain supaya bisa sembuh.  Dan untuk kesembuhan itu, diperlukan waktu yang lama. Demi kesembuhan itulah, kedua orangtuanya membawa dia ke dokter dan rumah sakit. Pelbagai macam pengobatan telah dijalaninya, dan kesembuhan yang diharapkan belum kunjung terwujud.

Demi kesembuhan putrinya itulah, Vivi rela meninggalkan / mengundurkan diri dari pekerjaannya supaya bisa mengurus dan merawat anaknya. Meskipun kesembuhan penuh belum terjadi, Yoselin tampak gemuk, segar, bersih dan terurus. Fisiknya dan kemampuan bicaranya memang terganggu, namun secara psikis dan mental, Yoselin mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kedua orangtuanya, khususnya dari ibunya.

Demi anaknya, Vivi rela melepaskan kesenangannya sendiri, rekan-rekan sekerja dengannya,  dan kegiatan lainnya.  Hidup-nya, waktunya, perasaannya dan katakan....segalanya dia pertaruhkan. Harapannya hanya satu yaitu Yoselin sehat dan dapat berkembang sebagai manusia yang normal. Vivi ingin anaknya hidup dan berkembang sebagaimana teman-teman seusianya, bergaul dan bersekolah, kelak setelah selesai studi, dapat membaktikan dirinya bagi masyarakat dan bangsa.

Hidup dan masa  depan Yoselin begitu berharga, dan karena itu, amat dihargai dan dijunjung tinggi oleh Vivi. Apa yang dilakukan Vivi adalah bukti komitmennya sebagai seorang ibu, bagi anaknya. Dia korbankan segalanya demi buah hatinya. Apakah pengorbanan itu akan diakui, dihargai, atau dibalas oleh Yoselin atau oleh orang lain ? Semuanya itu – menurut keyakinan penulis – tidak akan pernah diperhitungkan olehnya. Yang ada di hatinya adalah sebuah harapan bahwa pada suatu hari Yoselin akan sehat dan bisa hidup mandiri. 

Dalam diri Vivi, saya melihat dan mengalami “itulah pengorbanan....itulah kasih seorang ibu, bagi anaknya” yang tidak akan pernah menuntut balas. Saya teringat kembali kasih ibu yang saya alami selama ini, khususnya ketika saya masih di rumah. Maka saya pun ingin menulis kembali lagu yang saya kenal dan beberapa kali saya nyanyikan:

Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak mengharap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia. 

Komentar

Postingan Populer