SMA JOHN 23 - MERAUKE
PEMBACA SETIA BLOG INI....
SYALOOM....
Saya haturkan ke hadapan anda,
cerita / berita tentang SMA Katolik pertama di wilayah Keuskupan Agung Merauke.
Ada peristiwa bersejarah yang telah terjadi atas sekolah ini, beberapa waktu
yang lalu. Mari kita simak isinya. Selamat membaca.......
Tanggal 4 Agustus 2013 merupakan
hari yang amat bersejarah bagi SMA John 23 Merauke. Pada hari itu, wajah sekolah itu
sungguh-sungguh berbeda. Di sana-sini ada hiasan dan spanduk-spanduk yang
bertuliskan dirgahayu SMA John 23. Di lapangan basket dan futsal telah dipasang
tenda-tenda dalam jumlah banyak sehingga hampir seluruh lapangan itu tertutup.
Ada apa gerangan di sana ?
Pada hari itu, dirayakan pesta 50
tahun berdirinya sekolah itu. Acara syukuran itu diprakarsai oleh para alumni
angkatan pertama hingga angkatan yang ke 47. Menurut catatan panitia, selama
kurun waktu itu telah ada 7.500 orang lulusan dari sekolah itu. Mereka telah
tersebar di seluruh nusantara, bahkan ada yang berkarya di luar negeri. Banyak
alumni yang menjadi dokter, pastor dan suster, bidan, perawat, guru dan pegawai
di dinas-dinas lainny,a bahkan ada yang menjadi bupati, wakil bupati dan
pengusaha.
Acara syukuran ini, diawali
dengan Misa syukur yang dipersembahkan oleh Mgr Niko Adi MSC – uskup Merauke,
bersama dengan para imam alumni dan non alumni yang berjumlah lebih dari 15
orang. Perarakan dimulai dari depan halaman biara MSC, dengan diiringi
drum-band dari siswa-siswi SMA Negeri I – Merauke, melalui jalan Kimaam, menuju
kompleks SMA John 23. Koor dipandu oleh siswa-siswi sekolah itu dan Kelompok
Kaum Muda Katolik paroki Kelapa Lima Merauke.
Bacaan-bacaan Kitab Suci yang
dipilih semuanya menunjuk pada “proses belajar / pembelajaran” dan kegiatan
membina orang muda untuk menjadi orang-orang bijak, benar, beriman teguh dan
berkualitas. Dengan diinspirasikan oleh bacaan-bacaan KS, uskup menggali
“peranan dasar sekolah adalah untuk “mendidik, membina, mengarahkan dan
memimpin orang muda” agar menjadi orang yang dewasa, kokoh kuat dalam menghadapi
tantangan jaman, cerdas dalam membaca tanda-tanda jaman, menjadi manusia
pembangun dan dapat menjadi panutan”.
Ternyata SMA ini telah memberikan
sumbangan yang amat besar, bagi pembangunan manusia dan daerah ini. Sekolah ini telah menghantarkan banyak kaum
muda untuk menatap hari depan, dan meraih cita-cita mereka. Para alumni sekolah
ini diperhitungkan oleh masyarakat dan pemerintah dan mampu menjadi penggerak
pembangunan baik di kota, di kecamatan
maupun di desa-desa.
Tantangan besar yang saat ini menghadap
dunia pendidikan adalah “tindakan rekayasa pada saat dilaksanakan Ujian
Nasional”. Demi mengejar angka kelulusan supaya mencapai 100 persen, hati
nurani dibungkam. Guru-guru dengan amat terpaksa harus melalukan “rekayasa”
hasil ujian supaya anak-anak mereka lulus, dan angka kelulusan sekolah adalah (
mencapai ) 100 persen. Hal ini dapat berakibat amat fatal yaitu pertama,
peserta ujian menjadi masa bodoh, karena guru-guru mereka akan memperbaiki
nilai dan meluluskan mereka. Kedua, usaha keras para guru selama 3 tahun untuk
menjadikan murid-murid mereka anak yang cerdas, jujur dan bertanggung jawab,
“dikhianati oleh mereka sendiri” dengan “mengubah jawaban-jawaban pada lembar
kertas jawaban yang telah dikerjakan oleh para murid. Ketiga, membiarkan / menaburkan
racun “kebohongan / ketidakadilan” yang tentu saja melanggar nilai-nilai
kebenaran, untuk waktu yang tidak
terbatas dengan akibat anak cucu mereka akan meniru apa yang telah dilakukan
oleh orangtua / kakek-nenek mereka.
