PENGALAMANKU TENTANG LEGIO MARIA
PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM DAN SELAMAT PASKA
MELALUI TULISAN INI, SAYA MENJUMPAI ANDA KEMBALI. SAYA SAJIKAN TULISAN SAYA TENTANG LEGIO MARIA....... MOGA-MOGA ANDA MENEMUKAN INSPIRASI DI SANA. SELAMAT MEMBACA.
SYALOOM DAN SELAMAT PASKA
MELALUI TULISAN INI, SAYA MENJUMPAI ANDA KEMBALI. SAYA SAJIKAN TULISAN SAYA TENTANG LEGIO MARIA....... MOGA-MOGA ANDA MENEMUKAN INSPIRASI DI SANA. SELAMAT MEMBACA.
LEGIO MARIA : KERASULAN
KERAHIMAN TANPA IMBALAN
Beberapa teman seangkatan saya, setiap hari Selasa sore, kumpul di suatu
ruangan tertentu dan berdoa bersama. Mereka jumlahnya agak tetap, dan dipandu
oleh salah seorang rekan mereka. Saya tidak mengenal “kegiatan mereka itu
seperti apa dan dengan ujud apa ?”. Saya
betul-betul tidak mengerti. Yang saya tahu bahwa mereka membawa rosario. Dan
ketika melewati gang di dekat ruangan itu, saya mendengar bahwa mereka sedang
mendaraskan doa Salam Maria. Beberapa waktu kemudian, barulah saya diberitahu
bahwa mereka adalah Kelompok Legio Maria (LM).
Peristiwa itu terjadi tahun 1976.
Waktu itu, saya adalah anak remaja, yang sedang studi di Seminari Mertoyudan –
Magelang, karena bercita-cita mau menjadi imam. Saya baru mendengar nama LM
saja. Sampai saya tamat SMP saya tidak pernah kenal kegiatan LM dan tidak
pernah ikut kegiatan itu. Ketika liburan, saya sebagai anak seminari diajak
romo ke stasi-stasi. Di stasi Slawi, ada mudika yang kumpul-kumpul. Ternyata
mereka adalah anggota LM. Saya hanya kenal nama, dan tidak lebih dari itu.
Ketika kembali ke Seminari setelah liburan selesai, saya pun tidak punya
keinginan untuk bergabung dengan kelompok LM.
Tahun 1985 saya diminta untuk menjadi
pendamping rohani LM remaja paroki St. Petrus Pekalongan. Saya diberi buku
pegangan, dan mulai mempelajari apa dan bagaimana LM itu. Istilah-istilah baru:
doa Tesera, alocutio, presidium, kuria, kantong rahasia, dan laporan kegiatan
dari masing-masing anggota dll menjadi santapan wajib, ketika mempersiapkan
diri untuk membina mereka. Ternyata dengan membina mereka, saya juga membina
diri sendiri. Sekitar 9 bulan, saya dibina dan diperkaya oleh LM
remaja ini. Sesudah itu, bisa dikatakan,
saya tidak pernah terlibat lagi pada kegiatan rohani ini. Meski demikian, rasa simpati pada LM sudah
tertanam di hati saya.
Tahun 2001 – 2003, saya diberi
kepercayaan untuk menjadi pastor paroki katedral Merauke. Di paroki ini waktu itu, ada 2 kelompok LM: presidium Pohon Sukacita dan presidium Ratu
Semesta Alam. Mereka memilih hari tertentu untuk doa mingguan. Pelayanan di
penjara, di rumah sakit, untuk kaum lansia di rumah-rumah, menghias altar
gereja paroki, dan menghitung uang kolekte adalah sebagian dari pelayanan para
legioner. Mereka telah bekerja dengan setia bertahun-tahun lamanya, tanpa upah.
Di masing-masing kelompok LM, saya masih menemukan orang-orang yang sama. Mereka bertahan dalam keragaman, keunikan,
perbedaan usia, ketrampilan, dan keutamaan, serta terus bertekad untuk tetap
utuh dalam kesatuan dan kerukunan. Artinya, di dalam kelompok dan kegiatan LM,
para legioner menemukan dan mengalami kasih Allah melalui sesama anggota
mereka. Mereka membagikan kerahiman Allah kepada sesama legioner, dan kepada
mereka yang sering kurang terlayani.
Sebagai uskup, saya pernah beberapa
kali menerima kunjungan dari rekan-rekan Senatus LM dari Malang. Bahkan saya
menyempatkan diri untuk hadir dalam pertemuan istimewa dengan para petinggi
presidium LM di Merauke. Suasana tenang, akrab, simpatik dan kesederhanaan amat
terasa. Waktu itu, pertemuan dilaksanakan di salah satu sudut gedung katedral
yang lama. Beberapa kali pula saya menerbitkan surat keputusan atau surat
rekomendasi. Di dalam suasana yang
demikian, saya berharap para legioner mendapatkan “makanan rohani” dan tergugah
untuk terus menciptakan suasana itu. Di
sisi lain, komunikasi yang makin baik dan lancar, rasa solider, berani memberi
dan berani memulai untuk membuat langkah yang baik demi pelayanan perlu
disadari dan ditingkatkan.
Pernah pada suatu ketika, sekitar 5
tahun yang lalu, mereka ada konflik internal. Cukup lama mereka tidak saling
menyapa. Sementara itu, batin mereka
mendorong masing-masing untuk memahami yang lain dan untuk saling memaafkan. Dialog pun terjadi,
sehingga mereka bisa berjalan dan bergerak bersama-sama lagi. Itulah dinamika
kehidupan. Ada kesalahan, kekurangan dan kekeliruan dalam pergaulan dan
persekutuan di mana saja. Namun,
keberanian untuk duduk bersama lagi dan saling memahami serta memaafkan adalah
karunia besar yang harus tetap ada di antara para legioner. Hal itu saya lihat dan saya alami di kalangan
legioner Merauke.
Mengunjungi saudara-saudari di
penjara, di rumah sakit dan melayani para lansia, menghitung uang kolekte,
menghias altar tetap mereka laksanakan hingga hari ini. Kunjungan dan pelayanan
kepada saudara-saudari yang non katolik pun ( yang beragama islam, hindu, budha
dan protestan) mereka jalankan. Juga
mereka memperhatikan legioner yang ada di luar kota dan kini telah menjadi
presidium yang baru. Mereka melakukannya
dengan rela, dan juga bukan karena mau mencari pujian. Semua itu merupakan
tanda bahwa mereka mau meneruskan dan menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah
melalui Bunda Maria yang hadir dalam diri mereka. Sekian tahun lamanya mereka
melayani tanpa menuntut imbalan. Saya belum pernah mendengar bahwa mereka
menyesal telah menjadi legioner.
Maka pada kesempatan ini, saya hendak
mengucapkan banyak terima kasih kepada para pioner LM di Merauke, mereka yang
tetap setia menjadi legioner dan mereka yang telah pensiun karena kesehatan
mereka tidak memungkinkan mereka aktif seperti dulu. Saya juga mengucapkan
proficiat dan salam bahagia kepada Senatus Malang yang turut memperhatikan dan
ambil bagian dalam “membina dan meneguhkan persekutuan para legioner Merauke”. Kepada
seluruh legioner, para pengurus, romo, dan bruder serta suster pendamping, saya
ucapkan selamat berbahagia. Anda sekalian telah menjadi “rasul kerahiman” tanpa
gembar-gembor dan tanpa tanda jasa.
Merauke, 8 April 2016
Mgr. Nicholaus Adi Seputra MSC
Komentar