BENAGUL

PARA PEMBACA YANG BUDIMAN 
SYALOOM 

Pada pertengahan Desember 2015 yang lalu, saya mendapat tamu istimewa. Dia adalah seorang penulis handal. Sudah banyak tulisannya dipublikasikan dan menjadi bahan bacaan bagi banyak orang. Waktu itu, saya membutuhkan seseorang yang sanggup dan siap menulis fakta-fakta sejarah dan para pelaku sejarah yang telah turut berperan dalam membangun “peradaban dan kehidupan di wilayah selatan Papua ini”.

Selama hampir 3 minggu, dia mendedikasikan dirinya untuk mengumpulkan cerita-cerita dari para tua-tua dan pensiunan serta mereka yang ada kaitannya dengan pekerjaan awal / misionaris di wilayah ini. Sebelum kembali ke Jakarta, sang penulis menyebut “benagul”. Tidak pernah saya sangka bahwa ada benagul yang ternyata punya andil besar dalam pembangunan umat dan masyarakat Merauke.  Istilah “benagul” sejak saat itu mengiang-ngiang di telinga saya. Saya terdorong untuk mengenali lebih jauh siapa dan apa yang mereka buat.

Awal Maret 2016, sang penulis ternyata telah berhasil menyusun sebuah buku kenangan sebagai bagian dari sejarah peradaban di Papua Selatan. Saya sudah mendapat beberapa eksemplar tetapi belum sempat membaca isinya. Para benagul juga mendapat kiriman buku-buku itu melalui saya karena saya yang membawanya dari Jakarta.  Judul buku tersebut adalah:  RESTORASI MISI KATOLIK di Kepulauan Maluku  1888 - 1994. Mereka dengan sukacita menerima buku-buku itu, dan meminta saya untuk bertemu dengan para benagul.  Pertemuan dengan mereka pun terjadi pada hari Rabu, 23 Maret  2016 di wisma uskup.

Pada pertemuan itu, mereka mengucapkan terima kasih atas buku-buku yang telah mereka terima, dan kepada bapak Frits Pengemanan yang telah menyusun buku itu.  Selanjutnya mereka ingin mengucapkan terima kasih kepada 3 Uskup yang telah mengutus orangtua mereka untuk menjadi misionaris di Papua ( pada waktu itu disebut Irian Barat ). Nama ketiga uskup tsb adalah Mgr. Johanes Aerts MSC ( Uskup Amboina wafat 30 Juli 1940 pada masa pendudukan Jepang), Mgr. Jakobus Grent MSC (uskup Amboina 1941 – 1965) dan Mgr. Herman Tillemans MSC ( Uskup Agung Merauke 1950 - 1972).  Rencana syukuran akan dilaksanakan tanggal 30 Juli 2016, sekaligus mengingat hari wafatnya Mgr. Johanes Aerts MSC.  

Mereka juga sudah menyusun suatu cerita ketika mereka tinggal di asrama. Bentuk bangunan asrama pada waktu itu adalah rumah panggung. Karena itu, kumpulan tulisan mereka disebut “Drama Kehidupan di Rumah Panggung”.  Nama asrama itu sesungguhnya Mgr. Henry Verius MSC, uskup di Port Morestby - Papua Nugini pada waktu itu.  Mungkin pula beliau pernah berkunjung ke Merauke. Saya diminta untuk membuat kata pengantar pada buku / kumpulan tulisan itu.  Kata pengantar saya itu, saya tampilkan di blog ini untuk anda.

Kepada bapak Frits Pengemanan yang telah membantu saya menuliskan fakta sejarah dan perkembangan peradaban di Papua Selatan ini, saya ucapkan banyak terima kasih.  Dialah penulis buku yang saya maksudkan pada awal uraian saya ini. Dan kepada anda sekalian, para pembaca budiman, saya ucapkan ........selamat membaca.


KATA PENGANTAR

Drama Kehidupan di Rumah Panggung merupakan  ceritera / ungkapan pengalaman dari para mantan penghuni rumah panggung.  Rumah Panggung adalah sebutan nostalgia  atas asrama putra yang diasuh oleh para bruder dan kaum awam katolik. Wujud bangunan asrama pada waktu itu adalah “rumah panggung” yang letaknya di pendopo / bagian depan pintu utama gereja katedral Merauke sekarang. 

Para penghuni asrama ini adalah anak-anak para guru, katekis, tukang kayu, petugas kesehatan, petugas perkebunan dll yang diutus untuk bekerja di pedalaman, supaya mereka bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang memadai. Pembinaan di asrama yang mereka alami, telah memungkinkan mereka menjadi manusia-manusia berkualitas yang telah ambil bagian dalam pembangunan umat dan masyarakat di banyak wilayah selatan Papua ini. Mereka menyebut diri Komunitas Benagul ( bekas nasi gula ) karena makanan mereka sehari-hari lebih sering adalah nasi yang diberi gula. Makanan yang sederhana itu tidak menyurutkan masa pendidikan mereka, sehingga mencapai taraf yang mencukupi untuk berkarya.  Mereka kini tinggal 20-an orang yang masih aktif dalam kegiatan bermasyarakat, sedangkan yang lain sudah sakit-sakitan, dan yang lain lagi sudah meninggal.

Dengan bantuan buku / tulisan ini, para pembaca dapat menemukan dan belajar tentang:
1.        model / situasi kehidupan  serta fasilitas pembinaan asrama pada waktu itu
2.       jumlah pembina dan visi – misi pembinaan yang berkesinambungan
3.       fakta-fakta kehidupan dan data-data Sejarah Gereja Katolik di Papua Selatan yang dapat melengkapi “sejarah yang sudah ada”
4.       pengorbanan para misionaris baik awam maupun bruder dan petugas lainnya demi perkembangan peradaban manusia di wilayah ini

Melalui tulisan ini, saya hendak mengucapkan terima kasih dan apresiasi saya kepada penulis / penyusun buku kenangan ini, sehingga kehidupan di asrama pada waktu itu yang dahulu kabur, kini telah menjadi lebih terang. Buku / tulisan ini dapat merupakan kenangan tertulis sekaligus ajakan / undangan kepada  pembaca atau penulis lain untuk menelusuri lebih lanjut dan melengkapi apa yang masih harus disempurnakan.

                                                       Merauke, 25 Maret 2016
                                                         Uskup Agung Merauke

                                               Mgr. Nicholaus Adi Seputra MSC

Komentar

Postingan Populer