Dengan usianya yang ke 50,
sekolah ini bukanlah “sekolah baru”. Namun dengan berani melawan arus kegiatan
rekayasa, dan menghasilkan lulusan yang beriman, cerdas, dan bertanggung jawab,
orang akan mengatakan “INI BARU SMA JOHN”. Sekolah yang begini inilah sekolah
yang kami butuhkan, kami harapkan dan kami banggakan.
“Non scholae sed vitae discimus”
demikianlah pepatah dalam bahasa Latin yang sering saya dengar dan saya hidupi.
Pepatah itu artinya: kami belajar bukan
semata-mata untuk mendapatkan ilmu, melainkan untuk (dapat) hidup. Tentu yang
dimaksudkan di sini, bukan hidup sekedar hidup, tetapi hidup yang berkecukupan
dan bahagia. Hidup yang demikian ini perlu disiapkan dengan baik, dengan
banyaknya bekal keilmuan yang memadai sehingga dengan mantap orang itu
menjalani dan menata hidupnya.
Ilmu / mata pelajaran / bidang
studi bisa diajarkan oleh siapa saja, baik yang studi formal maupun yang ikut
kursus atau pun otodidak di sekolah. Sudah ada banyak bukti bahwa orang yang
tidak studi formal di bidang tersebut, dapat mengajar dengan baik, misalnya:
bahasa Indonesia, matematika, geografi dll. Bahkan ada guru non katolik, 24
tahun yang lalu saya alami, karena keadaan dan empati yang begitu besar –
dengan belajar sendiri dari buku-buku pegangan, mengajar murid-muridnya di
sebuah SD di pelosok, pelajaran agama katolik. Dia satu-satunya guru di tempat
itu. Dia juga meliburkan kegiatan sekolah, ketika ada kunjungan pastor (3
bulan sekali) sehingga anak-anak sekolah
pun mendapat pelayanan rohani dari gembala mereka.
Ilmu / mata pelajaran / bidang
studi memang penting untuk diajarkan. Meski demikian, untuk sebuah kehidupan,
semua yang diajarkan ini dan “memenuhi otak” dan membantu pikiran ini agar
makin tajam dalam menganalisa dan memutuskan karena telah dibantu oleh pelbagai
macam bahan dan informasi untuk dipertimbangkan. Hal kedua yang penting untuk
diperhatikan di sekolah dan di banyak instansi adalah “disiplin”.
Disiplin berasal dari kata Latin
“discipulus” artinya murid. Tugas / jiwa / tanggung jawab dan kegiatan para
murid adalah “belajar banyak hal dari gurunya agar makin hari makin dapat
hidup”. Apa yang diberikan oleh gurunya adalah bahan, pengertian, pembinaan
mental ( teori dan praktek ), serta ketekunan sehingga sang murid akan lulus
dengan predikat baik / terbaik. Sang guru sungguh-sungguh tahu keadaan
muridnya, dan kapan saatnya para murid “sudah pantas untuk diwisuda”. Disiplin bukan sekedar “mentaati
aturan”. Ungkapan “kamu tidak disiplin”
sering kali muncul ketika seseorang beberapa kali melanggar aturan.
Hal ketiga yang patut dihidupi
dan dihidupi di sekolah adalah spiritualitas. Spiritualitas berasal dari kata Latin “spiritus” yang berarti “roh”. Roh ini adalah Roh Kudus yang memberikan
anugerah-Nya kepada semua orang yang berkehendak baik. Anugerah-anugerah ini dihidupkan
dan dihidupi oleh seluruh anggota / keluarga besar sekolah itu. Dia bekerja
secara aktif, dan membawa / menyerukan pembaharuan, perdamaian, kerukunan,
kesetiaaan, kejujuran, tanggung jawab dan ketenteraman. Semuanya ini amat
penting untuk disadari, dihidupi dan dihidupkan sehingga akitivitas sekolah
bukan hanya sekedar kegiatan fisik belajar dan mengajar, melainkan diyakini dan
diimani sebagai karya keselamatan Allah.
Semua warga dari keluarga besar sekolah ini, adalah tanda dan sarana
keselamatan Allah yang hidup pada masa sekarang ini, dan bagi masyarakat
setempat.
Sekolah bukan hanya dilihat
sebagai tempat untuk menimba ilmu, tetapi sebagai tempat untuk belajar,
membekali diri dan mengembangkan kehidupan.
Dari sekolah ini akan muncul calon-calon orang beriman, yang cerdas dan
berhati nurani untuk membangun masyarakat dan gereja lokal. Dari sekolah ini,
dapat juga muncul panggilan-panggilan untuk hidup membiara, menjadi imam atau
petugas gereja. Sekolah ini, para guru, para siswa dan pengelola sekolah setiap
hari dapat menjadi berkat bagi sesama dan umat manusia.
Komentar